Yogyakarta dan Alam yang Klise
Pembicaraan tentang kota dalam puisi selalu menarik rasa penasaran. Bagaimana kota dalam puisi direpresentasikan oleh seorang penyair, selain misalnya bahwa kota ialah sebuah ruang gerak kebudayaan modern.
Sependek pembacaan saya atas beberapa puisi yang menyinggung kota, saya mendapat dua kesimpulan sederhana. Pertama, kota ditempatkan dalam citra yang negatif. Dalam hal ini, beberapa penyair cenderung memandang kota dengan tatapan sinis dan daya kritis yang kadang-kadang sadis. Segala bentuk perubahan kota, seperti halnya kemajuan teknologi dan kapitalisme industri, kerap dianggap akan membuat keretakan-keretakan identitas ataupun keretakan hubungan sosial dan kebudayaan. Posisi penyair dalam ruang kota yang digambarkan demikian seolah-olah berada dalam posisi pinggiran dan terasing.
Kedua, kota ditempatkan dalam citra yang positif. Berbeda halnya dengan para penyair yang memandang kota dengan sinis, misalnya, para penyair yang cenderung mengangkat citra positif merayakan segala keingar-bingaran dari kota itu sendiri. Kota dalam pandangan para penyair ini dianggap sebagai ruang kompleks yang terbuka dan heterogen, yang di dalamnya memiliki berbagai pesona dan nilai hidup yang mengagumkan. Mereka tidak menempatkan dirinya dalam posisi pinggiran dan terasing, melainkan menempatkan dirinya turut bergerak dalam kerumunan kota. Mereka juga tidak menyikapi gerak perubahan kota secara tegang, melainkan mencoba menikmati dan memaknainya dengan sikap terbuka, santai, namun tetap awas.
Yogyakarta: Ironi Penyair Romantik dan Kebebasan
Pada sajak-sajak yang termuat di HU Pikiran Rakyat edisi 8 April 2018, saya mendapatkan karakteristik yang kedua itu pada sajak-sajak Dadang Ari Murtono. Masing-masing sajaknya antara lain berjudul “Di Malioboro” dan “Pergi ke Yogya”. Sejak membaca judul, citra mengenai kota itu sudah muncul di benak kita. Terutama tentang gambaran mengenai kota Yogyakarta. Misalnya, sajak “Di Malioboro” ini.
Di Malioboro
Di Malioboro
ia jatuh pada cerita para penyair Yogya lama
dan terjebak pada sentimentalisme
Ia mencari sebuah kata sedih
di antara ramai orang berfoto,
kaos tigapuluh ribu, tukang becak yang menawarkan
limaribu bolakbalik ke bakpia patok dan sepuluh ribu
bila ingin ke dagadu asli
Tapi hingga ujung, selain memaksakan
sebuah kalimat “mereka menginginkan kesedihan yang tak ada”
ia hanya menemukan gambar seseorang yang berwajah lucu di depan mirota dengan
tulisan
“the city of raminten” dan “urip mung mampir ngguyu”
Ia tak tahu bagaimana cara menertawakan kesedihan
dan karenanya ada yang terus terasa sepa
Malioboro. Nama jalan di Yogyakarta yang terkenal sebagai salah satu kawasan pusat kota dan memiliki daya tarik wisatawan ini dihadirkan dalam bahasa naratif yang sederhana. Kehadiran kata-kata seperti mirota, tukang becak, bakpia patok, dan dagadu, setidaknya telah menarik kembali ingatan-ingatan kolektif kita akan Malioboro sebagaimana orang-orang kenali.
