
Solanin: Menghadapi dan Berdamai dengan Penderitaan
Meiko Inoue, seorang karyawati perusahaan kelas dua di Tokyo terus berpikir, bagaimana bisa orang-orang dewasa tahan menjalani kehidupan yang membosankan, palsu, dan tanpa tujuan. Pikiran itu terus menghantuinya ketika ia berada dalam perjalanan menuju tempat kerja, melihat para pegawai lain yang tertidur sambil berdiri di dalam kereta, membantu koleganya memperbaiki mesin fotokopi, hingga ketika ia dimarahi oleh bosnya karena persoalan etika.
Hingga akhirnya ia menyimpulkan, “orang-orang dewasa itu hanyalah kumpulan orang yang berpikir ‘yah sudahlah.’” Meskipun, ia sendiri belum siap untuk menjadi salah seorang dari mereka. Ia tidak bisa tahan dengan kepura-puraan bahwa kehidupan memang sedang bergerak seperti yang seharusnya.
Ketika pulang dari kantornya, Meiko meminta saran dari pacarnya, Naruo Taneda, yang tinggal satu atap bersamanya, “Hei Taneda, aku berhenti kerja saja kali ya?” Taneda yang saat itu baru bangun dari tidur dan setengah ngelindur menjawab, “Berhenti saja, kalau memang itu yang Meiko inginkan.”
Meiko pun mengundurkan diri. Namun ternyata berhenti dari pekerjaan sebagai karyawati dari perusahaan produsen alat administrasi kantor itu berbuntut panjang.
Begitulah premis utama komik Solanin dimulai.
Komik Solanin karya Inio Asano pertama kali dipublikasikan berseri dalam majalah Shūkan Yangu Sandē pada tahun 2005 dan berakhir satu tahun setelahnya. Solanin merupakan komik shonen yang mengangkat tema musik. Komik ini juga telah diadaptasi menjadi film live action pada tahun 2010 lalu. Cerita Solanin adalah slice of life dari remaja yang bermain musik dan didera berbagai kenyataan hidup.
Karakter gambar Inio Asano dalam komik Solanin terbilang unik. Inio kerap menghadirkan latar dari panel ke panel secara mendetail dan realistik. Karakter wajah dari tiap tokoh cukup sederhana, akan tetapi menghadirkan ekspresi yang kuat. Selain itu, hal yang juga memikat adalah penampilan objek-objek secara dramatik dan impresif, sehingga menguatkan peristiwa yang sedang berlangsung. Namun tidak selalu setegang itu, komik ini juga kerap menampilkan humor-humor ala komedi slapstick.
Alienasi
Bukankah sudah saya ceritakan sedikit pada beberapa paragraf awal, komik Solanin dibuka dengan perasaan teralienasi Meiko dalam pekerjaannya. Sebagai karyawati, Meiko melakukan rutinitas yang sama sekali tidak mengekspresikan dirinya, yang tidak membuatnya menjadi diri sendiri.
Bukan hanya Meiko sendiri, Taneda pun memiliki perasaan seperti itu. Taneda bekerja sebagai illustrator di sebuah surat kabar olahraga. Di surat kabar itu, status Taneda adalah pekerja lepas dengan gaji yang kecil. Hal itulah yang membuat Taneda tinggal bersama di flat yang disewa Meiko. Sedangkan satu hal yang diimpikan Taneda adalah bermain musik.
Pekerjaan membuat mereka tertekan dan tidak bisa mengekspresikan diri mereka masing-masing. Sedangkan di luar pekerjaan, hanya ada ketakutan demi ketakutan. Mereka takut tidak akan bisa bertahan ketika menjalani keinginannya sendiri. Mereka berpikir bahwa waktu semakin menipis dan habis sebelum mereka bisa menjadi diri sendiri. Sistem kapitalistik ala perkotaan modern membentuk masyarakat terkungkung dalam pilihan yang serba salah. Ya, inilah perasaan teralienasi yang disebut oleh Marx.
Selain hal di atas, komik ini dipenuhi oleh monolog-monolog eksistensial dari para tokoh-tokohnya sebagai hasil dari perasaan teralienasi mereka, misalnya monolog Meiko pada awal-awal cerita, “Aku adalah karyawati biasa di Tokyo, Tapi karena masih muda, aku punya banyak ketidakpuasan terhadap masyarakat dan orang dewasa. Aku tidak tahu harus berbuat apa sehingga rasa frustasi menumpuk dalam diriku.”
Mereka akhirnya memutuskan untuk menghadapi kecemasan, mereka melawan arus sistem di sekitarnya.
Kecemasan
Bagaimanapun dunia bergerak, sesalah apa pun kita bertindak, semuanya akan berakhir juga. Meiko berhenti dari pekerjaan yang menyiksanya. Pertikaian sering terjadi antara Meiko dan Taneda. Hal itu disebabkan karena kecemasan bahwa mereka tidak akan bisa bertahan menjalani hidup. Kadung dirundung kecemasan, Meiko akhirnya menyuruh Taneda untuk berhenti juga dari pekerjaannya dan meraih keinginannya dalam bermain musik.
Sedangkan Taneda sendiri hanyalah pemuda yang terlalu perasa dan inferior. Ia selalu takut akan segala jalan pilihannya. Meiko menegur Taneda, “Yang tidak punya bakat lah… Yang tidak serius lah… Dari dulu, Taneda selalu melarikan diri dengan berkata seperti itu. Taneda takut dikritik oleh orang! Karena ini musik yang amat sangat kamu sukai! Tapi mau dipuji ataupun direndahkan, bukankah musikmu baru ada harganya setelah dinilai orang?!”
