Unboxing: Membongkar Paket Bongkaran
Paket puisi Unboxing, karya Willy Fahmi Agiska, tampaknya memang adalah sebuah paket hasil unboxing; paket yang berisi hasil pembongkaran. Ada motif box yang membagi paket ini ke dalam dua panel: box kelisanan dan box yang cacat. Motif itu dapat mengasosiasikan dua boks berisi hasil pembongkaran. Apa yang dibongkar dan apa hasil pembongkaran itu? Untuk menjawabnya, hasil pembongkaran itu mesti kita bongkar terlebih dahulu. Melakukan unboxing terhadap paket unboxing untuk mencari matriks antara satu perintilan dan perintilan lainnya sehingga dapat terbentuk sebuah bangunan di mana pemaknaan dapat dimungkinkan. Konon, makna dapat membuat apa yang sia-sia tampak tak sia-sia.
24 puisi dalam box kelisanan memang sarat dengan indeks kelisanan, baik berupa kata-kata, ungkapan, dan pengucapan lisan (‘mewek’, ’sori’, ’mukbang’, ’asyiap’, ’depek’, ’gemoy’, ’garing’, ’sotoy’, ’gaskeun’, ’aing’, ’maneh’, ’sampe’, ’nenangin’, ‘mentok’, ‘anying’,’pisan’, ‘ahay’, dst), maupun dalam moda komunikasinya. Kata-kata vernakular dan non-baku mengintip, menyalip, atau menggantikan kata-kata baku, di dalam atau di antara perangkat-perangkat anafora, jukstaposisi, bunyi, alusi, aliterasi, dan sebagainya, sehingga menghasilkan komposisi yang nyaris simultan dan mirip-mirip pastiche. Motif kehadiran kata-kata, ungkapan, atau pengucapan lisan itu bukan dalam rangka melakukan pemberontakan terhadap kecenderungan umum komposisi perpuisian Indonesia; melainkan untuk mendekati atau memasuki sekaligus memproyeksikan citra subjek dan situasi yang melingkupinya.
Sebagian kata-kata itu seperti terafiliasi dengan etnisitas yang selama ini menghasilkan istilah “lokalitas”. Lokalitas memang cenderung disebut-sebut melalui perspektif etnik dan administratif. Perspektif yang mengandaikan adanya skala; pusat dan daerah, nasional dan lokal, di mana daerah tak hanya menjadi bagian dari pusat; yang lokal menjadi bagian dari yang nasional, tetapi juga berada dalam posisi hierarkis terhadapnya. Dalam Unboxing, apa-apa yang lokal bukan muncul melalui perspektif etnik maupun administratif, melainkan melalui persepsi kolektif. Tak ada problem etnik atau problem daerah di dalamnya.
Dari motif dua boks tadi kita melihat hasil bongkaran terhadap dua hal.
Pertama, kelisanan. Kelisanan berdiri di tengah komunikasi sehari-hari, bersifat arbitrer dan meletakkan maksud komunikator sebagai hal paling penting, melampaui makna teks. Kelisanan dibongkar dan perintilan-perintilannya dipakai untuk menyusun bangunan puitika bersama bahan-bahan formal. Hasilnya adalah bangunan puitika dengan arsitektur yang lazim, tapi dengan bahan-bahan yang banal.
Kedua, eksterior dan interior bangunan diri sang subjek. Kita dapat memindai subjek tersebut adalah subjek pekerja; lihat saja: “jam datang jam pergi’, “RTL”, “libur”, “pengangguran”, “kantor”, “target-target bos”, “gaji”, “kurva dagang”, “peredaran uang”, “hukum dagang”, dan sebagainya. Selain pekerja, subjek ini rupanya juga punya lagak, untuk ‘menggali bakat dan potensi diri’, ‘order headset dan manekin’, ‘self reward’, ‘mendengar podcast’, ‘nonton konser’ dst. Status dan lagak itu adalah eksterior dari bangunan diri sang subjek. Namun, status dan lagak itu rupanya tak bisa menghindarkan sang subjek dari kesendirian dan kekosongan sehingga membuatnya hampir tak punya siapa-siapa sewaktu nonton konser (“Impuls”, hal.23) dan menjadikan headset dan manekin sebagai sobat share unek-unek (“Unboxing 2022”, hal.12), juga saling roasting dengan dinding atau battle dengan kipas angin (“Kurang Bisa Begini, Kurang Bisa Begitu, hal.22). Situasi tersebut memicu sang subjek untuk memaklumatkan diri dengan baris-baris kita kan cuma/halaman belakang/dari cinta & bahasa (“Bismika”, hal.11); baris-baris yang merupakan ekspresi interior bangunan diri sang subjek.
Kita bisa melihat bahwa bangunan puitika yang berdiri melalui pemejalan teks vernakular dan formal yang nyaris simultan dan mirip-mirip pastiche itu sekaligus juga memancarkan spektrum bangunan diri sang subjek yang terbentuk dari kemestian status dan kebutuhan lagak, yang kemudian menghasilkan kevakuman.
