Sinarnya Memancar di Arab
“Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Di Madinah, jalan King Fahd Bin Abdul Aziz, tiba-tiba saya teringat selarik puisi Abdul Hadi W.M. Waktu itu pukul 4.30 pagi. Dinginnya seperti senja hari di Situ Lembang. Dingin yang kering, yang tidak baik untuk kulit. Tapi semua orang sudah berjalan menuju sebuah masjid yang cemerlang. Sinarnya lebih kuat dari gedung dan jalan-jalan di sana.
Katanya jika saya ibadah di masjid itu, saya akan mendapat pahala yang yang jauh lebih besar dari pada saya salat di masjid Al Muhajirin RW 08 Kelurahan Tanah Baru. Benar sekali apa yang dikatakan M. Yutsni seminggu yang lalu, banyak pahala dan kebaikan yang ada di masjid itu. Bagaimana jika saya bisa salat di masjid itu setiap hari, setiap saat? Betapa bahagianya jadi orang Arab (KSA).
Di Nabawi, katanya, doa seseorang akan mudah terkabul, lebih-lebih berdoa di tempat yang khusus. Ada tempat-tempat yang istimewa untuk berdoa, misalnya, di sebuah jalan dari mimbar ke makam Rasulallah. Namun, tempat yang paling populer untuk berdoa ialah raudhah. Di sana orang berdesak-desakkan, berebut tempat yang mungkin hanya sebesar lapangan basket. Ada pula yang sampai bersitegang dengan askar.
Tentu saja semua orang ingin berdoa atau memohon ampun di raudah. Barangkali itu merupakan salah satu tempat yang paling di dengar Tuhan. “Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab”. Betapa bahagianya jadi orang Arab.
Saya dapat kesempatan untuk mengunjungi Quba. Masjid tersebut merupakan masjid yang pertama dibangun oleh Rasulallah SAW. Tidak ada apa-apa di masjid itu. Katanya kalau ibadah di masjid itu, pahalanya sama dengan ibadah di masjid Al Muhajirin RW 08 Kelurahan Tanah Baru. Tetapi ketika saya duduk di bus untuk pulang, seorang laki-laki bicara pada saya.
“Akhirnya saya dapat juga! Alhamdulillah, berhasil!”
“Apa, Pak?”
“Ada tempat khusus di sana yang mustajam. Pas jam segini (pukul 09.00) ada satu tempat yang kena sinar matahari. Nah, di situ tempat yang mustajab. Saya sih kata kiai dari Madura.”
Saya kurang tertarik dengan obrolan itu.
Saya pun pergi ke Mekah. Kota yang jauh berbeda dengan Madinah. Jarang ada penduduk yang bisa bahasa Inggris dan mereka kurang ramah. Di kota inilah nabi Ibrahim membangun kakbah. Saya pun ingin melihat itu, pergi ke Al Masjid al Haram untuk umrah.
Saya ingat sebuah sinetron Hidayah. Ceritanya tentang seorang ibu kaya raya yang jahat. Kaya tapi jahat. Saya lupa lagi apa kejahatannya, yang pasti ia jahat. Hemat cerita, ia mendapat kesempatan untuk berhaji bersama anaknya. Sampai di Al Masjid al Haram, ia tidak bisa melihat kakbah. Hingga beberapa kali ia pergi ke Mekah, ia tetap tidak diberi untuk melihat kakbah.
Saya takut hal itu terjadi pada saya. Barangkali saya pernah melakukan kejahatan atau dosa, saya sendiri tidak terlalu ingat. Saya juga agak terpengaruh dengan cerita-cerita aneh di Tanah Haram. Katanya, kalau seseorang suka bohong, ia akan ditipu ketika di Tanah Haram. Tukang pukul, bisa dapat balasan di Tanah Haram. Macam-macam ceritanya. Tapi itu tidak terjadi pada saya. Rasanya aman-aman saja, tidak ada masalah. Saya pun masuk Al Masjid al Haram dan akhirnya saya diberi kesempatan untuk melihat kakbah.
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba timbul. Ada rasa takut, geumpeur, sekaligus takjub. “Oh, urang teh nyanghareup kadieu pas solat teh.”
Waktu itu Jumat, pukul 2.30 dini hari. Nampaknya kakbah memang tidak pernah sepi, tawaf tidak pernah berhenti kecuali ketika salat atau ketika kakbah dibersihkan.
Saya melihat banyak orang yang memeluk kakbah; Mencium kakbah, sembari menangis. Di suatu kesempatan saya mencoba hal yang sama. Saya memeluk kakbah, menciumnya, dan menangis. Rasanya memang agak aneh. Janggal. Seperti agak memaksakan. Sekelompok muslim bilang bahwa kakbah telah diperlakukan seperti berhala. Dalam beberapa sisi saya cukup sepakat karena saya melihat banyak orang yang berlebihan ketika memperlakukan kakbah.
Kalau saja kakbah ada di Jawa, mungkin akan jauh lebih parah. Kuburan kosong aja di sembah. Hahahah.
Di sekitar Kabah, ada tempat-tempat yang istimewa untuk berdoa, mustajab; barangkali juga menjadi tempat yang paling didengar Tuhan, misalnya Hijir Ismail, Hajar Aswad, di depan pintu kakbah, di atas bukit Marwah, dll. Beribadah di Al Masjid al Haram pun memiliki pahala yang sangat tinggi, katanya 120.000. Sebuah nilai yang sangat tinggi. Tapi kadang-kadang nilai-nilai itu malah jadi seperti berdagang.
Lantas berapa pahala yang dimiliki orang Arab kalau dia setiap hari pergi ke Al Masjid al Haram? Atau minimal satu minggu sekali. Barangkali mereka lebih berpeluang masuk surga dari pada kita. Hahaha.
“Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab”. Lagi-lagi puisi itu terdengar di pikiran saya. Betapa bahagianya jadi orang Arab.
Saya pergi ke bukit Rahmah. Di puncak bukit, ada sebuah tugu yang penuh coretan. Ada pula coretan “Rudiana love Shela”. Barangkali memang ada mitos bahwa siapa yang menulis namanya dan pasangannya, cintanya akan abadi. Mungkin seperti mitos di Pont des Arts; siapa yang memasang sepasang gembok di pagar jembatan itu, cintanya akan abadi.
Di bukit Rahmah, di tugu bukit itu, orang-orang India nampak aneh. Mereka memeluk tugu itu, menciuminya, berdoa, mengusap-usap tangannya pada tugu itu; padahal tidak ada tempat yang mustajab di bukit itu. Di sinilah, berdoa telah menjadi hal yang tidak wajar.
Dari apa yang saya lihat dan kunjungi saya percaya bahwa banyak yang mencintai Rasulallah SAW, banyak pula yang mencintai kakbah, itu berarti banyak orang yang mencintai agama ini. Islam adalah hadiah itu, hadiah seluruh dunia, tapi mengapa sinarnya memancar di Arab? Pertanyaan itu kerap muncul dari dalam diri saya yang tak tahu apa-apa.
Puisi itu terdengar lagi, “Akulah hadiah seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.” Betapa bahagianya jadi orang Arab. Lantas “Aku termenung. Apa kekurangan orang Jawa?” kata Abdul Hadi W.M.[]