Fb. In. Tw.
Foto: KBRI Moskow

Winter Blues, Karya Utuy, dan Perayaan Natal di KBRI Moskow

Saya tumbang setelah minggu ketiga di Moskow dilewati dengan kegiatan yang itu-itu saja: bangun siang hari, mendapati langit dan perasaan sama-sama mendung, berjalan sesekali (bila ada janji), lantas kembali ke penginapan dengan hati murung tanpa tahu penyebabnya.

Di Hari Ibu, badan saya demam. Saya menggigil semalaman dan mengigaukan ibu saya berulang-ulang. Vitally, Anna, dan Janic—teman-teman di penginapan—bergiliran menyapa dan menawari berbagai makanan tiap kali saya terjaga, dan memandangi kenyataan dengan tatapan hampa. “Kamu tampak payah,” kata Vitaly, orang Baikal, lewat mesin penerjemah.

Baca juga:
– Minanto: Pemenang Sayembara Novel DKJ 2019, Bekerja dalam Sepi

Pukul tiga pagi, seorang perempuan dengan rambut pirang dikepang berbisik dan berkeras menawarkan pertolongan. “This is vitamin, this is vitamin,” katanya. Meski baru pertama kali melihatnya dan sama sekali tak tahu namanya—dia datang di penginapan saat saya tidur—saya memanggilnya “a good friend”. Kemampuannya mengartikulasikan kebaikan dalam bahasa Inggris memang patut diacungi jempol. Saya menerima bantuannya dan berjam-jam kemudian kondisi tubuh saya sama saja. Terjaga lewat tengah hari, saya merogoh saku tas di kolong ranjang dan menemukan Paracetamol.

“Awas kena winter blues,” kata Adimas Immanuel dari Barcelona.

Tampaknya, bukan hanya cuaca dan langit mendung saban hari yang bikin fisik dan mental saya ambruk. Jumat (20/12/2019), saya mengunjungi rumah Profesor Vilen Sikorsky, tak jauh dari stasiun metro Ploschad Gagarina, dan mendapatkan empat—dari sekian banyak—karya Utuy yang ditulis di Uni Soviet.

Membaca naskah-naskah itu, sungguh bikin mental saya berantakan. Pengalaman Utuy di Moskow—sebagaimana tertuang dalam prosa Lelaki Tua di Negeri Baru dan Di Sanatorium—seolah hanya membentangkan kerinduan demi kerinduan, kesepian demi kesepian.

“Dan bagiku sendiri jelas, selama terdiam dengan mata ke luar jendela itu tak ada yang terasa memenuhi rongga dadaku selain hanya kehadiran Natasha di sisiku, kehadiran dia di sampingku setelah lima belas tahun lamanya isteriku sendiri tak bisa lagi hadir di sampingku,” tulis Utuy dalam Di Sanatorium.

Sedangkan dalam Lelaki Tua di Negeri Baru, Utuy menulis: “Bagiku, inilah yang namanya nasib. Dalam usia tua mesti hidup sendirian.” Coretan berulang dengan tinta merah di bagian itu membuat pergulatannya dengan kesepian terasa demikian keras dan melelahkan.

Dibandingkan dengan karya-karyanya di era 50-an, seperti Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, atau Selamat Jalan Anak Kufur, kualitas karya-karya Utuy periode Moskow memang terkesan mengalami penurunan, downgrade. Tak ada kompleksitas kejiwaan atau dialog-dialog para tokoh yang menghentak dan menggugat kesadaran. Tokoh perempuan, yang dalam karya-karya masterpiece pengarang asal Cianjur ini lazim diposisikan punya prinsip dan peran dominan, dalam karyanya yang belum dipublikasikan malah terkesan hanya punya fungsi mengagumi sekaligus bikin galau sang tokoh utama: pengarang tenar dari Indonesia yang tak bisa pulang ke negeri asalnya.

“Jangan banyak menuntut. Sudahlah secara psikologis sangat tertekan, kualitas karya-karya Utuy sejak awal tahun 1960-an memang disebut-sebut mengalami penurunan, bukan?” Saya membatin, menghibur diri sendiri.

