Fb. In. Tw.

Yan Lianke, Si Pengkhianat yang Menulis

Yan Lianke bekerja dan diupah sebagai penulis propaganda oleh pemerintah Cina. Namun, semua novelnya menjadi barang terlarang di republik rakyat itu. Ia dilabeli pengkhianat karena menulis satir mengenai kondisi masyarakat Cina yang tak seiring dengan propaganda kemajuan. Alih-alih menjadi eksil agar lebih leluasa mempublikasikan karyanya, ia memilih menetap dan berkarya di negerinya.

Yan, lahir di Song, Provinsi Henan, Agustus 1958. Ia merupakan anak dari keluarga petani miskin yang buta huruf. Orangtuanya tak mampu membiayainya untuk kuliah.

Dalam catatan Marrie-Anne Toy di The Age, Yan Lianke menceritakan tentang novel pertamanya yang mengangkat Revolusi Kebudayaan Cina. Novel itu ia tulis dalam 300.000 karakter. Akan tetapi novel tersebut tak sengaja dibakar ibunya karena kehabisan kayu bakar.

Pada usia 20 tahun, hasrat Yan menulis serupa bencana. Ia mencoba tetap menulis setelah bekerja keras hingga 16 jam sehari di sebuah pabrik semen. Pada usia itu, Yan yang telah putus sekolah saat berusia 18 tahun terpaksa mencari pekerjaan setelah ayah dan kakak perempuannya jatuh sakit.

Pada tahun 1978, ia terpaksa mendaftar sebagai tentara yang kemudian mengantarkannya menjadi penulis propaganda militer. Ironisnya, ia menyadari nilai sebenarnya dari sastra setelah bergabung dengan tentara. Ia berhenti menyesal akan buku pertamanya yang terbakar, tulisan yang dianggap tidak layak dan tidak menarik. Beruntung karya itu tidak terbit, karena dapat menyebabkan masalah bagi keluarganya.

Pada 1994, impian remajanya untuk meninggalkan pedesaan terwujud ketika ia dipromosikan ke unit militer di Beijing. Pada tahun yang sama, novel pertamanya, Xia Riluo diterbitkan. Sebuah novel mengenai dua pahlawan militer yang menghancurkan persahabatan dan reputasi mereka sendiri akibat saling tuding atas bunuh diri prajurit muda yang bertugas sebagai juru masak.

Novel itu tentu saja dilarang. Bahkan, Yan dipaksa untuk menulis kritik atas dirinya sendiri selama enam bulan. Oleh sebab itu, ia harus bersiap atas kemungkinan pengasingan kembali ke pedesaan bersama istri dan anaknya.

Tetapi pelarangan terhadap novel Yan itu memicu perhatian media negara-negara tetangga. Di Hong Kong dan Taiwan kasusnya menjadi topik panas. Media-media di negara tersebut menuduh Cina menindas seorang penulis muda yang menjanjikan. Di kemudian hari, karya-karyanya menemukan kemerdekaan di negara tersebut.

Setelah karya pertamanya itu, belasan novel dan puluhan cerpen telah dipublikasikan oleh Yan. Namun tetap saja, hingga hari ini tak satu pun karyanya dapat dibaca dengan bebas di negara berideologi komunis itu.

Yan baru dapat melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Henan dengan meraih gelar di bidang Politik dan Pendidikan pada tahun 1985. Enam tahun kemudian, 1991, ia juga berhasil menyelesaikan pendidikan Sastra di People’s Liberation Army Art Institute.

Meski kini tinggal di Beijing, karya yang ditulis oleh Yan banyak terpengaruh oleh peristiwa di kampung halamannya, Henan. Sejumlah kisahnya juga banyak menggunakan pedesaan sebagai latar cerita.

“Beberapa peristiwa berkesan dalam sejarah terjadi di sini, tetapi, selama saya hidup, Henan menjadi salah satu tempat termiskin di negara ini. Tidak ada kebanggaan yang tersisa, oleh karena itu orang-orang Henan merasa telah kehilangan dan tercebur ke dalam lubang kepahitan.” Tutur Yan kepada Jiayang Fan salah satu penulis di The New Yorker pada 8 Oktober 2018 lalu.

Misalnya dalam novel Lenin’s Kisses (2004), ia menyindir usaha penipuan yang melibatkan orang-orang cacat di desa. Mereka membentuk sirkus keliling yang aneh untuk mengumpulkan uang guna membawa kuburan Lenin dari Rusia.

Sementara pada novelnya Dream of Ding Village (2006) ia menulis cerita mengenai skandal penjualan darah pada 1990-an yang mengakibatkan seluruh desa tersapu habis oleh HIV. cerita ini ditulisnya setelah ia mengamati banyak petani di kampung halamannya yang mengidap HIV akibat jual-beli darah.

Salah satu karya Yan yang paling kontroversial adalah novel Serve the People! (2005). Sebuah novel satir dengan judul yang disitir dari jargon terkenal Mao Zedong. Novel yang berlatar masa Revolusi Kebudayaan Cina itu penuh dengan adegan dan narasi seks yang verbal.

Novel yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Julia Lovell itu menceritakan tentang seorang prajurit bernama Wu Dawang yang berselingkuh dengan istri atasannya. Ia selalu lebih bergairah setiap kali merusak simbol-simbol Mao di rumahnya, seperti menghancurkan patung atau mengencingi buku Mao.

Karyanya ini sangat dilarang di Cina lantaran dianggap mengandung penghinaan terhadap Pemimpin Revolusi Mao, sarat dengan isu politik, serta konten seksual. Meski dilarang di Cina, novel ini telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa, di antaranya Prancis, Denmark, Norwegia, Jerman, Belanda, Italia, Ceko, dan Inggris.

Sepanjang karirnya, Yan Lianke telah meraih berbagai penghargaan sastra di Cina. Di antaranya dua kali menyabet Lu Xun Literary Prize, pada tahun 1998 dan 2001. Serta Lao She Literary Prize pada 2004. Di dunia internasional, Yan Lianke juga meraih penghargaan sastra yang cukup prestisius, salah satunya dengan meraih penghargaan Franz Kafka Prize pada tahun 2014.

Yan Lianke banyak menulis karya yang berdasar pada pengalaman pribadi dan memusatkan perhatian pada sisi gelap kehidupan di Cina. Bagi Yan, yang menyebut dirinya sendiri sebagai pengkhianat yang menulis dalam judul esai yang sama di The Nation, “Menulis merupakan demokrasi dirinya dan menjadi pembebasan personal.”[]

KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register