Sudah Saatnya Yogyakarta Memiliki Pusat Dokumentasi Sastra
Beberapa minggu silam, saya mendapat undangan untuk menghadiri “Temu Penulis Yogyakarta” yang bertempat di Laboratorium Karawitan FBS UNY. Sayangnya, saya tak bisa hadir pada acara yang menurut saya temanya terlalu klise. Ketidakhadiran saya bukan karena acara itu klise atau tidak.
Tapi karena saya baru saja datang dari Musyawarah Sastrawan Indonesia, yang berlangsung di Rumah Puisi Padang. Selain karena saya sedang menyiapkan dan mengembangkan puisi feature yang pernah digagas oleh almarhum penyair Ragil Pragolapati, (Yogya Pos, Minggu, November 1990). Puisi feature yang sedang saya kerjakan ini berisi memoar dan jejak-jejak perjalanan penyair Yogyakarta tahun 60 hingga 70-an, Umbu Landu Paranggi, misalnya.
Seperti saya duga sebelumnya. Dari sekian agenda dalam pertemuan tersebut yang kuat dan mencuat adalah perihal bagaimana memanfaatkan adanya dana istimewa (DANAIS) oleh pemerintah DIY. Dana istimewa untuk sejumlah event-event kesenian di Yogyakarta. Pada awalnya dana istimewa hanya dikucurkan pada pertunjukan sementara untuk sastra belum ada. Sesuatu yang kurang menarik tentunya untuk diwacanakan, tapi “menutup diri” dari kemungkinan yang kurang menarik itu lebih tidak menarik lagi, bukan?
Lalu akan digunakan untuk apa dana istimewa tersebut? Kalau benar dana tersebut hanya akan digunakan untuk penerbitan buku antologi bersama. Alangkah sia-sianya perjuangan kita: menyusun proposal, mengetuk pintu bagian keuangan dinas berkait. Ahai, tiba-tiba saya teringat sajak berjudul Peringatan yang ditulis Henrich Heine (penyair Jerman, 1797-1835);
Buku-buku kau suruh cetak!
Kawan budiman, kau pasti celaka!
Uang dan hormat, itu kau hendak?
Hendaklah kau pakai kata merendah.
Dan, sampai bila kita menjadi peminta-minta. Bukankah, laut maha dalam// mukul dentur// nguji tenaga pematang kita? Seru Chairil Anwar.
Di Yogyakarta, sudah tak terbilang buku antologi bersama lahir, terbit menguak langit kabut sastra Indonesia. Yang beberapa tahun belakangan dipenuhi sajak-sajak dukana, putus asa, dendam dan percintaan. Sejumlah penyair yang melulu berharu-biru dengan langit biru, bintang dan rembulan. Sementara, mengutip sajak WS. Rendra: Yang bersajak tentang anggur dan rembulan// sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,// dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan// Termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Menerbitkan buku antologi bersama bukan berarti tidak penting tentunya, sebagai dokumentasi tentu hal itu perlu dilakukan. Saya rasa untuk hal-hal begitu, bagi Yogyakarta yang menjadi “arus” kreativitas dan “muara” penulis; menerbitkan buku bukanlah hal sulit dilakukan, tentu, tanpa harus menunggu dana istimewa tiba.
Menurut saya, ada yang lebih penting dan mendesak untuk direalisasikan, yakni adanya Pusat Dokumentasi Sastra Yogyakarta. Barangkali, bantuan dana istimewa akan lebih bermanfaat jika dana tersebut dikelola dan disalurkan ke “Pusat Dokumentasi Sastra Yogyakarta” ini. Sehingga kita, terlebih generasi berikutnya tak buta jejak. Dan suara-suara lantang penyair-penyair masa silam terekam dan tak menguap begitu saja di jalanan, di angkringan.
Alangkah sering kita, generasi muda khususnya. Mendengar cerita heroik penyair berdarah tentang penyair-penyair 1970-an, baik yang aktif di tahun 1970-1980-an maupun generasi selanjutnya. Kerap kita terbuai oleh cerita-cerita yang entah fiktif atau tidak. Namun alangkah malangnya kita, ketika sekali waktu ingin membaca karya si pencerita, dan jejak kreativitas penyair terdahulu tak kunjung kita temui.
Gagasan membuat Pusat Dokumentasi Sastra Yogya sebenarnya sudah pernah dibicarakan oleh sejumlah sastrawan, penyair Yogyakarta beberapa tahun silam. Hingga kini—hingga dana dana istimewa merebak tak satu pintu pun terkuak, semua nyaris tertutup. Bahkan, pada tahun 2010 ketika saya, Mustofa W. Hasyim, Emha Ainun Nadjib, Iman Budi Santosa, Suminto A. Suyuti, dan Hamdy Salad, bermaksud mengamankan koleksi buku-buku, kliping, surat-surat penyair Ragil Suwarna Pragolapati (alm), di jalan Kaliurang. Lalu kami ingin menyerahkan ke salah satu lembaga dan membicarakan kemungkainan didirikananya Pusat Dokumentasi Sastra, tapi tak ada respon hingga buku-buku, kliping majalah dan koran itu semakin usang.
Sebagaimana disampaikan Suminta A. Suyuti dan beberapa penulis yang hadir dalam Pertemuan Penulis Yogyakarta tempo hari. Sudah selayaknya Yogyakarta memiliki, memikirkan, dan merealisasikan agenda-agenda yang membuat denyut nadi kesusastraan di Yogyakarta tetap berdetak. Sudah saatnya Yogyakarta memiliki sebuah gerakan dan kesadaran dokumentasi bersama. Sehingga generasi-generasi yang akan datang setiap kali bertanya dan mencari jejak kepenyairan Yogyakarta terdahulu tak melulu mencecap sajian-sajian konon dan konon.[]Tepi Kali Bedog, 2015