Solilokui Pagi
Udara segar dan pagi berkabut. Itulah dua anugerah yang setiap hari saya terima ketika mengayuh “si Jalu”, sepeda saya.
Sekitar jam enam, dari asrama saya kayuh si Jalu keluar kampus Mae Fah Luang lewat gerbang belakang, melintasi dam (mungkin tempat penampungan air), menyusuri jalan yang agak naik dan turun, tiba di persimpangan dan berbelok ke kanan, melewati jalan kampung, lalu menemukan persimpangan yang menghubungkan jalan kampung dengan jalan utama, kembali berbelok ke kanan untuk kemudian menuju asrama melalui gerbang depan kampus, dan begitulah cara saya mengawali hari.
Sudah hampir satu minggu saya melakukan hal tersebut. Sebelumnya saya hanya berkeliling bersama si Jalu di dalam kampus. Kemudian saya iseng mencari rute lain dan “eureka”, saya menemukan rute dengan kontur jalan yang lebih menantang, jarak tempuh yang lumayan jauh, dan tentu saja paket pemandangan dan aneka kegiatan orang-orang kampung di pagi hari membuat acara “ngaprak” bersama si Jalu menjadi selalu bermakna setiap harinya.
Saya katakan bermakna karena saya menjadi saksi matahari merayap naik, kabut beranjak turun, para biksu berjalan menembus kabut tanpa alas kaki untuk memberi berkat dan berdoa kepada mereka yang menunggu di gigir jalan, warung-warung kelontong dan bermacam kuliner dibuka dan dijajakan, orang-orang di pasar berbenah sebelum pulang, dan anak-anak bersiap ke sekolah.
Saya saksikan itu setiap pagi. Walau nyaris sama, penerimaan indera saya selalu berbeda setiap paginya. Persis seperti ketika saya bermain di panggung teater selama beberapa hari untuk beberapa kali pementasan, dulu.
Peristiwa sama dengan rasa berbeda karena persoalan waktu itulah yang membuat saya yakin akan kemanusiaan saya. Yakin bahwa rasa adalah suatu yang hakiki dan hanya dimiliki manusia, serta yakin bahwa hanya manusia yang bisa mengidentifikasi rasa hingga ke tingkat paling canggih. Dengan pemaknaan dan keyakinan seperti itulah saya memasuki kelas di sore hari.
Di kelas, saya dan mahasiswa saya mungkin melakukan hal yang sama setiap minggunya. Tetapi percayalah, kami tidak pernah memberi dan menerima hal yang sama setiap minggunya.
Semoga apa yang kami beri dan kami terima baik adanya.[]
Sumber foto: Yussak Anugrah