Tujuh Kesan Tentang Pulau Flores dan Masyarakatnya
Perjalanan melintasi pulau Flores, menyisakan sejumlah kesan bagi saya. Mulai dari pengalaman hitchhiking, nyurfer di rumah warga, sampai merasakan sendiri bagaimana proses menyuling sopi. Tentunya tak sekadar itu saja, tetapi pada tulisan ini saya hanya akan berbagi tentang kisah-kisah yang menurut saya layak untuk diketahui oleh orang-orang yang belum pernah mengunjungi pulau bekas kekuasaan Portugis tersebut.
Dan, inilah tujuh hal yang paling berkesan bagi saya terhadap pulau Flores secara keseluruhan.
Keramahan di Balik Perawakan Keras
Jika mendengar istilah “orang timur”, apa yang akan terbersit di pikiran Anda? Kalau bagi saya, “orang timur” itu identik dengan orang-orang berkulit hitam, rambut keriting, perawakan tubuh besar dan kekar, serta wajah yang “seram”. Nyatanya, “orang timur” seperti yang terdapat di Papua, NTT, ataupun Maluku memang memiliki ciri-ciri fisik seperti itu. Namun jangan salah, di balik perawakan yang terkesan stigmatis tersebut, ternyata mereka hidup dalam lingkungan yang membangun kepribadiannya agar bersikap ramah dan sopan terhadap semua orang. Menurut perspektif saya setelah mengalami langsung berinteraksi dengan mereka, masyarakat Flores adalah orang-orang yang begitu murah senyum, mudah bergaul, terbuka dengan orang-orang baru, dan pastinya senang mengobrol.
Ketika akan menginjakkan kaki di tanah Flores, di kepala saya berkecamuk berbagai kesan yang pernah saya ketahui tentang orang-orang di wilayah timur Indonesia itu. Salah satunya perkara sosial masyarakat setempat terhadap keberadaan orang asing atau orang di luar rasnya. Berbagai cerita saya dengar tentang bagaimana masyarakat di situ, mulai dari respons cuek terhadap pendatang, sampai hal-hal kriminalitas seperti mabuk-mabukkan disertai penodongan. Namun, sebelum sempat menitikkan keringat di pulau Flores, semuanya seakan sirna. Tak satupun pandangan negatif itu muncul dari mereka.
Bukan Pulau yang Gersang
Persepsi selanjutnya yang mungkin salah perihal pulau Flores adalah masalah geografis dan geologisnya. Media televisi pernah menggiring paradigma kita sebagai objek bahwa provinsi Nusa Tenggara Timur adalah daerah yang gersang, kesulitan air bersih merupakan permasalahan masyarakat setempat. Namun, perlu digarisbawahi bahwa yang sebenarnya gersang itu adalah pulau Sumba dan sebagian kecil pulau Timor. Keduanya termasuk dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur, bersama pulau Flores sebagai tiga pulau utamanya.
Bagaikan dua sisi mata uang, kondisi geografis dan geologis di pulau Flores nyatanya sangat berbeda dengan dua pulau utama lainnya. Pulau Flores terbentuk dari cekung-cekung topografi; lembah-lembah dan bukit-bukit. Di sepanjang jalan yang saya tempuh (Labuanbajo-Maumere), mata takkan pernah lepas dari pohon-pohon yang menjulang dan rapat. Hal itu semakin mencirikan bahwa pulau Flores memiliki hutan yang lumayan luas. Dari kejauhan, pulau Flores terlihat begitu indah dengan gradasi warna hijau yang menyatu dengan luas birunya perairan yang mengelilinginya. Sungguh menakjubkan!
Kedekatan Agama Samawi dengan Kepercayaan Tradisional
Berbicara masalah agama, sebagian besar masyarakat Flores memeluk agama Katolik. Sebagian kecil beragama Protestan dan Islam. Pemeluk agama Islam umumnya merupakan masyarakat yang berdomisili di sepanjang pesisir pulau Flores, sedangkan di daerah dataran tinggi, pemeluk Islam adalah para pendatang.
Uniknya, masyarakat Flores menyelaraskan agama yang dipeluknya dengan kepercayaan tradisional yang masih mereka pegang teguh sampai saat ini. Mereka percaya bahwa benda-benda mati di sekitarnya memiliki roh dan arwah leluhur masih bergentayangan menjaga mereka. Singkatnya, mereka begitu memercayai segala hal-hal yang bersifat gaib dan transenden. Hal itu saya buktikan salah satunya ketika mengunjungi desa adat Waerebo. Penduduk di sana, secara terang-terangan mengemukakan berbagai hal yang merupakan pantangan untuk dilakukan karena akan menyebabkan ketidaksenangan terhadap roh leluhurnya.
Nasi Padang Termahal
Karena di pulau Flores mayoritas dihuni oleh masyarakat beragama Katolik, saya sebagai seorang muslim tentunya harus lihai memilih makanan yang akan dikonsumsi. Biasanya, untuk di wilayah yang seperti itu, saya hanya akan makan di warung Jawa atau warung Padang. Nah, pengalaman mengesankan bagi saya selanjutnya adalah ketika pertama kali masuk ke warung Padang di Labuanbajo. Di situ, saya hanya memesan satu porsi nasi dengan lauk berupa telur dadar serta segelas teh manis hangat. Dalam kalkulasi saya, harga yang akan saya bayar untuk pesanan tersebut takkan lebih dari Rp25.000. Akan tetapi, betapa terkejutnya saya ketika harus membayar semuanya seharga Rp37.000. Angka itu menyadarkan saya betapa lebar range antara bahan pokok di pulau Flores dengan pulau Jawa.
