
Sirih, Petikan Sihir: Menantang Ketakterbacaan
Preambul/
Posisi sastra daerah—atau sastra yang kental mengangkat kedaerahan—memang kadung terpinggirkan dalam kancah sastra Indonesia. Seiring makin mudah dan masifnya pertukaran budaya, semua orang merasa punya kuasa memilih apa yang ingin mereka nikmati dan percayai. Belum lagi, hal ini tak terlepas dari isme-isme yang lebih menghegemonik dari luaran sana. Terpinggirkannya sastra daerah sudah diendus oleh Indonesianis kawakan M. J. Maier dalam kutipan berikut:
A third possibility was to propagate a third road for Indonesian literature—to preach and practice regionalism as an alternative to both Universal Humanism and Socialist Realism. The works of Ajip Rosidi and Nugroho Notosusanto are good examples of efforts to infuse regional elements into the mainstream of modern Indonesian literature. For the time being, however, they were only regarded with paternalistic benevolence; they lacked the authority to gain control over the literary scene in the metropolis.
Bahkan sedari tahun 1950-an, di tengah ring tinju pergelutan antara humanisme universal-nya Manikebu dan realisme sosialis-nya Lekra, ternyata di atas ring yang sama ada penantang yang ragu-ragu untuk terlibat baku hantam, penantang itu adalah sastra daerah. Hingga akhirnya Manikebu diumumkan sebagai pemenang telak, sastra daerah masih bersiaga di atas ring dengan kuda-kudanya sebagai pihak yang tidak menang-tidak kalah.
Mungkin tepat, mungkin tidak, akan tetapi hingga hari ini sastra daerah seakan bertarung dengan eksistensinya sendiri. Sastra daerah atau sastra yang kental mengangkat kedaerahan memang memiliki tantangan berat untuk dapat diterima pembaca yang luas. Kelokalitasan seakan menjadi tembok penghalang besar, sehingga pembaca di luar daerah tersebut kurang bisa mengerti, memahami, apalagi menikmati karya sastra tersebut. Dengan kata lain, tantangan berat tersebut adalah ketakterbacaan, entah itu disebabkan oleh bahasa atau relevansi tema.
Pada tahun 2025, Marsten L. Tarigan mengambil tantangan berat terkait penulisan sastra bernuansa lokal lewat buku puisinya yang berjudul Sirih, Petikan Sihir (Rua Aksara, 2025). Puisi-puisi dalam buku tipis ini banyak berlandas hipogram (teks yang mendapatkan pengaruh) dari budaya Karo, akar budaya yang erat dipegang oleh penyairnya.
Marsten tentu menyadari tantangan berat akan ketakterbacaan puisi lokalitas, tetapi ia memiliki suatu kepercayaan lain, sehingga ia tetap menuliskan puisi-puisi di dalam buku ini. Seperti tertulis dalam kata pengantar buku yang terpisah dari buku puisi: Di tengah arus zaman yang semakin modern dan globalisasi yang tak terhindarkan, aku merasa semakin penting untuk meninjau kembali suara-suara tradisi yang mulai terlupakan.
1/
Sirih, Petikan Sihir merupakan buku cukup tipis, berisi 25 puisi. Kesemua puisi berlandas erat pada hipogram budaya Karo. Puisi-puisi dalam buku ini pada dasarnya menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi di sana-sini banyak terdapat diksi-diksi lokal, sehingga dibutuhkan enam halaman glosarium pada bagian akhir. Oleh sebabnya, buku ini bukanlah tergolong sebagai sastra daerah, sebab tidak penuh menggunakan bahasa daerah. Alih-alih, puisi-puisi dalam buku ini hadir sebagai sastra dengan nuansa lokalitas yang tetap mencoba untuk mengangkat kebijakan leluhur atau paternalistic benevolence—meminjam istilah Maier.
Kebijakan leluhur dalam puisi-puisi menggunakan gaya naratif dengan larik-larik dominan yang hampir menyentuh batas margin kanan. Penggunaan gaya naratif sendiri membuat pembaca memiliki kesempatan untuk mendapatkan sebuah konteks cerita, terutama pembaca di luar suku Karo yang belum lagi memahami hipogram utama yang diangkat dalam puisi.
Dalam penggunaan gaya naratif tersebut, yang cukup terbaca adalah deiksis (penggunaan persona) kami sebagai kata ganti penyebutan sudut pandang orang pertama. Tentu saja penggunaan deiksis ini ditujukan dengan suatu maksud. Penyebutan deiksis kami setidaknya menghadirkan suasana kolektif, yang pada saat bersamaan, juga terbatas. Penggunaan gaya naratif dengan deiksis kami ini misalnya hadir dalam larik puisi berikut:
Dalam Bahasa kami Nini Bercerita, kami
dengan sendirinya menyebut diri sebagai
yang pertama datang. …
(Nyuntil dan Sepenggal Cerita Nini)
Jalan ini telah kami jajak hingga ke rendahnya,
setelah bebatuan, hamparan pohon-pohon, alir
air sungai belah dua. …
(Sirih, Petikan Sihir Bagi Kami)
Berbeda dengan deiksis aku yang teramat intim dan personal, kami menghadirkan ingatan kolektif suatu golongan, dalam hal ini kemungkinan yang paling tepat adalah orang-orang suku Karo.
