“Ya dan Oke”, Konsep Hidup dan Puisi Zulkifli Songyanan
Bergembira bersama sambil minum kopi ditemani rokok kretek merupakan cara terbaik untuk silaturahmi, tinimbang mengacungkan jempol atau emoticon lainnya di media sosial. Pengalaman tradisional saya dalam memandang silaturahmi memang naif, namun itulah kebahagiaan dalam mindset saya.
Namun, tradisi silaturahmi modern dalam dunia maya tidak menjadi persoalan. Terutama untuk beberapa kawan yang memang terkendala dengan jarak untuk bertatap muka langsung. Silaturahmi ini menjadi penting.
Belakangan saya dikagetkan oleh banyaknya para penulis yang meluncurkan buku. Bahagia sekaligus sedih ketika banyak para penulis yang satu generasi melahirkan sebuah buku. Persoalan sedih dan bahagia bukan dilandaskan pada satu nilai semata, lebih jauh dari itu kebahagiaan lahir dari bacaan yang saya konsumsi menjadi beragam.
Keberanian anak muda menggulirkan pemikiran lewat bukunya di panggung sastra nasional menjadi menarik. Terlepas dari diterima atau tidaknya pemikiran tersebut. Karena saya beranggapan bahwa apa-apa yang dihasilkan oleh kalangan anak muda pasti menarik untuk disimak.
Sedih yang saya maksudkan dalam konteks anak muda dan buku, bukan sedih dalam konteks yang meratap. Karena sedih biasanya ditempatkan pada wilayah negatif atau iba. Sedih dalam paradigma yang saya bahas sekarang ditempatkan pada wilayah positif.
Sedih yang Positif
Zulkifli Songyanan, sebagai anak muda memiliki peran penting di tempat kelahirannya, Tasikmalaya. Ia adalah seorang putera dari seorang ibu yang sangat luar biasa. Setelah tamat SMA, ia melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung. Ia mengambil Program Studi Manajeman Pariwisata.
Di tempat kelahirannya, Zulkifli menjadi pemuda yang taat. Taat dalam menjalankan ibadah juga taat membantu ibunya.
Oleh karena ketaatannya, Zulkifli menjadi seorang yang tangguh dalam mengarungi segala aktivitas. Ia tidak pernah mengeluh, ia selalu mengatakan “ya dan oke”. Atas dasar “ya dan oke” itu saya menjadi sedih yang positif.
Zulkifli selalu mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Keputusan ini adalah keputusan yang diambil dari pengalamannya. Bukan karena dia berpikir. Artinya pengalaman Zulkifli membentuk keputusan yang dia ambil. Termasuk menulis puisi.
Dalam menulis puisi, Zulkifli membuat konsep dari pengalaman dengan keputusan cepat dan tepat. Pengalaman ini tidak lantas direduksi, namun dia utarakan dengan gamblang. Puisi-puisi seperti ini terlihat pada bagian pertama yang diberi sub judul Masalah Personal.
Pengalaman dalam membaca, bertatap muka, atau bertualang ke tempat-tempat lain sehingga memunculkan gelisah. Penulis mendeskripsikan semuanya dengan kosa kata yang baik, namun tidak ada tendensi. Sehingga hanya pretensi yang lahir dari puisi-puisinya. Yang muncul pada puisi-puisi pada bagian pertama adalah ambisi.
Ambisi yang terjadi adalah kecemasan, mengarah pada neurotik. Neurotik sendiri adalah gangguan mental ringan. Neurotik ini penting untuk seorang Zulkifli Songyanan, karena ia dapat mengabarkan pengalaman universal mejadi pengalaman personal. Maksud saya, Zulkifli menjadi juru bicara masalah masyarakat sekarang. Saya mengatakan masyarakat kekinian banyak dan mungkin semuanya mengidap neurotik. Termasuk saya sendiri.
Masalah neurotik yang dihadapi oleh masyarakat sekarang adalah kematian. Apakah ada cara untuk menghindar dari kematian?
Ya dan Oke
Zulkifli tumbuh dan berkembang dalam dunia penulisan di zaman yang sangat ruwet. Ditambah ia menjadi seorang wartawan di ibu kota. Keruwetan itu semakin dirasakan olehnya. Keruwetan yang dialami olehnya tidak diaplikasikan dalam puisinya. Zulkifli memilih sesuatu yang tidak ruwet. Artinya Zulkifli tidak terpengaruh oleh realitas yang ruwet. Ia enjoy dengan realitas yang ruwet dengan konsep “ya dan oke”.
