Fb. In. Tw.

Ubud dan Padi Terakhir

Pada 1962, penyair Isma Sawitri menulis puisi yang sangat romantis dan legendaris, berjudul “Ubud”, dimuat di Majalah Sastra pada 1964. Pada masa itu, Ubud adalah sebuah desa indah permai.

Isma Sawitri terpesona pada hamparan sawah di Ubud. Dalam puisinya, dia menulis: “Yang emas adalah padi. Yang hijau adalah padi. Yang bernas sesungguhnya padi. Yang bergurau kiranya padi.”

Pada 1960-an, suasana Ubud sungguh sangat menawan, seperti lukisan-lukisan Rudolf Bonnet. Sawah dan ladang subur menghampar, petani memanen padi, bunyi gamelan mengalun, aroma bunga dan dupa, sapi dan babi serta anjing berkeliaran di jalanan tanah. Ketika malam tiba, suasana gelap gulita, karena listrik belum masuk Ubud. Bunyi jangkrik dan serangga malam menjadi nyanyian magis. Itulah yang menggerakkan para turis dan seniman berbondong-bondong memburu “surga yang hilang”, dan mereka merasa menemukannya di Ubud.

Maka, tak berlebihan ketika pada abad ke-8 Rsi Markandya yang melakukan perjalanan suci dari Gunung Raung ke Bali, menyebut “ubad” untuk kawasan di sekitar sungai Campuhan. Ubad artinya obat. Kata “ubad” lama kelamaan berubah menjadi “ubud”. Ya, pada saat itu, dan mungkin hingga kini, Ubud adalah obat bagi jiwa-jiwa letih.

Namun, yang abadi adalah perubahan. Isma Sawitri berujar, “Inilah kebenaran pertama sebelum yang lain-lain. Karena laparlah yang pertama sebelum yang lain-lain. Sebelum berdirinya pura. Sebelum tersusun doa. Sebelum raja-raja bertakhta. Dewi Sri membenihkannya di atas bumi.”

Ya, Ubud dari tahun ke tahun terus mengalami perubahan. Salah satu penyebab perubahan adalah “lapar” yang bisa ditafsir menjadi banyak makna. Banyak seniman memilih menetap di Ubud karena lapar inspirasi, lapar  keindahan. Banyak turis datang ke Ubud karena lapar terhadap eksotisme dan mitos “surga yang hilang”, yang gencar dipromosikan pemerintah kolonial Belanda sejak awal abad ke-20.

Karena “lapar” pula, orang-orang Ubud termakan bujuk rayu cukong pariwisata yang berkolaborasi dengan konglomerat, pemerintah, dan juga calo. Mereka ramai-ramai menjual tanah warisan leluhurnya. Mereka menjadi orang-orang kaya baru yang kebingungan menggunakan uang.

Rumah ilalang menjelma rumah gedongan. Sepeda gayung tinggal kenangan. Sepeda motor dan mobil pribadi bersliweran bikin macet jalan-jalan Ubud yang sempit. Perlahan tapi pasti, uang habis, tanah lenyap. Yang hobi judi, menghamburkan uang di arena tajen. Yang taat pada ajaran leluhur, meludeskan uang untuk keperluan ritual-ritual agama/adat. Yang paham uang, melakukan investasi di bidang pariwisata.

“Setiap musim berganti. Setiap musim beralih,” gumam Isma Sawitri lirih.

Kini, sebagian Ubud menjadi milik orang-orang kaya dari luar Bali dan luar negeri. Sawah, ladang, hingga tebing sungai disulap menjadi hotel, villa, restaurant, kafe, pertokoan. Warga pribumi yang dulu adalah petani, yang dulu adalah kekasih Dewi Sri, kini banyak menjadi abdi kapitalis pariwisata. Ada yang menjadi tukang acung, sopir taxi, kuli bangunan, tukang kebun, buruh hotel/restaurant.

Dewi Sri yang dimuliakan Isma Sawitri dalam puisinya, telah raib dari bumi Ubud, seiring lenyapnya sawah dan subak. Sawah-sawah yang tersisa dikavling untuk paket pariwisata. Suatu ketika, seorang pelancong dari Jakarta terperangah menyaksikan bulir-bulir padi menguning merunduk di hamparan sawah itu. Dia bertanya penuh keheranan, “Itu tanaman padi, ya?” Pemandu wisata menjawab dengan getir, “Ya, itu padi. Apakah anda belum pernah melihat padi?”

Ya. Itu mungkin tanaman padi terakhir di Ubud. Padi yang pernah diungkapkan penuh kekaguman oleh Isma Sawitri pada 1962: “Dewi Sri membenihkannya di atas bumi. Sepanjang usia bumi. Sepanjang hidup khayali. Yang bernas sesungguhnya padi. Dewi Sri adalah warisan abadi. Maka tercipta dongeng atas kenyataan. Tercipta keyakinan pada kehidupan.”[]

 

Tentang penulis
Wayan Sunarta, penyair. Tinggal di Denpasar, Bali.

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register