Baca juga:
– Moralitas dan Melankolia
– Cinta dan Masa Lalu
Namun, yang kemudian menjadi menarik dari sajak ini bukanlah penggambaran indeks-indeks dari Malioboro tentang kota Yogyakarta sebagai pusat keramaian atau sebagai pusat perbelanjaan oleh-oleh tradisional. Melainkan, dalam sajak ini, memunculkan narasi-narasi lain, yang barangkali sebagian orang tidak mengetahuinya. Narasi tersebut kira-kira berbicara seputar kepenyairan di Yogya, di balik segala keingar-bingaran Malioboro. Ya, Yogya! Sebuah kota yang juga oleh sebagian pegiat sastra diberi predikat sebagai “kota penyair”.
Sebagai bukti, kota ini tercatat telah melahirkan banyak penyair. Entah itu penyair yang tumbuh di era akhir 60-an, seperti Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa, sampai dengan generasi terkini, seperti Indrian Koto, Mutia Sukma, Dea Anugrah, Tia Setiadi, dan seterusnya. Di kota ini, kiranya iklim kepenyairan masih berlangsung seru dan menarik sampai saat ini. Tumbuh-kembangnya media publikasi (cetak maupun online), penerbitan-penerbitan indie, acara-acara pertemuan/diskusi sastra yang berlangsung di berbagai komunitas sastra, menjadi salah satu faktor penting yang menjaga iklim kepenyairan yang kuat dan dinamis.
Iklim kepenyairan di Yogya tersebut barangkali menjadi dasar pijak dari sajak Dadang Ari Murtono yang berjudul “Di Malioboro”. Meskipun begitu, secara keseluruhan dan spesifik, sajak “Di Malioboro” ini hendak merepresentasikan ironi dari romantisisme dunia kepenyairan lama yang diwakili oleh “ia lirik” dalam sajak, ketika berada di ruang kota Yogyakarta, khususnya Malioboro.
Ironi itu sudah muncul sejak bait pertama dan kedua: Di Malioboro/ia jatuh pada cerita para penyair Yogya lama/dan terjebak pada sentimentalisme//Ia mencari sebuah kata sedih/di antara ramai orang berfoto,/kaos tigapuluh ribu, tukang becak yang menawarkan/limaribu bolakbalik ke bakpia patok dan sepuluh ribu/bila ingin ke dagadu asli.
Larik cerita para penyair Yogya lama/dan terjebak pada sentimentalisme (bait ke-1) itu kiranya merupakan sebuah alusi sejarah dari kepenyairan Yogya yang sempat disinggung tadi. Meskipun acuan historis dari frasa “penyair Yogya lama” itu tidak dihadirkan secara spesifik melalui penanda waktu yang konkret dan terukur, saya mencurigai bahwa acuannya itu sedikit-banyaknya ditujukan kepada para penyair Malioboro dalam suasana kepenyairan romantik yang hidup di akhir 60-an sampai era 80-an. Kata “sentimentalisme” itu kiranya ialah penanda yang cukup kuat akan corak romantik itu.
Terkait hal tersebut, barangkali kita teringat kembali pada gerakan komunal sastra di Malioboro yang bernama Persada Studi Klub (PSK), yang dimotori oleh Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarno Pragolopati, dkk.. Ruang PSK ini, menurut M.G. Wibisono, ialah sebuah komunitas sastra yang berdiri pada 5 Maret 1969 dan cenderung berfokus pada bidang puisi. Ruang ini menjadi ruang rutin pertemuan antarindividu dengan karya dan wacana seputar sastra yang berlangsung di salah satu sudut kawasan Malioboro.1 Melalui PSK ini jugalah kiranya Umbu Landu Paranggi mendapatkan sebutan dari beberapa penyair sebagai “Presiden Malioboro”, karena ketelatenannya mengasuh penyair-penyair muda pada waktu itu secara ketat dan dengan penuh intensitas yang tinggi.
