Fb. In. Tw.

Teror Dari Pengungsian

Puisi-puisi Nissa Rengganis terbuat dari segitiga. Runcing. Tajam. Dari tenda-tenda pengungsian, segitiga itu melesat, menancap di kening pembaca: mengabarkan kehidupan yang porak-parik, yang kelam, yang bakal menukil kesadaran kita bahwa seakan swargaloka hanya dongeng purba di dalam doa-doa yang berangkat gamang—menuju “tuhan” yang ragu-ragu.

Dua sisi segitiga tersebut adalah duka dan kenangan, sementara ujungnya adalah harapan. Ia duka yang bertubi-tubi. Ia kenangan yang tercipta dari igauan dan tangisan. Ia harapan yang redup. Dalam puisi-puisi Suara Dari Pengungsian, Nissa Rengganis sering membangun harapan, dan menjadi tanda yang mengarah pada utopia, tetapi tanda tersebut lekas-lekas dirobohkan kembali di sana-sini; berbalik arah menjadi distopia.

Nissa menulis: Berikanlah satu pintu/ Dari sekian banyak jalan menuju-Mu (Kepada Langit)

Atau ini: Tuhan, Tuhan, beri kami keselamatan/ Beri kami satu kali lagi kehidupan (Byblos)

Juga, ini: Doa-doa mengalir di sepanjang lembah Swat/ Menggigil dingin di pegunungan bersalju (Malala Yousufzai)

Dan, ini: Ketika Tuhan hanya sendirian/Lalu hadirlah semesta raya/ Kita hanya sebutir debu (Azali).

Doa dan pengakuan merupakan unsur kasat dari harapan. Sekilas ia tampak kokoh. Meski demikian, kita akan melihat bahwa unsur tersebut kembali diruntuhkan oleh Nissa, sehingga doa dan pengakuan tak ubahnya sebatang kayu rapuh yang diamuk badai kecemasan dan ketakutan.

Harapan pun goyah: Di sisa reruntuhan/Aku gemetar/Apakah doa sampai tujuan (Darfur)

Pengakuan pun longsor: Adakah Tuhan di antara kita (Di Auswitch 1)

Dan harapan… Apa lagi yang kita punya/ Selain harapan yang hangus terbakar (Ishmael Beah: Child Soldier Siera Leone)

Dan harapan… Hari esok terbuat dari api dan hujan/ membakar harapan (Kabar Dari Rohingnya 3)

Bagi Erich Fromm, “Berharap berarti siap setiap saat akan apa yang belum lahir dan tidak menjadi putus asa jika kelahiran itu tidak terjadi seumur hidup. Tidak masuk akal mengharapkan apa yang telah ada atau apa yang tidak bisa ada. Mereka yang harapannya lemah, menyerah terhadap kenyamanan dan kekerasan. Mereka yang harapannya kuat, melihat dan sangat menghargai semua pertanda hidup baru dan siap setiap saat untuk membantu apa yang siap dilahirkan (Revolusi Harapan, 2019).”

Berharap, bagi Erich, merupakan keadaan state of  being. Yang dalam. Yang siap. Yang intens. Dirinya menyamakan harapan dengan keimanan.

“Keimanan, seperti halnya harapan, bukanlah prediksi akan masa depan. Ia adalah pandangan tentang masa kini dalam keadaan mengandung.”

Dalam pandangan Erich, harapan yaitu sesuatu yang paradoks: tegak dalam keterombang-ambingan. Tentu saja, konsep harapan menurut Erich ini tidak ada pada Suara Dari Pengungsian. Sebab, Nissa justru menciptakan kesadaran yang jungkir-balik, dan dengan begitu ia menunjukkan the unconscious subjek yang mengalami alienasi. Yang tak tegak. Yang bahkan bagi Erich, itu bukan harapan.

Nissa tidak melesapkan humor, misalnya, sebagai bagian primer dalam Suara Dari Pengungsian.  Tidak juga memasukkan kepasrahan seorang sufi sebagai sesuatu yang fundamen di dalamnya. Keduanya kita tahu, bisa menjadi benteng terakhir dari iman, sehingga mampu merekonstruksi subjek yang kokoh atau memiliki harapan, harapan dalam prespektif  Erich.

Memang, rasanya, di tengah kubangan konflik yang begitu dalam, di mana siang atau malam sama-sama pekat, di mana kematian sama meriahnya dengan pesta kembang api, di mana waktu hanyalah sekujur mayat, di sana, wajar belaka bila ada anak manusia yang mengalami distraction. Bahkan, ateistik.

Di titik itu, saya pikir, puisi-puisi Nissa terasa lebih jujur dan manusiawi. Ia tidak hendak menunjukkan subjek yang heroik dengan humornya. Atau, heroik dengan kuatnya keyakinannya terhadap Tuhan. Barangkali, hal semacam itu bisa melenakan pembaca.

Nissa pun tidak menginternalisasi konsep masa depan dan masa lalu dalam bentuknya yang optimistik dan romantis. Masa lalu dan masa depan dalam puisi-puisi Nissa dihadirkan dengan kondisinya yang juga remuk. Masa lalu yang tercipta dari igauan dan hari esok terbuat dari api dan hujan.

Suara Dari Pengungsian tampak tidak memberi pembaca ruang untuk berpaling kepada apa pun, tidak kepada humor, tidak juga kepada “tuhan”, tidak kepada masa depan, tidak pula kepada masa lalu. Semua ini mendenyarkan kepastian di dalam diri subjek yang sekalipun mengalami nasib tak menentu. Dan puisi-puisi Nissa menyeret kita pada luka realitas yang menganga sepenuhnya. Pada subjek yang benar-benar tidak punya kepastian apa pun, baik nasib, atau pun keyakinannya.

Namun, Nissa tidak berhenti pada pemilihan konsep chaos semata. Ia juga punya strategi bagaimana mengejawantahkan tema tersebut. Dirinya menaburkan wujud dan situasi yang atraktif dan teaterikal: api, hujan, karnaval, kembang api, membakar, hangus terbakar, pohon-pohon riuh, dentuman sepatu lars, pohon-pohon dirobohkan, diruntuhkan, perawan berbaris telanjang, bunyi mortir, tembakan artileri, berhamburan, menggusur, mayat-mayat menggelepar, perahu disapu badai, tubuhku dikaramkan, terombang-ambing, gelombang ombak.

Imaji-imaji visual yang cukup kolosal tentang kehancuran dan ketidakpastian. Hasilnya: kita seperti sedang menonton sendratari dengan lakon tentang sesuatu yang chaos. Ia membuat kita, pembaca, disandera kecemasan. Ia, puisi-puisi Nissa, menjadi semacam teror. Dikatakan teror sebab kita tidak bisa berpaling dari luka kemanusiaan yang sedikit saja lebih menenangkan.

Buku Suara Dari Pengungsian karya Nissa Rengganis bisa diperoleh di https://instagram.com/toco.buruan.co?utm_medium=copy_link  dan https://shopee.co.id/toco.buruan.co?smtt=0.0.9

KOMENTAR
Post tags:

Lahir di Indramayu. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Unswagati Cirebon. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Bersama beberapa pegiat sastra di Cirebon menerbitkan antologi esai-esai sastra berjudul Pojok Sastra.

You don't have permission to register