Sudut Pandang Aku Lirik
Pengambilan sudut pandang, salah satu hal yang bisa ‘dimainkan’ dalam menulis puisi. Perspektif aku lirik tidak melulu dilihat dari kacamata manusia, tapi juga bisa diambil dari sudut pandang binatang atau benda-benda mati semisal pisau atau makanan.
Ketika menggunakan perspektif aku lirik binatang, maka penyair akan berupaya memahami seluk beluk binatang tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keakuratan sehingga sosok binatang bisa dihadirkan dalam perspektif aku lirik yang lebih paripurna. Meskipun pengambilan sudut pandang selain manusia pada akhirnya akan memosisikan puisi tersebut cenderung dibaca secara naratif.
Hal ini bisa dilihat pada puisi A Muttaqin yang dimuat di harian Kompas edisi 21 Juli 2018. Berikut kutipan utuh puisi pertamanya berjudul “Monolog Gemek Untuk Jerapah”.
Monolog Gemek Untuk Jerapah
Kau tinggikan lehermu hingga 1000 kaki supaya kau karib dengan mukjizat dan para malaekat.
kusembunyikan diriku dalam ceruk tanah agar aku akrab dengan cacing dan luwing.
Kau bersahabat dengan kuda dan unta. Aku berkawan dengan codot dan bekicot. Kau makan daun-daun tinggi dan bersih. Aku makan biji-biji yang tercecer di bumi.
Kau (mengaku) kerap mengintip sorga. Aku diintip pemburu dan pemangsa. Kita tidak pernah bertemu. Sedang di semak aku tersesat, berlari, dan bersembunyi.
(2018)
Pada sajak di atas, yang menjadi aku lirik adalah gemek atau puyuh. Sajak ini secara naratif membandingkan kisah hidup gemek dan jerapah. Bagaimana jerapah yang hidup di atas, tinggi, kuat dan kerap mengintip sorga, dibandingkan dengan gemek yang hidup di bawah, lemah karena itu diintip pemburu dan pemangsa sehingga lebih memilih berlari dan bersembunyi.
Permainan perspektif di mana gemek yang bertutur dan menjadi aku lirik, memberikan rasa tuturan yang deskriptif. Seolah-olah memang gemek yang bermonolog. Meskipun kalau ditelisik lebih seksama, perbandingan yang ditampilkan tetap dalam kacamata pemerian manusia. Artinya, aku lirik dalam sajak di atas masih berada dalam wilayah pengetahuan umum manusia, bahwa Kau bersahabat dengan kuda dan unta. Aku berkawan dengan codot dan bekicot. merupakan hal yang sesungguhnya lumrah belaka.
Pada sajak “Monolog Gemek Untuk Jerapah” kita melihat keterampilan berbahasa A Muttaqin yang sangat baik. Sajak ini tetap menghasilkan musikalitas bahasa meskipun menggunakan pola kalimat-kalimat (naratif) yang umum dipakai sebagai kalimat berita (pernyataan). Selain itu, sajak ini pun menghadirkan imaji sederhana dengan metafora yang hanya dua yaitu pada kalimat awal, Kau tinggikan lehermu hingga 1000 kaki supaya kau karib dengan mukjizat dan para malaekat. dan pada kalimat Sebab kau sibuk menjilat matahari.
Minimnya imaji membuat kita curiga bahwa penyair memiliki keterbatasan penggambaran yang lebih detil dan mendalam tentang sosok gemek dan serba serbinya.
Ini berbeda dengan sajak A Muttaqin yang kedua. Sajak berjudul “Genosida Bebek”.
Genosida Bebek
Selembar bulu yang halus dan hinggap di matamu itu adalah kabar kematian kami yang tak tersiar arus sungai.
Sungai yang membawa amis darah kami itu adalah lahar yang gemetar ditaburi mawar segar oleh langit sepi.
Langit yang sepi dan lamat-lamat memutih itu adalah jerit suara kami yang tertatih-tatih di hadapan duka si matahari.
Matahari yang diam berduka itu adalah bola mata kami yang membengkak dan padam setelah menahan sengat kilat belati.
Kilat belati yang menusuki mendung itu adalah duka kami yang membubung dan menitikkan air mata ke sekujur bumi.
Bumi yang basah dan membusuk itu adalah daging kami yang gelap mengembang menetaskan ulat-ulat putih.