Sementara itu, Afrizal Malna, dalam sebuah esainya, pernah menegaskan bahwa iklim kepenyairan Yogya sampai dengan dekade 80-an itu dikatakan cenderung romantik. Hal tersebut dipicu oleh berbagai faktor, seperti latar georafis, kehidupan wong cilik, kaum pelajar, suasana malam, budaya guyub-nya, dan hal-hal lainnya.2
Ditegaskan pula oleh Muhidin M Dahlan dalam esainya, bahwa puisi-puisi penyair Yogya cenderung berspirit pada suatu “kemurungan”. Menurutnya, dua buku antologi bersama penyair Yogya yang amat representatif menunjukkan kemurungan itu bisa dibaca pada buku Sembilu (FKY, 1991) dan Di Pangkuan Yogya (2013).3 Kemurungan itu barangkali juga bisa dikatakan sebagai manifestasi dari “sentimentalisme”—sebuah kata yang juga terdapat pada sajak Dadang Ari Murtono di atas. Sentimentalisme atau suatu gerak yang berpusat pada perasaan itu kemudian juga sekaligus menandai akan adanya corak romantisisme itu.
Meskipun begitu, saya belum sepenuhnya yakin bahwa acuan-acuan data historis yang saya tawarkan di atas otomatis memperjelas acuan dari alusi “penyair Yogya lama” yang dimaksud oleh sajak Dadang Ari Murtono itu. Tidak. Saya hanya teringat saja dengan teks-teks seputar kepenyairan Yogya yang pernah saya baca.
Terlepas dari itu semua, yang jelas, saya merasa bahwa sajak “Di Malioboro” ini memiliki ironi yang kuat dan memiliki tendensi kritik terhadap dunia kepenyairan romantik Yogya (lama?). Sebuah corak kepenyairan yang terjebak pada sentimentalisme dan terus-menerus mencari kata sedih di tengah ingar bingar suasana kota Yogya yang sebetulnya juga memiliki sisi-sisi hidup yang penuh ngguyu (bercanda/tertawa) dan pesona eksotis dari raminten, misalnya. Malioboro atau kota Yogya yang dipenuhi oleh ramai orang berfoto,/kaos tigapuluh ribu, tukang becak yang menawarkan/limaribu bolakbalik ke bakpia patok dan sepuluh ribu/bila ingin ke dagadu asli (bait ke-2) maupun gambar seseorang yang berwajah lucu di depan mirota dengan/
tulisan“the city of raminten” dan “urip mung mampir ngguyu” (bait ke-3).
Lebih lanjut, kota, yakni Malioboro (Yogya) pada sajak “Di Malioboro”, tidak difungsikan Dadang Ari Murtono untuk kemudian mengkritik kota itu sendiri, tetapi justru mengkritik tradisi kepenyairan romantik dari para penyair Yogya lama yang penuh dengan ironi itu. Dadang Ari Murtono juga tidak menghadirkan gambaran kota dari sudut pandang yang sinis ataupun muram, sebagaimana sajak-sajak romantik. Justru, kota dalam sajak tersebut digambarkan dalam imaji-imaji yang sederhana dan bersahaja, sebagaimana keramahan seorang tukang becak atau wajah lucu di depan Mirota, atau sebagaimana ungkapan lokal yang memiliki citarasa humor yang tajam seperti “urip mung mampir ngguyu” yang dalam bahasa Indonesianya kurang lebih terjemahannya seperti ini: “hidup hanya numpang tertawa/bercanda”.
Sementara itu, pada sajaknya yang berjudul “Pergi ke Yogya”, Dadang Ari Murtono memaknai kota Yogya secara lain lagi, sebagaimana terbaca dari sajaknya ini:
Pergi ke Yogya
Pergi ke Yogya, pada akhirnya adalah perjalanan
tanpa peduli ke mana labuhannya, adalah lari dari penjara
yang dibangun bahasa kandung, dan ludruk, dan sejarah panjang
dari majapahit, apa yang aku bayangkan majapahit
“Dan kau akan menulis puisi-puisi yang sama sekali asing
dari khazanahmu?”
