Yogyakarta: Sebermula Adalah Pesona
Dari apa sebuah kota diciptakan? Begitu Indrian Koto bertanya di tengah baris puisinya yang berjudul Yogyakarta: Kelahiran Kedua. Biarkan pertanyaan itu mengalir apa adanya. Biarkan saya mengingatnya.
Pada malam ketika jalanan Yogyakarta mulai lengang, kota ini seperti perawan yang tenang. /Aku orang asing pencari persinggahan/ kau memberi tempat yang nyaman./ Pada momen itu, sebermula adalah pesona.
Di dalamnya, kita bisa mencatatnya satu-satu: para pemuda yang gelisah melabur tembok-tembok kota dengan mural, patung, dan instalasi yang kesepian di sepanjang Malioboro. Para aktivis menyalakan obrolan di warung kopi, sepasang kekasih merapatkan kehangatan dengan semangkuk ronde. Para penyair bergelut dengan kata-kata, rombongan mobil tua-antik berjalan pelan seperti janda yang seksi. Musisi jalanan memainkan nomor-nomor nostalgia, sayup-sayup suara gamelan dari kampung sebelah. Alangkah mustahak jika pertanyaan di atas memeroleh maknanya, oleh karenanya kita mafhum, mengapa kota ini selalu dirindukan, dijadikan alamat kenangan.
/Seperti kekasih aku pun enggan melepasmu/ aku merindukan nyala lampu, jalan sepi dan daun gugur di kota baru./ Dari kenangan pribadi-pribadi di dalamnya sebuah kota ada dan diciptakan.
Tetapi, ketika terjepit oleh kemacetan pada siang hari yang menyala, kita bisa menyaksikan dengan terang; warung cepat saji bertumbuhan, minimarket 24 jam bersidesak dengan toko kelontong, mall-mall ditanam: kita tahu, hasrat belanja kita diciptakan dan dialirkan ke bangunan megah itu. Sementara hotel-hotel jangkung adalah monster yang nyinyir, congkak dan dingin. Bangunan itu seperti pengetahuan dalam buku-buku yang hilang halamannya: ada yang lepas dan terhempas dari sejarah masa lalu kota ini. /Setelahnya, aku merisaukan hari depan./
Bangunan-bangunan itu jaraknya satu detik dengan kecemasan. Oleh sebab itu, kita tak dapat menolak ketika warga dan para aktivis lingkungan keluar dari sarangnya. Jogja Sold Out, misalnya, sebuah tajuk diskusi yang telah dilakukan di kampus UGM akhir bulan April tahun ini, dan beberapa aksi teaterikal mandi tanah oleh seniman setempat. Mandi tanah artinya warga mengalami kekeringan air. Lebih jauh lagi, Yogyakarta mengalami kekeringan makna.
Tetapi, kita mafhum, setiap kota adalah ruang yang terlanjur. Sebagaimana Yogyakarta juga terlanjur dibangun dengan sudut pandang masyarakat kelas menengah, dirumuskan oleh kepala-kepala yang tak pernah khusuk memikirkan makna kota. Setidaknya pernyataan itu bisa menjadi teman baik bagi pertanyaan ini: dari apa sebuah kota tegak dan berdiri?
Demi mengingat itu, kita tak dapat membedakan Yogyakarta dengan Jakarta, sama-sama bertungkuslumus dengan kemacetan, bangunan jangkung yang mengganggu, dan seterusnya. Kecuali, di kota ini, setiap tempat dan benda menjadi penutur yang baik untuk para pendatang.
Tempat dan benda itu adalah situs di mana kita bisa mengunjungi dan menempatkan diri di dalamnya: sejarah dan mitos itu. Di situlah kita masih bisa mengais makna. Oleh sebab itulah kita selalu ingin kembali ke kota ini, mungkin untuk merawat kenangan, sekalipun harus berebut tempat dengan kecemasan.
Tentang Penulis
Shohifur Ridho Ilahi. Lahir di Sumenep 1990. Menulis puisi dan bermain teater. Tinggal di Yogyakarta.