
Surat untuk Pengusaha Bioskop
Rasanya, persoalan terbesar industri film Indonesia saat ini adalah bioskop. Pertama, apakah adil jika setiap akhir pekan film-film kita harus bertarung bebas dengan film-film Hollywood? Hollywood itu industri yang sudah mapan sejak lebih dari separuh abad yang lalu. Ada kapital besar yang menyediakan teknologi juga sistem marketing yang kokoh di sana.
Jika di satu akhir pekan ada film Pendekar Tongkat Emas diputar, dan di bioskop yang sama di studio yang lain ada film Avengers II, kira-kira bakal lebih laris yang mana? Padahal kalau sudah mulai tidak begitu laris, satu judul film harus segera minggat dari gedung bioskop tersebut.
Seperti yang pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu, film Indonesia perlu didukung regulasi pemerintah. Misalkan, perlu sebuah aturan yang mewajibkan pengusaha-pengusaha bioskop di Indonesia untuk memutar film-film Indonesia. Dari mulai jumlah judul minimal yang diputar, waktu putar minimal (minimal berapa hari/berapa pekan, baru boleh diganti), hingga jumlah penonton (minimal ditonton beberapa ratus/ribu orang, baru bisa diganti). Intinya pengusaha bioskop harus dipaksa. Jangan dibebaskan.
Persoalan berikutnya terkait monopoli bisnis bioskop. Bagaimana mungkin disebut adil jika akses menonton film hanya disediakan untuk kelas menengah saja? Sebagaimana kita ketahui, bioskop sekarang paling banyak dibangun di dalam mal. Tidak semua orang bisa masuk mal lho. Pusat perbelanjaan seperti itu tidak pernah dibangun untuk semua kalangan. Juga tidak semua orang bisa masuk XXI atau Blitz Megaplex. Berbeda halnya jika kedua bioskop tersebut dibangun di luar mal.
Kalau sekarang produsen film mengeluh tentang penonton film lebih suka film Hollywood, rasanya keluhan mereka itu konyol setengah mati jika tidak pernah menyinggung persoalan monopoli bisnis dan terbatasnya akses bioskop. Dulu di tahun 50an, pasar film Indonesia paling banyak berasal dari kalangan bawah. Kelas menengahnya? Ya, jelas lebih memilih film-film impor, khususnya yg diimpor dari Amerika. Lebih bergengsi kan?
Nah. Waktu itu, film-film Indonesia bersaing keras dengan film-film India, yang memiliki pangsa pasar serupa. Sekarang, pasar film yang sama (yaitu kalangan yg memilih film India ketimbang Amerika) justru ditutup aksesnya untuk menonton film Indonesia. Wajar saja kalau akhirnya sinetron di rumah-rumah lebih banyak ditonton ketimbang film Indonesia di bioskop.
Mengeluh karena nggak sempat nonton film akibat bekerja? Mengeluh saat anak-anak kita memilih menonton film bersama teman-temannya? Surat terbuka kalian salah alamat, Gaes.
Saya cuma berharap, produsen dan penonton film Indonesia berhenti saling menyalahkan. Satu-satunya pihak yang perlu disurati secara terbuka itu pengusaha bioskop.[]