dan aku akan menulis puisi-puisi yang sama sekali asing
dari khazanahku
“Tapi setiap puisi yang kau tulis
akan menjelma penjara baru bagimu”
Kalau begitu aku akan membangun penjara
baru, meneruskan hidup dari penjara ke penjara
Sebagaimana seseorang yang benar-benar merdeka
Seseorang yang ingin sebenar-benarnya merdeka
Sebagaimana sajaknya yang pertama, sajak ini juga masih memakai gaya ungkap yang naratif atau cenderung berkisah dengan bahasa sederhana, namun kadang-kadang juga terasa retoris. Dari segi ide, sajak ini kurang lebih hendak mengungkapkan bahwa Yogya ialah ruang yang di sudut manapun senantiasa terbuka bagi setiap kepergian aku lirik. Sehingga dengan begitu percaya diri, aku lirik begitu yakin bahwa aku lirik tak perlu memedulikan ke mana tujuannya akan berlabuh: Pergi ke Yogya, pada akhirnya adalah perjalanan/tanpa peduli ke mana labuhannya/ (larik ke-1 dan ke-2, bait pertama). Yogya juga ialah sebuah ruang yang merdeka bagi pelarian aku lirik dari bayang-bayang “penjara” masa lalu/budaya asal: lari dari penjara/yang dibangun bahasa kandung, dan ludruk, dan sejarah panjang/dari majapahit, apa yang aku bayangkan majapahit/ (larik ke-2, 3, dan 4, bait pertama).
Saya kira, bait pertama sajak ini menunjukkan keteguhan, ketegasan, dan keberanian yang kuat dari Dadang Ari Murtono sebagai seorang penyair, yang barangkali telah memilih bermigrasi (secara fisik maupun batin) dari kota asalnya, Mojokerto, dan kemudian memilih Yogya dengan begitu yakin dan penuh percaya diri.
Tradisi bermigrasi ataupun berpindah tempat, dari tempat satu ke tempat lain, barangkali sudah menjadi ciri khas seorang penyair sejati. Biasanya hal tersebut didorong dan kemudian dilakukan karena tempat semula yang ia tinggali sudah tak lagi mampu mengakomodasi kegelisahan-kegelisahan akan berbagai pencarian makna terhadap dirinya maupun sajaknya, yang sifatnya eksistensial.
Dalam tradisi semacam itu, biasanya, penyair sebagai manusia yang bermigrasi dari kampung halaman ke kota, kemudian pada akhirnya cenderung jatuh ke dalam suasana keterombang-ambingan, keasingan atau teralienasi identitas serta makna dirinya. Singkatnya, terombang-ambing posisinya di antara ketegangan kampung halaman dengan kota. Atau meminjam istilah penyair Subagio Sastrowardoyo disebut sebagai “manusia perbatasan”. Suasana kebimbangan tersebut kadangkala terpancar secara langsung maupun tidak langsung pada sajak-sajak dari penyair-penyairnya. Semisal saja Chairil Anwar, dalam sajak “Aku” yang dengan tegas menyatakan keasingannya itu dengan cara yang meyakinkan: aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang.
Senada dengan Dadang Ari Murtono, melalui sajak “Pergi ke Yogya”, keasingan itu disikapi secara optimistis dan tegas oleh sang aku lirik. Keasingan itu menjadi titik yang telah dipilih aku lirik sebagai ruang kreatif untuk menulis puisi: aku akan menulis puisi-puisi yang sama sekali asing /dari khazanahku (larik ke-3 dan -4, bait kedua). Bahkan dengan penuh kesadaran, aku lirik memilih keasingan itu, meskipun berkonsekuensi sajaknya keluar dan terasing dari khazanah perpuisian yang sebelumnya telah dicapai aku lirik.
Pada bait ketiga, setelah sebelumnya telah menjawab pertanyaan mengenai konsekuensi keasingan itu, pernyataan retoris yang memiliki tendensi menguji itu muncul kembali pada aku lirik: “Tapi setiap puisi yang kau tulis/akan menjelma penjara baru bagimu”. Namun, lagi-lagi dengan ringan dan tegasnya, aku lirik kembali menjawabnya: Kalau begitu aku akan membangun penjara/baru, meneruskan hidup dari penjara ke penjara. Sebuah pernyataan retoris yang cukup menarik.