Sepertinya saya harus memetakan dulu puisi-puisi dari Zulkifli Songyanan. Puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi Kartu Pos dari Banda Neira yang diterbitkan oleh Penerbit Gambang (Januari 2017) terdiri dari 61 puisi, dibagi menjadi tiga bagian. Bagian Pertama Masalah Personal, kemudian bagian ke dua La Poesia Sentimentale, yang terakhir Kartu Pos dari Banda Neira.
Pada sub judul Masalah Personal, terdapat 23 puisi. Mengangkat tema waktu. Tema-tema ini kemudian dieksplisitkan oleh penulisnya dengan metafora juga alusi. Pada puisi “Akuarium (2)”, penyair menanggapi puisi yang berjudul “Akuarium (1)” tentang takdir. Takdir berkaitan erat dengan waktu. Kemudian pada puisi “Jalan” penyair membuat alusi waktu /Jalan yang selalu kau lalui, yang paginya padat //dan malamnya sepi. Kemudian //adakah lewat dinihari begini engkau pulang/ atau pergi, adakah besok engkau masih sendiri. Waktu diciptakan lewat alusi jalan.
Pada puisi yang lainnya pada bagian pertama, waktu sudah diarahkan pada tema-tema kelahiran hingga kematian. “Sonet Burung”, “Sonet Laut Buat Bapak”, “Amsal Pohon”, “Tungku”, “Kayu Bakar”, hingga puisi terakhir pada bagian pertama yaitu “Desember”.
Saya hampir tidak bisa menikmati puisi-puisi Zulkifli Songyanan yang mengangkat waktu mengarah pada kematian. Apakah masalah personal neurotik Zulkifli adalah kematian? Apabila benar, maka konsep “ya dan oke” tidak dapat dipungkiri. Kematian tidak dapat dilawan, itu sebuah keniscayaan. Zulkifli telah menerima konsep kematian sebagai takdir. Bukan sebagai resiko.
Pada bagian kedua terdiri dari 18 puisi. Puisi pertama adalah “Ode Buat Kembang Mawar” waktu sudah bukan lagi arah pada tujuan. Waktu diangkat menjadi sebuah pertanyaan besar. Penyair di sini berada dalam kegamangan yang cukup pelik. Namun ia menghadapinya dengan cara yang cukup santai “ya dan oke”. Atau dengan kata lain ia seakan berbicara “harus bagaimana lagi, semua itu sudah terjadi kita tinggal memilih ya atau tidak”.
Puisi yang kuat pada bagian kedua adalah puisi “Tentang Seorang Penyair yang Berpikir Ihwal Mimpi”. Mimpi dikurasi menjadi menjadi bentukan waktu sekarang dan masa lalu. Waktu menjadi penting dalam puisi ini untuk memandang sebuah kehidupan.
Pada bagian ketiga diberi sub judul Kartu Pos dari Banda Neira. Puisi yang berjudul “Kartu Pos dari Banda Neira” adalah puisi yang paling kuat dalam kumpulan puisi ini. Selain itu ada satu lagi puisi Zulkifli yang kuat berjudul “Di Depan St. Petrus”. Pada kedua puisi ini waktu menjadi begitu kompleks. Waktu dibentuk bukan hanya pada tema namun pada alusi yang kuat.
Alusi waktu yang memperkuat puisi ini terdapat pada seluruh bait. Adapun alusi ini dibicarakan dengan verbal seperti “Batu-batu Benteng Belgica”, “Rumah Peninggalan Belanda”, “78 tahun yang lalu”, dan “Silih Rawat”. Ada pula yang disembunyikan lewat imaji visual seperti “gugusan batu karang bertebaran”. Semua itu saling memperkuat keutuhan puisi.
Poitik Waktu
Tentunya kita sudah tahu pada abad ke-18 di Inggris terjadi revolusi industri. Revolusi industri ini menjadi sejarah besar untuk dunia, bahkan sampai hari ini. Terutama pada wilayah waktu. Waktu menjadi makna. Sehingga muncul istilah time is money, atau istilah jam kerja. Waktu sudah bukan lagi sahabat untuk manusia, waktu adalah alat untuk menghasilkan uang.
Pada puisi-puisi Zulkifli Songyanan, waktu adalah penghayatan. Zulkifli mengembalikan waktu pada sesuatu yang seharusnya menjadi penghayatan.
Pada wilayah ini Zulkifli sedang melawan watu yang dipolitisasi oleh para kapitalis. Waktu menjadi begitu penting untuk umat manusia. Sehingga manusia berlomba-lomba mengejar waktu, memanipulasi waktu, bahkan menciptakan waktu.
Seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini tentang silaturahmi, Zulkifli tidak memilih konsep silaturahmi kedua-duanya. Ia lebih memilih tersenyum dan mengatakan “ya dan oke”.Salam.[]