Fb. In. Tw.

Teks dan Individualitas

Sebuah puisi adalah sebuah teks. Wacana yang dituliskan. Puisi menggunakan bahasa (tulis) sebagai fondasi utama bangunannya. Kaidah-kaidah bahasa pada akhirnya akan menjadi atribut yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah puisi. Meski kita mengenal licentia poetica, sebagai kekhasan penulisan seorang penyair, tetap saja penulis mesti menguasai tata aturan penulisan dalam bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, ketika  seorang penyair mencoba mendobrak kaidah tata bahasa, ia dan karyanya bisa mempertanggungjawabkan apa yang menjadi licentia poetica-nya.

Pada HU Pikiran Rakyat edisi 13 Mei 2018, saya melihat Ilham Maulana mencoba memberi sedikit sentuhan ‘kebaruan’ (meskipun bukan hal yang baru) pada puisi yang ditulisnya. Ilham mencoba menghadirkan puisi dengan tipografi rata kiri kanan, dengan kalimat yang cukup panjang. Yang paling mencolok dalam puisinya, Ilham menghilangkan atau meminimalisasi konjungsi ‘yang’ pada setiap kalimatnya, sehingga bangunan sajak terasa padat, sedikit gelap, dan melelahkan.

Berikut kutipan bait pertama sajak berjudul “Menjerat Hening” karya Ilham Maulana.

Terlalu jauh rasamu berkelana menjinakkan degup jantung walau tak peroleh satupun kecup. Barisan larik kau cipta atas namanya, tiada lagi mendung dari prasangka walau sang maha memiliki mengirim bala angin sebagai pengantar jawab. seluruh jawab dari doa berjarak ketika kau tertunduk dalam sujud penuh ketentraman. tumpah ruah gelisah dan angan saat tangan ingin mampu mendongak sayap bulan sebelum lebar lautan.

Membaca kembali sajak seperti ini, apalagi di bulan ramadan, mungkin haus akan lebih terasa. Konjungsi dan tanda baca (diciptakan karena memiliki fungsi) diabaikan oleh Ilham. Terobosan tanpa terlebih dahulu menguasai kaidah berbahasa secara benar, pada akhirnya akan melahirkan sajak yang keruh dan menyebalkan. Belum lagi kita disuguhi paduan kata-kata ajaib semisal memiliki mengirim atau ingin mampu mendongak.

Padahal kehadiran konjungsi dan tanda baca yang tepat, akan menghindarkan keanehan-keanehan bentukan kalimat semacam itu. Atau paling tidak hal ini bisa ditolong oleh enjambemen atau pemenggalan antar larik yang tepat, sehingga menghasilkan sajak yang lebih bening dan mudah dibaca.

Pada titik ini, Ilham lupa, bahwa sajak yang ia tuliskan untuk dibaca, bukan untuk dibakar.

Sementara pada sajak berjudul “Penjara”, masih karya Ilham Maulana, kita bahkan menemukan kalimat atau larik sepanjang ini.

Kepanikan menjangkiti aku saat wajahmu seringkali hadir dalam kolong mimpi bersama bunga warna-warni dari taman sekolah dasar juga remah gula dari toko permen sebelah rumah.

Membaca kutipan di atas, saya curiga Ilham memang berniat menyulitkan pembaca, semakin pembaca bingung dan tidak mengerti, ia menganggap semakin berhasil menyajikan sajak bagi pembacanya. Anggapan itu, memang tidak sedikit menjangkiti para penulis, terutama penulis pemula. Sehingga dengan menghadirkan puisi yang terkesan berbeda, maka penulis tersebut dianggap berhasil melahirkan maha karya yang berbeda pula.

Maka dengan wangsit berbeda pula, Ilham berupaya menghadirkan puisi dengan menghilangkan konjungsi ‘yang’ sepenuhnya. Sajak berjudul “Menjerat Hening” dan “Penjara” lahir dari cara berpikir seperti itu.

Apa yang dilakukan Ilham sebagai seorang penulis, dengan mencoba membuat puisi tanpa konjungsi ‘yang’ memang bukan hal yang baru. Yang baru dan mungkin jadi satu-satunya adalah, Ilham berhasil melahirkan puisi tanpa konjungsi ‘yang’ dengan kualitas yang sama dadasnya dengan penulis yang sama sekali tidak menguasai tata bahasa penulisan bahasa Indonesia.

Individualitas
Selain penguasaan tata bahasa yang minim bahkan terkesan mengabaikan, kendala bagi penulis, terutama penulis yang baru pertama kali menulis puisi adalah soal individualitas.