Dalam penyataan yang cenderung retoris tersebut, Dadang Ari Murtono seperti memperluas dan membuka makna lain dari kata “penjara”. Bagaimana tidak, kata “penjara” biasanya selalu memiliki makna yang menyeramkan dalam benak kita. Penjara ialah sebuah ruang yang membatasi gerak manusia atau secara ekstrem mematikan gerak kebebasan yang dimiliki manusia. Namun, beda halnya dengan pengertian kata “penjara” bagi Dadang. Dalam sajaknya, aku lirik justru berkeinginan untuk membangun penjara baru bagi dirinya. Dan kemudian menganggap penjara ialah ruang dimana hidup itu sendiri bisa diteruskan. Bahwa “penjara” ialah ruang dimana kemerdekaan yang sebenar-benarnya merdeka itu ditemukan: Sebagaimana seseorang yang benar-benar merdeka/Seseorang yang ingin sebenar-benarnya merdeka (larik ke-1 dan -2, bait kelima).
Dengan begitu, kota Yogya bagi Dadang Ari Murtono ialah sebuah ruang cair dan terbuka. Sebuah ruang dimana ia menemukan kebebasan atau kemerdekaannya sebagai individu dari bayang-bayang masa lalu yang membentuknya. Sekaligus ruang yang menerima pelarian Dadang dari penjara lama dan bertemu dengan penjara baru juga, pada akhirnya. Sebuah penjara yang akan senantiasa dibangun oleh dirinya dan untuk dirinya. Dan saya kira, pernyataan-pernyataan yang bermuatan filosofis tersebut juga menunjukkan bahwa Dadang bukanlah seorang penyair yang pasif atau statis dan berhenti pada satu penjara. Tetapi, senantiasa menjadi seorang penyair yang aktif dan senantiasa bergerak dari satu titik ke titik lainnya, dari satu penjara ke penjara lainnya, dan seterusnya.
Melalui kedua sajaknya yang berjudul “Malioboro” dan “Pergi ke Yogya”, kiranya ada beberapa ciri khas yang menarik dan kuat. Pertama, sajaknya dikemas dalam bentuk naratif dan dituturkan dengan gaya ungkap yang sederhana (tidak memakai imaji-imaji maupun metafor yang berlebihan). Kedua, sajaknya tidak terlalu mengedepankan dominasi ke-akulirik-an yang melulu menyoal perasaan-perasaan pribadi belaka. Ketiga, di balik kesederhanaan bahasanya, sajak-sajak Dadang kerap menyimpan nuansa ironi yang kuat, yang juga kadang-kadang terasa menyimpan kritik halus yang tajam pada sesuatu yang ditujunya.
Dari hal itu, saya sedikit berkesimpulan bahwa Dadang Ari Murtono sebagai seorang penyair telah cukup berhasil, sedikit-banyak, keluar dari bayang-bayang lirisisme puisi Indonesia modern dengan kedua sajaknya tersebut. Keluar dari bayang-bayang lirisisme puisi Indonesia modern yang selama ini terus melenakan sekian banyak penyair. Terutama oleh sebagian besar penyair yang telah termuat dalam HU Pikiran Rakyat edisi-edisi sebelumnya.
Alam yang Klise
Jika sebelumnya sajak-sajak Dadang Ari Murtono memperlihatkan usahanya untuk keluar dari iklim lirisisme, maka dua sajak lain dari Dede Rostiana yang juga dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi yang sama ini justru sebaliknya. Dalam artian, masih tenggelam dalam pengaruh lirisisme itu.
Di dalam sajak yang berjudul “Mabuk Malam” dan “Sisa Lilin”, terlihat sekali ketertarikan penyair untuk menggambarkan alam secara indah (eksotis) yang nyaris minim konflik batin. Selain itu, sajak-sajaknya itu juga seperti memiliki tendensi yang kuat untuk menekankan sedu-sedan kesedihan yang sifatnya personal.
