Tafsir Kota Tempat ‘Binatang Jalang Terbuang’
Kalau sampai waktuku
kumau tak seorangpun kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya yang terbuang
Jakarta. Setidaknya itulah kota yang menjadi saksi hidup bagi proses kreativitas Chairil Anwar, seorang penyair besar. Dengan lugas penyair yang mati di usia muda ini lantang menyuarakan kegundahan dirinya, orang lain hingga lingkungan di sekitarnya. Meski bukan tulisan sejarah, namun lewat puisinya ia merekam sejumlah peristiwa di republik ini.
Lewat puisi, para penyair ‘menghidupkan’ suatu kota. Ketika sebuah syair, puisi, sajak tercipta, maka hakikatnya sebuah kota dihidupkan kembali dengan tafsir penyair. Puisi menjadi sarana menghidupkan suatu kota dengan berbagai hiruk pikuk di dalamnya. Lanskap kota bisa dilihat dari mata elang dengan memotret umum atau khusus kehidupannya.
Melalui puisi Chairil Anwar, dapat dilihat kondisi gambaran kota nomor wahid Indonesia di masa lampau. Ia merekam kisah resah, kisah kasih dan kisah desah gairah dalam puisinya. Lugas, jelas, pedas namun tajam mengenai sasaran, Chairil menyampaikan kondisi Jakarta yang penuh paradoks. Jakarta, di mana kemewahan bersanding dengan kemiskinan. Kota di mana kebaikan dan cinta ditantang dengan kemunafikan dan kepura-puraan.
Pergaulan Jakarta, mulai dari kaum intelektual hingga pelacur di bedeng-bedeng tepi kereta api juga menginspirasi berbagai puisi Chairil. Dengan fasih dari puisi, Jakarta di masa lampau juga telah dipenuhi permasalahan sosial, kriminalitas. Jakarta tak hanya soal hitam dan putih kehidupan, namun ada juga yang selalu samar. Tentang segala yang abu-abu dan remang-remang, yang selalu membikin penasaran dan tak hanya membuat bulu kuduk berdiri tegang.
Jakarta. Selain menyimpan berbagai kekumuhan sosial, ia juga menjadi saksi bisu dari perjuangan berjuta pahlawan tak dikenal. Jakarta menjadi saksi bagi berdirinya republik ini dengan tebusan harta, jiwa, dan raga. Meskipun kerap kali jasa pahlawan ini hanya dikenang dan disebut sebagai nama jalan saja. Padahal jauh dari itu, Jakarta masih perlu perjuangan untuk mengatasi berbagai permasalahan.
Jakarta menjadi sejarah, bagian dari sejarah penulisan sejarah yang tak mampu menolak apapun tentang maksud dan tujuan penulisnya. Jakarta menjadi cermin jujur tentang apa yang dilaksanakan di atasnya. Penggusuran dan perlawanan. Kemunafikan dengan kejujuran. Kebenaran dan kejahatan yang saling bertanding. Sebagaimana asal mula tanah, Jakarta pun jujur. Jakarta berbicara melalui alamnya termasuk lewat banjir, kekeringan, pencemaran, dan sebagainya.
Jakarta. Sebagai kampung halaman tempat kedewasaan tumbuh menjadikan pengalaman-pengalaman tersendiri bagi penghuninya. Suka duka harus dirasa lewat manis dan pahitnya ibu kota. Cerita tentang kehilangan ibu yang dicintai dan tentang cinta semalam yang tumbuh mengobati hasrat sesaat. Begitupun yang fasih diceritakan oleh Sjuman Djaya tentang Chairil Anwar.
Jakarta menjadi serpihan mozaik-mozaik kisah puitik hingga tragik tentang seorang, banyak orang, orang kebanyakan dan orang khusus dengan spesialisasinya. Ada yang tumbuh menjadi pemulung, penyanyi, pejabat tinggi, pejabat rendahan, pelacur hingga menjadi penyair yang hidup dari kertas.
Jakarta menjadi saksi di mana berbagai tipikal dan jenis manusia bertemu. Mereka yang pengecut, pemberani, penjilat, pahlawan hingga pecundang menjadi pengisi alam Jakarta. Jakarta tak mampu menolak untuk itu. Jakarta menjadi tempat tumpah darah, perang bangsa pribumi dan asing untuk mempertahankan kebebasan mereka untuk menindas dan untuk merdeka dari pembebasan.[]
Tentang Penulis
Susanto. Warga Banyumas, saat ini bekerja sebagai reporter di salah satu media massa regional Jawa Tengah.