Secara bersamaan, dalam beberapa puisi, penggunaan deiksis kami—bukan kita—seakan membatasi, bahwa pembaca bukanlah subjek yang dimaksudkan dalam puisi. Dengan kata lain, puisi-puisi Marsten menyadari dan menandai keberadaannya sebagai teks—dan secara sadar menciptakan jarak antara dirinya dengan pembaca. Istilahnya, hal ini menjadi semacam metafiksi kesadar-dirian yang membatasi, bahwa pembaca dirinya—puisi-puisi ini—bukanlah orang-orang dari suku Karo.
Selain itu, mayoritas puisi dalam buku ini menghadirkan subjudul yang membagi keutuhan puisi. Misalnya, pada puisi Nyuntil dan Sepenggal Cerita Nini, terdapat subjudul Sirih, Pinang, Gambir, Kapur, dan Tembakau yang kesemuanya merupakan perlengkapan yang dibutuhkan untuk nyuntil atau mengunyah sirih. Dalam puisi lain, semisal Pembagian dan Percaya Kami, terdapat subjudul Pemena, Dunia Atas, Dunia Tengah, dan Dunia Bawah. Pembagian puisi dengan subjudul memberikan kesempatan bagi puisi untuk bisa mengangkat detail penjabaran puitik. Sekalipun, pada beberapa puisi pembagian subjudul hanya menggunakan angka-angka.
3/
Setidaknya ada beberapa hal yang coba diangkat sebagai maksud dari puisi-puisi dalam buku ini. Pertama, penjelasan puitik, entah itu terhadap suatu peralatan (Nyuntil dan Sepenggal Cerita Nini dan Selaraslah Denting Odak-odak atau Rengget), unsur kebudayaan (Menamsil Tutur Merga Silima, Karo pada Taklikat Seni, dan Riwayat Tarigan dan Manuk Si Gurda), hingga kepercayaan magis (Yang Turun di Bukit Lembah Tanah Karo dan Pembagian Dunia dan Percaya Kami).
Kedua, refleksi terhadap narasi kepercayaan dan sejarah. Misalnya, puisi Di Tanah Karo Pengrengret Diturunkan yang menarasikan asal mula hadirnya sebuah ukiran khas masyarakat Karo, serta makna yang terkandung di baliknya. Pada puisi lain, semisal Melawat 1258 Saka, dihadirkan narasi sejarah terkait penolakan suku Karo terhadap invasi yang dilakukan kerajaan Majapahit.
Ketiga, beberapa puisi kentara hadir sebagai sebuah tanggapan akan berbagai hal dari sudut pandang kelokalitasan terhadap masa kini. Hal ini dapat dibaca pada larik-larik dari beberapa puisi berikut:
Sajak ini, sekaan hikayat leluhur terus lewat,
terus datang dan pergi, silih berganti dengan
gerak mesin pembangun kota. …
(Jalan Panjang Sebuah Hikayat)
Kami terus menembus lapis-lapis zaman yang tak
habis-habis, lantas terus berusaha melipat masa,
lapik demi lapik. Meski setiap kemungkinan sejarah
leluhur kami kian pupus pucuk daun mengering.
(Cerita Nini, Sejarah, dan Puisi)
Ketiga hal tersebut bukan berarti menjadi pembagi puisi-puisi yang ada dalam buku ini. Setidaknya, ketiga hal ini menjadi sebuah intensi yang saling bertumpang-tindih antara satu puisi dengan puisi lainnya sebagai tawaran pembacaan. Pada saat yang sama, metafiksi kesadar-dirian dalam puisi seolah menyadari keinferioritasan dirinya sebagai puisi bernuansa lokalitas, semisal dalam puisi berikut:
Sebuah sejarah yang merapat pada kesunyian,
juga ketakterbacaan yang memilih pertapaan pulang
pada imannya sendiri. …
(Cerita Nini, Sejarah, dan Puisi)
Penutup/
Terakhir, dalam buku ini, penyair agaknya bukan hadir sebagai seorang yang meneliti dan mengelap-ngelap kaca yang menjaga sebuah benda antik dalam museum, tetapi seseorang yang mengalami dan melakoni hidup di dalamnya. Marsten menghadirkan berbagai narasi lokalitas di tengah zaman yang tak habis-habis. Meskipun puisi lokalitas dihadapkan dengan sebuah tantangan berat, yakni ketakterbacaan, Marsten memilih untuk menulis puisi sebagai pertapaan pulang pada imannya sendiri demi membagikan narasi atas kebajikan leluhurnya.
2025
Judul: Sirih, Petikan Sihir
Penulis: Marsten L. Tarigan
Cetakan: Pertama, Januari 2025
Ukuran: 12,5 x 18cm
Jumlah halaman: 70 halaman
1 Dikutip dari Hendrik M. J. Maier, Chairil Anwar’s “Heritage: The Fear of Stultification”: Another Side of Modern Indonesian Literature, Indonesia, No. 43, April 1987, hlm. 21.