TOK TOK TOK!
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara meminta supaya pintu dibuka. Satu suara berkata, sudah tidur. Satu suara bertanya, sudah tidur kok ngomong? Satu suara menjawab, oh ya, lupa.
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara bertanya, siapa? Satu suara menjawab, hantu. Satu suara bertanya, mau apa? Satu suara menjawab, menghantuimu. Satu suara bertanya, kenapa ketuk pintu dulu; tak bisakah kau langsung menghantuiku?
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara berkata, maaf, malam-malam mengganggu. Satu suara merespon, tak apa aku suka diganggu. Satu suara membalas, padahal niatku membuatmu tak suka; kalau begitu, aku pergi dulu.
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Sunyi. Bunyi ketukan terdengar lagi. Sunyi. Bunyi ketukan terdengar lagi. Sunyi. Satu suara menggelegar: kenapa kuketuk pintu rumahku sendiri?
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara menyebut nama seseorang. Satu suara menjawab, masih malam; datanglah besok siang. Satu suara menimpali, sekarang sudah siang. Satu suara membalas, benarkah? Satu suara menyergah, sumpah. Satu suara bertanya, bagaimana bisa di sini malam di situ siang? Satu suara menjawab, aku tak tahu. Satu suara berujar, bagaimanapun di sini masih malam; datanglah besok siang. Satu suara membantah, bagaimanapun di sini sudah siang makanya aku datang. Satu suara bertanya, kau tak menipuku? Satu suara menjawab dengan balik bertanya dengan kalimat sama, kau tak menipuku? Satu suara berkata dengan nada yakin, tak mungkin di situ siang. Satu suara merespon tak kalah yakin, mustahil di situ malam. Satu suara bertanya, lalu kenapa cerita ini diawali dengan kata malam? Satu suara menjawab, aku tak tahu; bisa jadi Taqin Majid tak bisa membedakan siang dan malam.
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara bertanya, siapa? Satu suara menjawab, kenangan. Satu suara bertanya, manis atau pahit? Satu suara menjawab, aku tak tahu: bukankah kau yang merasakanku?
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara bertanya, Siapa? Satu suara membalas, Sukawati. Satu suara bertanya, mau apa? Satu suara membalas, mencari Suka. Satu suara bertanya, aku tak kenal Suka, kenapa kau mencari Suka di sini? Satu suara menjawab, justru karena kau tak kenal Suka aku mencarinya di sini; Suka suka sembunyi di tempat seperti ini.
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara bertanya, siapa? Satu suara menjawab, masa lalu. Terdengar pintu terbuka. Satu suara menyilakan masuk, kemudian terdengar pintu ditutup. Sunyi menusuk. Ketukan terdengar lagi. Satu suara bertanya, siapa? Satu suara menjawab, masa depan. Kemudian terdengar pintu terbuka. Satu suara menyilakan masuk, kemudian terdengar pintu ditutup. Sunyi kembali menusuk. Saat suasana mulai umuk, terdengar pintu terbuka. Seseorang tampak berjalan keluar menuju beranda, membiarkan masa lalu dan masa depan bertengkar di dalam rumahnya. Kemudian ia mengarahkan pandangan ke langit, kendati tak ada bulan—sebagaimana ia harapkan—setidaknya ia menikmati malam: kesunyian kini.
Malam. Terdengar bunyi ketukan. Satu suara bertanya, siapa? Satu suara menjawab, jaran. Satu suara bertanya, jaran? Satu suara menjawab, ya, jaran. Satu suara bertanya, jaran goyang? Satu suara menjawab, bukan jaran goyang. Satu suara bertanya, jaran ngepet? Satu suara menjawab, bukan jaran ngepet. Satu suara bertanya, lalu jaran apa? Satu suara menjawab, jaran saja. Satu suara bertanya, jaran saja? Satu suara menjawab, ya, seekor jaran. Satu suara berujar lega, oh seekor jaran. Kemudian terdengar ringkikan.
“Jaran, sudah malam, tak bisakah kau datang besok siang?”
“Tak bisa, ini urusan penting.”
“Penting bagimu belum tentu penting bagiku,”
“Ya, penting bagimu belum tentu penting bagiku.”
“Maksudku, mengenai urusan tadi, penting bagi siapa?”
“Bagi kita,”
“Bagi kita?”
“Ya, penting bagi kita.”
“Maaf, jaran, aku mau istirahat. Seharian capek kerja. Bisakah urusan ini ditunda sampai besok siang?”
“Tak bisa,”
“Memang urusan apa?”
“Tak bisakah kau membuka pintu lebih dulu?”
“Kenapa aku harus membuka pintu lebih dulu?”
“Supaya kau dapat mengenaliku,”
“Aku tak punya kenalan seekor jaran; aku tak punya urusan dengan seekor jaran.”
“Betulkah?”
“Seingatku, ya.”
“Betulkah?”
“Seingatku, seingatku malam sebelum dikhitan aku khataman al-Qur’an. Aku naik seekor jaran diiringi arak-arakan abid, rombongan pemain obor yang sesekali memamerkan atraksi menyemburkan api. Itu dulu, dulu sekali. Bertahun-tahun kemudian, entah mengapa, aku ingin melihat jaran itu. Aku meminta ayahku mengantarku pada pemilik jaran itu. Tapi kata si pemilik, jaran itu telah mati. Apakah itu suatu urusan? Jika itu termasuk urusan, bukankah itu hanya semacam kerinduan anak kecil pada seekor jaran yang pernah ia tumpaki?”
“Apakah kau masih merindukan jaran itu?”
“Sepertinya tidak. Toh dalam hidup ini banyak kerinduan yang tak kesampaian,”
“Kau tahu, akulah jaran yang mengantarkanmu pada panggung tempat khatamanmu dulu…”
“Oh ya?”
“Ya,”
“Tapi aku tak berniat dikhitan lagi, lalu untuk apa kau datang?”
“Mengantarkanmu,”
“Kemana?”
“Sebelumnya, sebetulnya aku mengantarkan malaikat kepadamu, bukalah pintu rumahmu, lihat, malaikat begitu gagah menaiki punggungku,”
“Malaikat?”
“Ya, malaikat.”
“Apakah ia malaikat Jibril yang mau memberi wahyu untukku?”
“Bukan malaikat Jibril,”
“Apakah ia malaikat Mikail yang mau membagi rezeki buatku?”
“Bukan malaikat Mikail,”
“Kalau begitu, barang tentu ia malaikat Izrail yang akan mencabut nyawaku, betulkah?”
“Ya, apakah kau sudah siap?”
“Siap tak siap, aku hanya bisa pasrah pada Gusti Allah Ta’ala, bila memang sudah tiba waktunya,”
“Kalau begitu, bukalah pintu rumahmu.”
“Tak bisakah kau saja yang membuka pintu rumahku?”
“Aku hanya seekor jaran,”
“Oh ya, maaf. Tak bisakah malaikat itu yang membuka pintu rumahku?”
“Bisa, hanya saja demi kesopanan, bukankah lebih baik pemilik rumah yang membukakan?”
“Baiklah.”
Malam. Terdengar bunyi pintu terbuka. Sunyi. Kemudian terdengar ringkikan.
Doplangkarta, 19.12. 6 Maret 2018