Jika kita baca sajak pertama berjudul “Mabuk Malam”, maka kita akan dengan mudah menemukan corak dari puisi Dede yang terobsesi menggambarkan alam seelok-eloknya. Penggambaran alam yang elok sepertinya digunakan Dede sebagai motif untuk membangun suasana waktu malam, serta memberi sentuhan imaji sosok “-mu” yang cetar membahana.
Mabuk Malam
Senja berkabut
Berbaris menyelimuti gunung-gunung
Setebal alismu yang kau lukis
Lukisan mimpi yang tinggi menjulang
Malam tiba, tiada gulita
Memerah lampu jalanan
Semerah bibirmu bergumam
Mengumbar gelora yang tiada padam
Detak jantung kota
Kau dentumkan membahana
Denting gelas kristal
Geliat para penjual
Hati dan cinta menggombal
Seluruh cahaya bintang di langit
Jatuh dipangkuan
Tiada elok lagi cahaya bulan
Oh, Mawar, Melati, dan Dahlia
Merengek manja
Bertaburan di langit kelam
Menebar harumnya
Memabukan mentari
Sepanjang malam
Kata-kata seperti senja berkabut, cahaya bintang di langit, cahaya bulan, mawar, melati, dan dahlia merengek manja, dan mentari setidaknya menunjukkan bahwa Dede ialah seorang penyair yang selalu terpesona pada lanskap alam yang indah dan permai. Selain itu, sajak di atas juga menunjukkan bahwa Dede ialah seorang penyair yang penuh kelembutan dan ke-gemulai-an di setiap kata-kata yang dipilihnya. Salah satu faktor yang memunculkan kesan tersebut barangkali juga dikarenakan Dede cenderung masih memilih kata-kata yang arkais dalam sajaknya, seperti: gulita, gelora, membahana, dan mentari.
Terlepas dari pemilihan kata tersebut, sajak ini, jika dilihat dari segi gagasan, kurang lebih ingin mendeskripsikan kesan aku lirik terhadap suasana alam dan sedikit suasana kota pada malam hari untuk menggambarkan sosok “-mu”.
Sementara itu, alih-alih Dede ingin menawarkan suasana indah dan eksotis malam hari yang unik pada pembaca, Dede kadang lupa dan terlalu larut dalam “kemabukannya” dengan permainan imaji yang berelok-elok ria itu. Sehingga kemudian kurang memberikan tawaran gambaran-gambaran alam yang lebih baru, segar, dan tajam. Dede terjebak untuk menghadirkan gambaran-gambaran alam yang biasa kita temui, semisal: senja berkabut/berbaris menyelimuti gunung-gunung (larik ke-1 dan -2, bait pertama).
Tentu saja pilihan ini amat berisiko bagi sajak Dede sendiri. Sehingga imaji-imaji alam yang Dede hadirkan dalam sajak kemudian menjadi klise, kurang memiliki sentuhan imajinasi dan gagasan yang baru dalam benak pembaca.
Selain imaji-imaji alam yang klise dan biasa-biasa saja, Dede juga kadang-kadang kurang memperhatikan logika dari imaji-imaji yang dihadirkannya. Misalnya, pada larik: seluruh cahaya bintang di langit/jatuh dipangkuan/tiada elok cahaya bulan (larik ke-1,-2, dan -3, bait keempat). Sungguh imaji yang sulit dibayangkan dan terlalu berlebihan. Mana mungkin cahaya bintang yang kecil dan teramat jauh (bahkan melebihi jarak bulan sekalipun) itu bisa jatuh ke pangkuan? Atau katakanlah bisa sedikitnya menerangi bagian tubuh manusia? Jujur, saya sangat sulit membayangkannya.