Setelah berpikir matang, akhirnya Taneda mengundurkan diri dari pekerjaan bergaji kecilnya. Taneda mulai serius untuk bermain musik dengan grup musiknya. Taneda menulis lagu Solanin. Lagu ini akhirnya digubah oleh Asian Kung-Fu Generation dengan lirik dari Inio Asano sendiri.
Sementara mereka semua bergerak dengan optimisme yang matang, akan tetapi kecemasan itulah yang ternyata menjadi nyata. Kaset yang diajukan oleh grup musik Taneda tidak diterima oleh beberapa perusahaan rekaman, kecuali hanya satu panggilan. Namun satu panggilan itu bukan menginginkan musik yang Taneda ajukan, perusahaan itu menginginkan grup musik Taneda menjadi pemain pengiring seorang aktris remaja. Mereka cepat menolak tawaran itu, tanpa berpikir panjang.
Kecemasan itu nyata dan mengental, seakan bisa pecah kapan pun ia mau. Bagaimanapun hidup harus terus berjalan.
Singkatnya, setelah bertengkar dan pisah dengan Meiko, Taneda menelepon untuk meminta maaf dan akan kembali kepadanya. Namun Taneda mati dalam kecelakaan lalu lintas. Kata-kata terakhirnya dalam panel terpisah hanyalah, “Aku”, “Bahagia”, “Benarkah?”
Meiko tentu menderita. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia berpikir, seharusnya ia tidak mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyiksanya.
Taneda dan Sistem di Sekitarnya
Hal yang dirasakan baik oleh Taneda atau Meiko sekalipun adalah sebuah fenomena psikologis yang disebut sebagai Quarter Life Crisis (QLC). Secara ringkas, QLC sendiri adalah perasaan ragu, cemas, dan gelisah akan tujuan dan masa depan seseorang yang biasanya terjadi pada remaja umur 20-an.
Dalam artikel yang ditayangkan oleh The Guardian, Dr. Oliver Robinson dari University of Greenwich di London mengatakan bahwa terdapat empat fase dalam Quarter Life Crisis yang kerap dirasakan oleh remaja. Berikut penjelasannya.
Fase 1, didefinisikan dengan merasa “terkunci” pada suatu pekerjaan atau hubungan, atau keduanya. “Itu adalah ilusi perasaan terjebak,” kata Robinson. “Kamu bisa pergi tetapi kamu merasa tidak bisa.”
Fase 2 ditandai dengan perasaan yang berkembang bahwa perubahan itu mungkin. “Pemisahan mental dan fisik ini dari komitmen sebelumnya mengarah ke segala macam pergolakan emosional. Ini memungkinkan eksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru yang berkaitan lebih dekat dengan minat, preferensi, dan perasaan diri.
“Sampai saat itu, Anda mungkin seperti berlari cepat di jalan yang tidak ingin Anda lewati. Sebagian kecil partisipan penelitian digambarkan terjebak dalam satu lingkaran pengulangan, tetapi sebagian besar merefleksikan masa sulit yang merupakan katalisator untuk perubahan positif yang penting. “
Fase 3 adalah periode membangun kembali kehidupan yang baru.
Fase 4 adalah penyatuan komitmen baru yang mencerminkan minat, aspirasi, dan nilai-nilai baru anak muda itu.
Dalam kasus ini, Taneda tidak sempat merasakan fase ketiga. Ia sempat berpikir untuk berlari cepat di jalan yang tidak ingin Anda lewati. Namun Taneda mati pada akhirnya. Selanjutnya beban derita itu ditanggung oleh Meiko sendirian.
Tidak selamanya apa yang kita perjuangkan akan menjadi kenyataan. Barangkali kita sering mendengar motivator berkata bahwa ada orang yang berhasil bertahan dan pergi dari ketidak-berdayaan sebelumnya. Namun itu hanyalah apa yang disebut sebagai survivorship bias, bias kebertahanan, anomali dari beberapa kasus.
Semua hal dibentuk oleh sistem yang sedang berjalan. Dalam komik Solanin, gambaran yang paling kentara adalah tentang industri kesenian, dalam hal ini musik, yang akhirnya hanya mementingkan penjualan, bukan mewadahi sebuah gagasan atau ide kreatif. Aktris remaja tentu lebih meyakinkan dan menjual daripada grup musik Taneda dan kawannya.
Berdamai dengan Penderitaan
Kenyataan bahwa Taneda telah mati adalah suatu hal yang berat bagi Meiko. Meiko merasa bahwa kematian Taneda adalah kesalahannya. Setelah penderitaan yang berlarut itu, alih-alih lari dari kenyataan, Meiko memutuskan untuk menggantikan Taneda sebagai vokalis dan gitaris dalam grup musik yang ditinggalkan Taneda.
Apa yang Meiko lakukan adalah keputusan untuk menghadapi kecemasannya sendiri. Ia tahu bahwa bayangan Taneda tidak akan hilang dalam pikirannya, maka dari itu lebih baik ia menyambutnya sekalian, dalam hal ini ia meneruskan mimpi Taneda dalam bermain musik.
Komik Solanin yang hanya dipublis dalam dua jilid buku ini begitu menyakitkan dan indah sekaligus. Saking realistiknya, komik ini masih relevan jika dikaitkan dengan kehidupan kita hari ini.
Dalam hidup ini, sepertinya penderitaan itu akan tetap ada dari zaman ke zaman. Selanjutnya barangkali kita sudah seharusnya menyadarinya dan berkata kepadanya, “Yah, sudahlah.”
Identitas Buku
Judul : Solanin Vol. 1 & Solanin Vol. 2 (bahasa Indonesia)
Pekarya : Inio Asano
Alih Bahasa : Ayu Arsandhi P.
Cetakan : Pertama (2016)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama – M&C