Fb. In. Tw.

Siti Ruskinah, Dan Jahe Wangi Malam Hari

Lurus dari timur. Sepanjang trotoar dari arah Taman Pintar itu dihuni oleh para pedagang akik, penjual rokok, gerobak jagung rebus, gerobak penjual ronde: satu-dua di antara mereka sibuk bercengkerama dengan si pelanggan. Bau pesing di setiap tembok menyengat kala siapapun mendekat.

Jalanan pukul 12:36 itu cukup lengang. Hanya 6-7 motor yang berhenti di lampu merah itu. Di sisi jalan terdapat sebuah banner ukuran besar bertuliskan: REKONTRUKSI RUAS JALAN TITIK NOL MALIOBORO, lalu di bawahnya tertulis: mohon doa restu dan mohon maaf mengganggu perjalanan anda. Tukang parkir masih aktif menghadang pengendara motor yang melaju lambat ke arahnya. Kepada si pengendara Tukang Parkir menunjuk sebuah tempat.

“Dua ribu,” kata Tukang Parkir dengan wajah yang lesu.

Si pengendara menjulurkan selembar uang.

“Parkir sampai jam dua ya.” Tukang Parkir memberi tanda peringatan.

Sepasang muda mudi itu berjalan ke seberang jalan. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian masuk di antara kerumun orang-orang tepat di depan Benteng Vredeburg.

Di situlah tempatnya, puncak Malioboro yang dikenal dengan sebutan nol kilometer. Lampu merkuri itu menerangi beberapa titik Malioboro. Cahayanya menyemburat kekuning-kuningan. Hari ini, 8 September 2015, pengerjaan drainase tepat di depan pos polisi itu belum selesai. Para pengunjung seolah-olah tak berkurang satu pun dari hari-hari biasanya.

Malam sangat dingin. Siti Ruskinah tak mengenal itu. Ia memakai jaket jamper polos berwarna merah. Kepalanya dilapisi kerudung dan tudung jaket. Di usianya yang ke-46, Siti Ruskinah mengadu nasib sebagai penjual minuman. Ini merupakan tahun ke-8 di antara pelancong, para pengamen, para geng motor, Siti Ruskinah bersembunyi //di balik gelap nasib/di balik mata letihnya//.

“Kopi hitam lima ya, Buk,” pinta seorang pembeli.

Pukul 01.29 sudah tiba, ia masih sibuk melayani pembeli minumannya.

Ruskinah duduk berlesehan dengan alas sebuah plastik warna kuning. Ukurannya 1 x 3 cm. Oleh Siti Ruskinah alas itu diperuntukkan kepada para pembelinya. Sebuah termos berwarna hijau, yang berisi air panas belum habis saat itu.

“Malam ini sepi,” ujarnya.

Siti Ruskinah sudah dari jam 19:00 di tempatnya itu. Bermalam-malam lamanya, selama delapan tahun ia menjadi penjual minuman, Siti Ruskinah tidak lupa memakai kaus kaki untuk menghindar dari dekapan dingin.

Rata-rata pendapatan Siti Ruskinah Rp150.000 sampai Rp200.000. Itu kalau banyak pelanggan yang datang membeli minumannya. Siti Ruskinah berbekal termos berisi air panas, satu stoples gula, sendok, air aqua, satu stoples kecil berisi permen aneka macam, dan tentu aneka macam minuman seperti Jahe Wangi, Susu Jahe, Energen, Susu Nestle, Milo, Good Day, Kopi Kapal Api dan ABC Mocca: lengkap. Ia menggunakan gelas plastik.

Di Malioboro, di tengah //orang-orang/ yang /bermain kenangan/di tengah udara dingin/ di antara //orang-orang/ yang /bertukar diri/ dan /di balik gaun kelabu//, Siti Ruskinah akan pulang pada pukul 02.00 nanti, menemui anaknya seorang diri.[]

Teks puisi berjudul “Di Malioboro” karya Faisal Kamandobat hlm. 106 dalam buku Alangkah Tololnya Patung ini (Olongia, 2007).

 

Tentang penulis
Mawaidi D. Mas, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UNY, dan kru Jurnal Kreativa.

KOMENTAR

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register