Apabila kita memindai maklumat kita kan cuma/halaman belakang/dari cinta & bahasa, kita melihat arah yang menikung. Sebagaimana semua lagak hidup tadi, cinta (dalam hal ini bisa kita anggap sebagai relasi yang pribadi dan intim) dan bahasa (yang bisa kita anggap sebagai rekreasi dan pengetahuan) mestinya menjadi solusi, setidaknya solusi eskapis, bagi situasi subjek yang meski, atau mungkin justru karena, punya lagak hidup tetap mengalami kesepian dan kekosongan. Apa pasal kesepian dan kekosongan itu bisa timbul? Tak lain dan tak bukan adalah akibat dari sistem ekonomi yang membuat angin tak bisa menggulingkan pr-pr cicilan, target-target bos sebulan ke depan (“Dramaturgi Siang Kita” hal.17), dan memaksa sang subjek terus bekerja sembari gali gaji ditutup ngutang lagi. Akan tetapi, meski persoalannya adalah ekonomi, sang subjek (sebagai pekerja) tak menyatakan diri sebagai “halaman belakang ekonomi”, sesuatu yang lebih kontekstual dan langsung ke pivot persoalan, melainkan “halaman belakang cinta dan bahasa”, dua hal yang mestinya jadi solusi. Bagi sang subjek, mimpi dapat banyak solusi tampaknya memang seringkali sepet maknanya (“Dramaturgi Siang Kita”, hal.17). Dari situ kita melihat suatu keengganan sang subjek untuk menjadi hero; ketidakmauan untuk melakukan perlawanan, memberontak, menginginkan benturan. Alhasil, apa yang visibel adalah subjek yang mau kerja kerja kerja, tapi bosan, sekadar move on dari waktu, sungkan, ragu-ragu, tidak percaya diri. Subjek yang tidur dan kerja sekaligus dalam satu diri yang sama (“Mirrorless”, hal.45).
Sedikit berbeda dari box kelisanan, panel kedua, box yang cacat, tak banyak menggunakan kata-kata, ujaran, dan pengucapan sehari-hari. 14 puisi di bagian ini lebih formal, dan “normal”. Banyak kita temukan upaya mengurai kejamakan diri, sehingga menghasilkan bangunan puitika yang berkesan filosofis. Kita juga bisa menemukan hasil bongkaran yang lain. Memang ada sedikit hasil bongkaran kelisanan, seperti dalam boks pertama. Akan tetapi, tak ada lagi aing, yang ada adalah aku. Kelihatannya boks kedua ini berisi hasil bongkaran dari bangunan diri sang subjek yang sudah kita bayangkan di boks pertama. Di boks kedua ini kita menemukan subjek yang pada boks pertama tampak mau kerja kerja kerja, tapi bosan, sekadar move on dari waktu, sungkan, ragu-ragu, dan tidak percaya diri, berkembang menjadi subjek yang setiap hari mati di banyak tempat yang tak dikenalnya (“Uwu” hal.57), subjek yang setiap hari bersalin dan berlewatan sebagai orang lain (“Unboxing Sdr. Penyair [I], hal.59), subjek yang mengangkut orang lain dari dirinya (“Kepada Psikoanalisis”, hal.64), subjek yang seperti dilahirkan sebagai kata pasif dan melulu arsip (“Paket Pertanyaan untuk Bobi”, hal.55). Pendeknya: subjek non persona; subjek dengan bangunan diri yang tak dapat diverifikasi. Aku, ternyata, telah melantarkan aing menjadi anonim.
Dalam takaran tertentu, situasi dan perkembangan subjek dalam Unboxing menyiratkan suatu sikap yang mirip-mirip, atau menjurus ke, sikap tang ping atau lying flat angkatan muda di Cina akhir-akhir ini. Angkatan muda yang tak mau lagi bekerja keras tanpa henti; yang memilih hidup lebih santai dan apa adanya. Angkatan muda yang tak lagi punya ambisi apa-apa; tak mau lagi memenuhi harapan akan hidup yang sukses. Termasuk juga ogah melakukan perlawanan.
Karena kemiripan itu, meski banyak menggunakan kata-kata ‘lokal’, alih-alih ada problem daerah atau etnik, apa yang ada dalam Unboxing adalah problem global, yang tampaknya merupakan jiwa zaman dari dunia yang, sebagaimana bangunan puitika dalam Unboxing, cenderung simultan dan berwatak pastiche. Dalam problem global tersebut, makna yang dimungkinkan dari upaya kerja keras ternyata tak membuat yang sia-sia tampak tak sia-sia. Justru sebaliknya, makna tersebut telah membuat yang sia-sia tampak semakin sia-sia. Dan kita selamanya/cuma bisa “yaudahlah, biarin”(“Dramaturgi Siang Kita” hal.17).**