Puisi yang ditulis oleh seorang individu, bila ditulis dengan pemilihan bahasa yang tepat, meskipun bertolak dari kasus-kasus personal (cinta dan penderitaan) justru bisa memendarkan puisi yang terasa lebih komunal1. Ambivalensi semacam itu lahir karena puisi pada hakikatnya tidak selalu ditafsirkan tunggal. Puisi akan selalu memunculkan riak makna  di mana setiap pembaca akan memaknainya secara berbeda.

Artinya, puisi Dewi Sukmawati yang berjudul “Sehabis Usia”, bisa memiliki peluang pemaknaan yang lebih terbuka jika ditulis dengan pemahaman berbahasa yang lebih baik.

Sehabis Usia

Aku tak tahu sehabis usia ini
Akankah ada pengganti
Atau aku cukup sampai di sini
Bersama ramai peziarah
Yang aku tahu, sehabis usia ini
Aku akan merindukan usia dini
Bermain bersama kalung melati
Bukan dimainkan belati
Aku tak mau, sehabis usia ini
Kau sangat sibuk merangkai
Bunga-bunga, karena aku akan kembali
Pada rumahku sendiri
Yang aku mau, sehabis usia ini
Kau sibuk dengan dia yang kau imani
Tuk sampaikan anganku
Semoga aku menjadi kekasihnya, di sini

Purwokerto, 16 April 2018

Dalam luasnya khazanah pembaca, sajak “Sehabis Usia” sebenarnya memungkinkan untuk dimaknai sebagai sajak yang kaya akan pemaknaan, tidak hanya sebatas aku dan kamu sebagai manusia tapi juga aku dan kamu sebagai manusia dan tuhannya. Namun karena keterbatasan dalam pemilihan diksi dan penentuan sudut pandang sang penulis, maka sajak ini justru malah cenderung “gelap” dan tidak jelas arah tujuannya.

Apalagi sajak ini tidak didukung oleh pemilihan judul yang spesifik, padahal judul adalah kepala dan petunjuk. Sajak “Sehabis Usia” hanya menyajikan kata-kata tanpa kesatuan antar larik yang koheren sehingga menghasilkan makna yang ambyar.

Peristiwa-peristiwa personal yang menjadi ide utama penulisan sajak ini, pada akhirnya hanya bisa dinikmati oleh penulisnya sendiri. Pembaca seperti tidak diharapkan untuk menikmati sajak ini lebih jauh lagi. Teks pada sajak “Sehabis Usia” gagal menghadirkan konteks universal pada pembaca, justru karena minimnya pengunaan bahasa yang lebih khusus dan tajam sehingga puisi terasa umum dan cair.

Sajak “Sehabis Usia” adalah contoh puisi yang ditulis oleh dan untuk penulisnya sendiri. Sajak seperti ini cocok untuk disimpan di dalam laci penulisnya sendiri.

Baca juga:
Puisi Sebagai Doa
Mempertimbangkan Kenangan dan Bahasa Sajak

Meskipun puisi sering dibacakan di panggung-panggung dengan berbagai gaya pengucapan lisan, puisi tetaplah sebuah teks, menggunakan bahasa tulis, dan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman dasar tata bahasa (aturan bahasa) yang digunakannya.

Hal ini menjadi dasar pemahaman apabila kita ingin mencoba menulis puisi dengan menciptakan licentia poetica sendiri. Mencoba mengabaikan tata bahasa namun tetap menghasilkan puisi yang bisa dinikmati dan dimaknai secara luas.

Seorang Marc Marquez akan diakui sebagai seorang pembalap ketika ia memacu motornya di lintasan sirkuit, seperti sirkuit Motegi di Jepang atau Sepang di Malaysia. Namun, Marquez hanya akan menjadi anak muda biasa yang akan dicap ugal-ugalan bila ia memacu motornya di sepanjang jalan Pantura, meskipun ia bisa memacu motornya 200 km per jam.

Aturan dan “tempat bermain” akan sangat menentukan, entah itu bagi seorang pembalap atau seorang penyair.

Seliar apapun kita menuliskannya, teks puisi akan sangat bergantung pada cara kita menyiasati wajah bahasa, agar tetap diterima dan dinikmati pembaca sebagai bahasa pada umumnya.[]

  1. Lihat tulisan Michael Rinaldo dengan judul Ambivalensi Chairil Anwar, Jurnal Kebudayaan Kalam edisi 21 tahun 2004.
KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register