Keanehan logika itu juga terjadi juga pada larik Mawar, Melati, dan Dahlia/Merengek manja/Bertaburan di langit kelam/Menebar harumnya/Memabukan mentari/Sepanjang malam (bait kelima). Isotopi bebungaan tentu saja lumrah hadir pada alam. Sementara dalam puisi ini, bebungaan itu diimajikan jatuh dari langit. Dan yang paling mencengangkan lagi, bebungaan itu menciptakan kemabukan bagi mentari. Mentari yang berada di langit itu. Mentari yang muncul di pagi hari itu. Fantastis.
Baca juga:
– Piknik dan Hal-hal yang Belum Selesai
– Laporan Pandangan Mata
Padahal sebelumnya, imaji bebungaan yang jatuh dari langit itu sudah dituruti alur imajinya semampu saya. Namun apa boleh dikata, mentari yang sebelumnya saya pahami hanya muncul di pagi hari dan berada di langit sana, rupanya kini sudah berpindah ke malam hari dan berada di dataran bumi. Dan mengalami kemabukan karena bertaburnya keharuman bebungaan dari langit itu.
Sajak “Mabuk Malam” itu, dalam hemat saya, belum cukup maksimal untuk mengungkapkan gagasan spesifik tentang sesuatu, selain hanya deskrispi-deskripsi imaji alam yang terkesan artifisial dan picisan. Saya menduga, Dede masih belum memiliki kemampuan mengolah bahasa serta pengalaman puitik yang dimilikinya.
Jika dibandingkan dengan sajaknya yang lain, sajak Dede Rostiana yang berjudul “Sisa Lilin” lebih jelas dalam mengungkapkan gagasannya. Sepertinya, kejelasan gagasan sajak ini mungkin juga dikarenakan oleh pemilihan bentuk sajak yang pendek. Sehingga Dede lebih fokus dalam menuliskannya. Meskipun sebetulnya dalam sajak ini juga, Dede masih belum beranjak dari pemilihan kata-kata arkais, semisal kata asa dan laksana. Tapi setidak-tidaknya, permainan bahasa Dede dalam sajak ini terasa lebih jelas dan padu, serta tidak menyamarkan gagasan utama dari sajak. Mari kita baca sajaknya baik-baik.
Sisa Lilin
Aku menyukaimu
Tapi kau malah menyukai yang lain
Asaku terbakar laksana lilin-lilin
kini hanya Sisa-sisa menempel kering
Dengan bahasa yang gamblang dan sederhana, sajak ini ingin menggambarkan perasaan kekecewaan hati dan kecemburuan personal pada kau. Sesuatu yang hadir karena ketidaksesuaiannya dengan harapan ideal yang diinginkan aku lirik. Perasaan kecewa dan cemburu itu kemudian diimajikan seperti sisa-sisa lilin yang terbakar dan mengering. Sebuah tawaran imaji yang cukup lumayan.
Sekali lagi, sebetulnya, saya pribadi lebih bisa menghayati sajak “Sisa Lilin” ini daripada sajak “Mabuk Malam” tadi. Alasannya sederhana. Gagasannya utuh dan logika bahasanya tidak melenceng. Melalui sajaknya yang kedua ini, Dede Rostiana setidaknya sudah menunjukkan kepada kita bahwa sajak yang baik ialah sajak yang memiliki gagasan yang utuh dan logika bahasa yang benar.[]
1 M.G. Wibisono. 2014. Umbu landu Paranggi ‘Presiden Malioboro’. Diakses dari https://umbulanduparanggi.blogspot.co.id/2014/07/umbu-landu-paranggi-presiden-malioboro.htm?m=1
2 Afrizal Malna. 2000. Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 378-379.
3 Muhidin M Dahlan. 2016. Puisi dan Penyair Yogyakarta (2): Kota dalam Puisi. Diakses dari https://muhidindahlan.radiobuku.com/2016/12/29/puisi-dan-penyair-yogyakarta-2-kota-dalam-puisi/