Fb. In. Tw.

Ziarah Kubur di TPU Sirnaraga

“Gemuruh langkah sudah mulai terdengar!” kata Sholeh.

“Ah! Paling iring-iringan wartawan infotaiment kayak tahun-tahun lalu, meliput artis yang menziarahi makam bapaknya di pemakaman ini,” timpal Ujang.

“Enak ya, jadi bapaknya artis, ikut terkenal meski sudah modar!” Sholeh sesumbar.

“Kita gak butuh terkenal, kecuali kalau tiket masuk surga pake rating televisi!” Ujang agak senewen.

“Halah kamu, senewen amat ini pasti gara-gara kuburanmu diberaki ayam tiap hari. hehehe,” Sholeh terkekeh melihat kawan sebelahnya cemberut.

“Lah, situ sendiri apa gak gerah? Tumpuk-tumpuk model apartemen bareng bapakmu dalam satu liang lahat? Sementara di sampingmu sudah dibangun warnet yang saban hari dipake anak-anak zaman sekarang main game,” cerocos Ujang tidak mau kalah.

“Hus! Jangan bawa-bawa Bapakku! Aku masih mending, kuburanku cuma sebelahan sama warnet, lah itu si No Name yang berpuluh tahun ga punya nama, ga pernah diziarahi, lima tahun ini kuburannya sudah jadi warnet.” Jawab Sholeh mesam-mesem.

**

Untungnya para penghuni kubur sudah meninggalkan perkara dunia. Bisa gawat jadinya kalau mereka sampai berbondong-bondong berdemo mempertahankan hak mereka sebagai penghuni kubur. Percakapan imajiner antara Sholeh dan Ujang merupakan percakapan diri saya sendiri ketika melihat perubahan pemakaman di masa sekarang dengan 16 tahun lalu.

Mengapa 16 tahun lalu? Karena saya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD saat itu, sedang senang-senangnya bermain dengan teman, sedang sok-sokan ngobrolin soal reformasi, sedang berani-beraninya melewati jalan pulang ke tengah kuburan bersama kawan. Bahkan, dulu saya ingat nama-nama penghuni kubur di pinggir jalan!

Taman Pemakaman Umum (TPU) Sirnaraga, pemakaman umum muslim tertua di Kota Bandung inilah yang saya lewati tiap pergi dan pulang sekolah. Pemakaman luas ini selalu ramai dikunjungi saat musim Idul Fitri. Citra pemakaman yang menyeramkan akan berubah, mengalahkan riuhnya pasar malam di kala musim ziarah. Banyak penjual menggelar dagangan mereka di jalanan sempit menuju makam, para peziarah rela berdesak-desakan demi mendoakan dan menabur bunga di atas makam orang-orang terkasih.

Termasuk si artis yang bapaknya dimakamkan di pemakaman ini. Kehadiran artis (yang ketika menikah diliput secara live selama berbulan-bulan) ini, seringkali mengubah fokus para peziarah. Suasana pemakaman berubah drastis, yang sebelumnya begitu khidmat bergumul dengan doa, berubah menjadi ramai cenderung ricuh. Membuat para penziarah lupa, tengah membaca surat apa dan ayat berapa.

Orang berlomba-lomba ingin berfoto bersama untuk di-posting ke akun jejaring sosial mereka atau sekadar ingin terekam di kamera infotainment. Sifat narsis yang kelewat menggila ini memang telah membudaya bahkan menjalar sampai di pemakaman saat hari raya. Berbeda dengan dahulu, hanya suara tonggeret yang mampu menimpali doa.

Pemakaman Kelas I TPU Sirnaraga, Bandung. (Foto: RIzqi)

Pemakaman Kelas I TPU Sirnaraga, Bandung. (Foto: RIzqi)

Fungsi tanah pemakaman pun telah berubah, hal ini tidak berlaku pada pemakaman Kelas I yang (masih) begitu rimbun, rapi, dan asri. Perubahan ini saya dapati di pemakaman yang berhimpitan dengan pemukiman warga.

Sejak zaman saya SD memang ada pemakaman yang begitu dekat dengan pemukiman warga, namun yang terjadi hari ini sangatlah luar biasa. Tanah yang seharusnya diperuntukkan untukpemakaman telah beralih fungsi. Entah bagaimana perizinannya, di atas kuburan No Name yang saya ingat semasa SD, telah berdiri dengan gagahnya bangunan warnet berlantai dua lengkap dengan spanduk besar yang terpampang.

Lagi-lagi citra pemakaman yang menyeramkan runtuh dengan dibangunnya warnet ini. Dahulu, untuk melewati kuburan saja mesti beramai-ramai dan ketika melangkah pun harus dijaga agar tidak sampai menginjak makam. Yang terjadi hari ini anak-anak tak lagi takut bermain di kuburan, bahkan mereka berani bermain game online di atas kuburan.

Alih fungsi pemakaman ini tidak hanya terjadi pada satu makam No Name yang saya hapal letaknya. Namun juga beberapa makam di pinggir jalan, yang mungkin sudah tak dikunjungi sanak saudara atau tidak pernah dibayarkan pajaknya ke dinas pemakaman setempat.

Mirisnya, makam-makam tak terurus ini bukannya dialihfungsikan menjadi makam baru, tapi malah tumpang tindih dengan tempat tinggal manusia yang masih hidup, bahkan tak jarang bertumpuk dengan kandang ternak. Akhirnya, pemukiman dan pemakaman saling berebut lahan demi mempertahankan eksistensi mereka (pernah dan masih hidup) di dunia.

Percakapan almarhum Ujang dan Sholeh menggambarkan sebagian kecil fenomena yang terjadi di area pemakaman kelas bawah. Lalu yang terpikirkan oleh saya adalah apakah kelak saya akan kebagian lahan pemakaman yang layak? Atau dikubur dalam satu liang lahat yang sama dengan Almarhum Bapak saya? Ah, semoga saya tak ngomel minta pindah pemakaman.[]

 

KOMENTAR

Guru SMP Hikmah Teladan Bandung.

Comments
  • Sahlan Bahuy

    Tulisannya asyik. Lanjutkan jadi naskah drama, Qi! Dialognya keren.

    25 Juli 2015
    • Rizqi Nur Amalliah

      Alhamdulillah, makasih kang, mesti banyak belajar lg kl buat naskah drama mah hehe..

      25 Juli 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register