Tapi, penghiburan cuma penghiburan. Saya tetap kena demam dan terus terjerembap dalam winter blues. Dalam kondisi demikian, saya benar-benar merindukan Indonesia.

***

Kerinduan terhadap Indonesia coba saya tuntaskan dengan, berkat informasi dari Google, mendatangi Laksa & Co di bilangan Usachyova pada Jumat malam (27/12/2019). Hanya, alih-alih terpuaskan, kerinduan saya kian menjadi. Restoran itu tak punya menu yang akrab di lidah: nasi gorengnya aneh—bumbunya mengingatkan saya pada citra rasa masakan Thailand; taburan bawang daunnya membuat saya terkenang pada fungsi deodoran.

Untunglah keesokan harinya KBRI Moskow menggelar peringatan Natal. Ratusan orang Indonesia, juga puluhan warga Rusia pecinta Indonesia, berkumpul, dan aneka makanan khas Nusantara dihidangkan. M. Wahid Supriyadi, Duta Besar RI untuk Rusia dan Belarusia, mengharapkan momentum Natal dijadikan perekat persatuan dan kesatuan WNI di tanah rantau ini.

“Bagi saya yang kesepian, acara seperti ini sungguh menggembirakan,” komentar saya, tak lama setelah menyalami Dubes Wahid. Pak Dubes tampak lelah, tapi parasnya tetap sumringah.

“Saya sedang menyiapkan buku, kolaborasi dengan wartawan Tempo, tentang untold story hubungan Indonesia-Rusia, untuk momentum 70 Tahun hubungan diplomatik kedua negara,” katanya.

Ibadah Natal berlangsung khidmat, dan acara perayaan setelahnya terasa hangat: tarian daerah ditampilkan, kelompok paduan suara maju bergiliran, dan setelah makan malam dihidangkan, aksi Raymond Sihombing dan Nowela Elisabeth Auparay alias Nowela Idol bikin suasana makin cair, bikin semangat meski suhu udara cuma 1° C.

Siapa Raymond Sihombing? Ia penyandang gelar Doktor Hukum Luar Angkasa, dan Direktur ASEAN Center MGIMO University, Dr. Victor Sumsky, menyebutnya sebagai “penyanyi yang baik yang diterima dengan baik pula oleh kalangan orang Rusia”.

Di puncak acara, Nowela Idol, penyanyi berdarah Papua-Sumatera Utara, berhasil mengajak hadirin bernyanyi dan bergoyang bersama melantunkan Maumere dan Poco-poco. Saat seluruh wajah menampakkan kegembiraan, saya merasa harapan Dubes Wahid telah menjadi kenyataan.

“Teman-teman ini kan perlu juga dihibur, dan menikmati suasana keakraban seperti tadi,” kata Aziz Nurwahyudi, Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia, saat saya menyambanginya sehabis acara. Sepanjang Nowela beraksi, Aziz pol-polan betul bernyanyi dan bergoyang.

“Adik-adik mahasiswa, apakah kalian sadar bahwa bapak-bapak yang kalian gencet di depan tadi adalah Pak DCM (Deputy Chief Mission—Wakil Dubes)?” Kata Nowela, di sela aksinya. Aziz ketawa, keriangan berkali-kali memancar dari balik kacamatanya.

Baca juga:
– Cerita buat Nadiem Makarim

Larut dalam kebahagiaan Natal untuk pertama kalinya, jauh dari negeri sendiri, memang menggoreskan kesan di dalam batin. Dan seperti halnya seluruh perempuan berjilbab rapi di lantai dua KBRI, saya tak segan mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani yang tengah merayakannya. Keindahan yang sulit ditemui di tanah air.

Dalam kondisi demikian, berada jauh dari Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya punya kegiatan tahunan memperdebatkan boleh-tidaknya mengucapkan selamat Natal, saya kira ada faedahnya, sekalipun winter blues mengintai dan kesepian membuatnya kian sulit dienyahkan.

Selamat Tahun Baru. []

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register