Ulat-ulat putih yang menetas itu adalah hati kami yang terkelupas oleh luas api dan belati yang kini di dapurmu tidur sembunyi.
(2018)
Dengan mengambil tema pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap bebek, sajak “Genosida Bebek” tidak hanya mengandalkan permainan sudut pandang aku lirik dari si bebek. Dengan metafor yang cukup imajinatif, sajak ini menghadirkan suasana pembantaian itu secara lebih dekat sehingga seakan-akan ‘dialami’ juga oleh pembaca. Sajak menjadi lebih hidup secara imajinatif tanpa dibatasi oleh deskripsi.
“Genosida Bebek” tidak terjebak untuk serta merta mengisahkan proses pembantaian bebek (ide puisi) secara prosais, namun tetap ketat mengikuti cara bertutur sajak. Proses genosida pada para bebek pun dapat dinikmati sebagai puisi dengan cita rasa bebek bakar yang lezat.
Sementara pada sajak ketiga yang berjudul “Kesaksian Naga Merah”, meski masih tetap memainkan sudut pandang aku lirik, di mana aku lirik adalah seekor Naga, sajak ini masih jauh lebih mengena tingkat ketajaman kisah yang disodorkannya, ketimbang sajak “Monolog Gemek Untuk Jerapah”. Berikut kutipan utuh sajaknya.
Kesaksian Naga Merah
Ketika aku berjaga di pintu sorga, si bangsat itu menidurkan aku.
Pelan ia baca mantra, menebar serbuk buruk agar aku mengantuk.
Saat mulutku terbuka, si bangsat itu pun melesat ke mulutku.
Menipu lidahku, ia menjelma menjadi ulat laknat dan merambat.
Merambat dan terus merambat menyusuri lorong gelap perutku tepat saat aku bermimpi Tuhan tersenyum dengan kun bening.
Menetaskan cacing kuning di usus besarku. Di situ, si cacing kuning menjelma menjadi kekasih si bangsat itu, menyusuri ujung anusku, bersembunyi di balik bongkahan bolku.
Menunggu aku berak agar ia dapat keluar bersama kotoranku. Saat kotoranku keluar, si bangsat itu lalu melompat ke pelataran sorga.
Celingak-celinguk seperti munyuk lepas dari lubuk kutuk dan mencari pasangan pengantin pemula yang dari mereka (nantinya).
Lahirlah engkau, si naga buta, setelah juru tipu merekayasa kitab dan peta baru di mana sebentang ladang nun dijanjikan menunggu.
Di ladang itu (seperti dugaanmu) si bangsat itu meniup seruling menjaga domba-domba sahaya sembari menunggang anak lembu.
(2018)
Sajak ini lebih cair dan mengalir dalam deskripsi. Menceritakan perjalanan yang disebut oleh aku lirik sebagai si bangsat saat memasuki sorga melalui mulut dan anus sang naga. Tema ataupun kisah yang ditampilkan “Kesaksian Naga Merah” melahirkan sajak yang lebih bisa dibaca sebagai puisi yang bercitarasa prosa.
Selain A Muttaqin, sebenarnya masih ada Alpha Hambally yang dimuat di Kompas edisi 21 Juli 2018. Alpha juga mencoba melihat perspektif lain dalam penggunaan aku lirik, meski dalam sajaknya Alpha masih bergulat untuk mendapatkan formulasi sajak yang bisa menyajikan kesesuaian antara bentukan imaji, bentuk tipografi, dan kepadatan bahasanya. Bagi saya, sajak-sajak Alpa Hambally masih bisa diperas hingga menyisakan sajak yang sampai pada inti sarinya.
Baca juga:
– Tradisi dan Sajak yang Mengikuti
– Kelas Sosial dalam Puisi Warih Wisatsana
Dari pembacaan puisi A Muttaqin yang dimuat di harian Kompas, kita melihat tingkat pengolahan bahasa yang terkesan sederhana tapi mampu difungsikan secara optimal. Sudut pandang juga dimainkan secara konsisten pada ketiga sajaknya untuk menampilkan efek tuturan yang berbeda.
Pertanyaannya kemudian, apakah puisi seperti ini bisa digolongkan sebagai sajak yang benar-benar murni hasil pengolahan imajinasi? Tanpa melibatkan pengalaman sebagai salah satu acuan penulisan puisi. Kalau dikatakan demikian, pada sisi mana sesungguhnya puisi seperti ini diamini sebagai puisi yang memberi?