Begitu pula yang saya temui di kota lain seperti di Ruteng, Bajawa, Ende dan Maumere. Dengan menu yang tak berubah, meskipun dengan harga yang bervariasi, tetapi tetap saja nominalnya di atas Rp30.000. Berdasarkan pengalaman tersebut, sampai hari ini, itu adalah harga nasi Padang termahal yang pernah saya bayar.
Tuak Sebagai Lambang Persahabatan
Satu pertanyaan yang mencuat di pikiran saya kala itu, “Bagaimana bisa tuak (bahasa lokal Flores: sopi), yang termasuk dalam kategori minuman keras, diilegalkan di daerah ini?” Untuk sekadar diketahui, tuak di paparan Sunda Kecil secara keseluruhan merupakan minuman tradisional. Minuman itu disajikan di berbagai acara adat dan kemasyarakatan. Di samping itu, bagi pemuda setempat, sopi merupakan minuman yang melambangkan persahabatan dan kebersamaan. Selanjutnya, sopi dapat menjadi alat pemersatu antarkelompok, jamuan bagi tamu, serta berbagai fungsi sosial lainnya.
Buktinya adalah ketika saya berkunjung ke Labuanbajo, Ruteng, dan Ende. Di Labuanbajo, saya dipersilakan untuk meneguk sopi saat ikut nimbrung dalam obrolan sekelompok orang. Di Ruteng, sebuah keluarga yang menampung saya saat mengunjungi kota itu menyajikan sopi sebagai minuman penyambut kedatangan saya. Jika jamuan di daerah lain berupa kopi, teh, atau minimal air mineral, maka di situ jamuannya tak lain adalah sopi. Di Ende, serupa saat saya berada di Labuanbajo, saya lagi-lagi ditawari sopi. Konon, dengan sopi suasana dan keakraban jadi makin hangat. Dengan kata lain, sopi bagi mereka bukanlah sejenis barang ilegal. Tak ada asosiasi negatif yang lekat di sopi. Paradigma ini tak ubahnya seperti paradigma masyarakat Batak di Sumatera Utara, atau sebagian besar masyarakat di kepulauan Maluku dan Papua.
Setiap Kabupaten Difasilitasi Bandara
Jika menilik aspek ekonomi, provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dikatakan termasuk ke dalam provinsi dengan penghasilan terendah di Indonesia. Mata pencaharian masyarakat setempat berkutat pada sektor perkebunan dan pertanian. Akan tetapi, satu hal yang membuat saya berdecak kagum dengan wilayah ini berkenaan dengan transportasi mereka. Di pulau Flores saja misalnya, setiap kabupaten dilengkapi dengan fasilitas bandara. Begitu pula sejumlah pulau-pulau kecil di wilayah itu.
Bandingkan dengan kampung halaman saya, di Sumatera Barat, jangankan setiap kabupaten, untuk ukuran bandara bertaraf internasional saja, Bandara Internasional Minangkabau (BIM) rasanya masih belum cukup baik dan memadai sebagai bandara utama di provinsi itu. Selain BIM, di kota Padang ada bandara Tabing yang kepemilikannya berada di tangan Angkatan Udara. Di daerah lain, barangkali hanya di Airbangis-kabupaten Pasaman Barat yang ditunjang dengan fasilitas bandara. Artinya, di untuk tingkat provinsi saja hanya ada dua bandara komersial.
Sadar Pendidikan
Dari obrolan ngalor-ngidul saya bersama para orangtua di pulau Flores, saya meyakini bahwa mereka akan berusaha habis-habisan agar dapat menyekolahkan anak-anaknya. Tidak hanya sampai jenjang SMA sederajat saja, mereka bahkan berkeinginan agar anak-anaknya memperoleh gelar sarjana. Agar terwujud, mereka bersedia melakukan apapun, apakah itu menjual tanah, kebun, aset keluarga, ataupun meminjam uang kepada saudara-saudaranya asalkan anak-anak mereka bisa menempuh pendidikan tinggi.
Itulah mungkin yang menjadi alasan mengapa di Surabaya, Yogyakarta, atau Malang dan beberapa daerah lain mudah ditemukan mahasiswa-mahasiswa asal Flores, dari keluarga menengah ke bawah, berkuliah di PTN-PTN di pulau Jawa tidak dengan biaya dari pemerintah (beasiswa). Bagi para orangtua tadi, mereka lebih senang menguliahkan anak-anaknya ke pulau Jawa daripada berkuliah di ibukota provinsi, Kupang.
Itulah tujuh hal yang menyadarkan saya bahwa dengan berpelesir, saya bisa mengetahui fenomena yang sesungguhnya terjadi di suatu tempat. Sebab, saya berinteraksi langsung dengan masyarakatnya dan merasakan pula ketimpangan kemajuan dan pengembangan daerahnya.
Satu hal lain yang saya sadari bahwa wilayah Indonesia bagian timur yang melulu digambarkan oleh media-media sebagai wilayah yang terbelakang, baik dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, maupun pemerintahan itu, ternyata masyarakatnya justru lebih mencintai negara ini. Mereka berlipat-lipat kali lebih mencintai negaranya daripada kita yang hidup di wilayah perkotaan. Jika menguji nasionalisme antara kita dengan mereka, mungkin saja kita tidak ada apa-apanya. Who knows?
Jika ingin menyimak setiap detail perjalanan saya, dapat Anda ikuti melalui laman gondronggembel.wordpress.com.[]
*Foto: Dokumentasi penulis.