Sisi Lain dari Perayaan Kemerdekaan
Hampir setiap tahun, saat perayaan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), saya seringkali dihadapkan pada sesuatu yang membikin perasaan terenyuh. Seperti pada tahun-tahun silam–saat saya masih mahasiswa semester empat–saya pernah mengalami kejadian kacau yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Upacara pengibaran dimulai pukul 08.00 WIB, karena semalaman saya menonton sinetron, maka saya bangun terlambat. Saya sampai ke lapangan upacara saat pemimpin upacara sudah memerintahkan kepada pasukan pengibar bendera untuk mengibarkan bendera. Seluruh peserta upacara saat itu dalam posisi hormat.
Kehadiran saya sedikit mengganggu kekhusyukan para peserta, umumnya anak-anak sekolah dasar yang berulang-ulang tampak berusaha menyusut cucuran keringat, sambil meniru-nirukan kelompok paduan suara menyanyikan “Indonesia Raya”. Beberapa di antaranya ada yang jongkok, memain-mainkan pasir dan berusaha memasukkannya ke kaus kaki temannya. Sehingga pertengkaran pun tak bisa lagi dihindarkan.
Ketika itu bendera terus dikerek hingga berada di pertengahan tiang, hampir semua peserta upacara ikut menyanyi mengikuti paduan suara mengiringi kenaikan bendera. Saya tanpa menunggu lama langsung masuk ke barisan dan seketika memasang posisi hormat ke bendera. Lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan dengan khidmat–membuat saya asyik masyuk pada keheningan tanpa ujung–sampai ada bunyi yang mengganggu dari belakang barisan, berasal dari pemutar suara penjual es krim.
Hampir semua yang berbaris di belakang, menoleh ke sumber suara dan tiba-tiba, anak-anak sekolah dasar berhamburan ke luar barisan, menuju penjual es krim. Kondisi yang cukup mencengangkan menurut saya, anak-anak yang sedari tadi diam dan sibuk bercanda, mendengar suara musik penjual es krim, mereka seperti mendengar sebuah panggilan agung, yang tidak dapat ditolak. Anak-anak sekolah dasar lebih hapal suara musik penjual es krim daripada lagu “Indonesia Raya”. Bukankah itu sebuah kekacauan?
Pada ulang tahun kemerdekaan yang ke-70 ini, saya datang lebih awal ke lapangan upacara di lapangan Kecamatan Leuwiliang. Betapa kaget saya, sebab perayaan kemerdekaan tahun ini terasa begitu meriah. Karnaval dibuat lebih semarak dengan melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan, yang tumpah ruah jadi satu dengan berbagai kostum. Tidak ada ketentuan khusus dalam karnaval–karena ini kemerdekaan–maka orang tua bebas memilihkan kostum yang pas buat anak-anaknya. Semua peserta konvoi memasuki lapangan upacara, menutup semenatar jalan raya di depan kantor kecamatan.
Tetapi ada suatu hal yang membuat saya menjadi prihatin pada karnaval kali ini, terutama menyoal kostum itu sendiri. Hampir semua masyarakat–seolah bersepakat–mencoba memunculkan kembali masa-masa kelam saat peperangan, di hadapan semua peserta upacara. Anak-anak seperti dipaksa didandani dan berlagak seperti pasukan perang. Ada yang membawa bambu runcing dengan pakaian penuh darah. Ada yang membawa senjata api–dibikin dari kayu dan bambu. Ada yang menaiki kendaraan perang–tank baja dan helikopter. Ada yang berlagak sebagai perempuan bunting, dan banyak lagi.
Melihat usaha yang dikerahkan seluruh masyarakat demi menyambut kemerdekaan, saya sebenarnya dibuat merinding–dan ingin menangis. Namun kemerindingan saya pada akhirnya kalah dengan rasa penasaran terhadap pemunculan kembali kostum-kostum pengingat masa lalu, penuh luka.
Apakah begitu perlu simbol-simbol–kostum–masa kelam dimunculkan kembali dengan anak-anak sebagai model lakunya? Saya kira tidak. Anak-anak memang tampak begitu antusias melihat dirinya dipenuhi darah, membawa senjata perang, dan menaiki kendaraan perang, tetapi hal demikian (mungkin) sulit untuk mampu menumbuhkan kobaran semangat pada anak-anak, demi menjadi pribadi yang baik.
Pada upacara kemerdekaan RI ke-70 ini, saya merasa apa yang telah diajarkan Bapak/Ibu di sekolah, setiap Senin pagi selama bertahun-tahun, tentang upacara telah mengalami kegagalan total. Bahwa sebaik-baiknya upacara adalah dengan berbaris rapi tanpa bercanda, demi menghargai jasa-jasa pahlawan, nyatanya telah banyak dilupakan. Kemeriahan karnaval tampaknya agak sedikit memicu seluruh peserta, memaksa kebebasan dalam dirinya muncul.
Berulang-ulang pihak pengatur upacara, meminta peserta untuk berbaris rapi di tempat yang sudah disediakan, dan berulang-ulang pula saya melihat peserta upacara hilir-mudik, ber-selfie ria, update status di media sosial–Facebook, Instagram, Twitter, Line, BBM, WA–jajan, dan sekadar menyapa kawan lama, kemudian tertawa-tawa.
Bagaimanapun, meski kemerdekaan adalah juga berarti bebas melakukan apapun, bebas memunculkan kembali apapun–baik, buruk, menyeramkan, mengasyikkan. Tetapi semestinya ada hal-hal yang perlu diperhatikan, dalam memaknai kemerdekaan itu sendiri, sebab kemerdekaan tidak dibeli atau diminta dari sang pemberi. Satu hal yang saya dapat dari prosesi kemerdekaan ke-70 RI.
Masyarakat terlihat lebih tertib dan khusyuk memaknai kemerdekaan di media sosial ketimbang di dunia nyata. Semoga di perayaan tahun depan ada upacara khusus dilakukan di media sosial. Aamiin.[]