Sihir dan Media Kritik Musik Air
Malam itu (4/11/2017) bulan tertutup awan. Hujan. Tak deras tak pelan. Cukup menggigilkan. Untuk sementara, Saung Mulan bukan lagi tempat menikmati bulan. Di sana, akan tampil pertunjukan musik air, tapi hujan menahan.
Panggung tanpa tenda. Cahaya lampu seadanya. Jolang, ember, dan bak cuci piring khusus berisi air telah siap di sana. Di saung, para penonton hanya bisa memandangi, belum sampai menikmati.
Sekira pukul sembilan malam hujan reda. Keyboard dinaikan ke atas panggung. Lalu, MC juga naik ke atas panggung membuka acara.
“Karena yang akan tampil sebentar lagi musik air, sepertinya hujan tadi sekaligus jadi pembuka,” ujarnya berusaha menghangatkan suasana. Upayanya berhasil, kami tertawa.
Beberapa saat berselang, tiga orang lelaki naik ke panggung. Mereka adalah Sakabaksa, grup musik air yang akan tampil. Setelah melakukan persiapan terakhir, mulailah mereka bermain.
Jolang, ember, dan bak cuci piring tadi jadi alat musik bagi Sakabaksa. Mereka juga menggunakan barang-barang di dalam ketiga alat itu seperti rantang dan pipa paralon. Selain itu, di tangan Sakabaksa, air menemukan fungsinya yang lain. Air menjadi musik instrumen yang bernuansa eksperimental.
Bunyi yang lahir dari permainan mereka menyihir para penonton. Sihir yang menyenangkan dan menenangkan. Seperti saat mendengar suara air yang mengalir. Sesekali, mereka juga memainkan emosi penonton lewat permainan tempo dan pukulan benda-benda tadi.
Ketika tempo cepat dan tabuhan keras menghantam benda-benda tadi, saya seolah berada di tempat lain. Berada dalam sebuah kekacauan. Lalu, saat tempo dan bunyi air kembali melamban saya kembali berada di Saung Mulan, menikmati ketenangan.
Musik Air, Sihir Sekaligus Media Kritik
Musik air dari Sakabaksa tak hanya jadi sihir. Sebagai landasan tiap penampilan, mereka juga membawa isu lingkungan. Khususnya pencemaran terhadap air. Penampilan yang mereka lakukan di acara Festival 7 Sungai di desa Cibuluh, Tanjungsiang, Subang itu membawa isu pencemaran sungai, menyoroti bahaya pembuangan limbah cair dari warga dan pabrik-pabrik.
Dalam salah satu penampilannya, salah seorang dari mereka melakukan gerak tubuh. Ia membasuh mukanya sambil berteriak “perih, bau, dan gatal,” secara berulang-ulang. Gerakan dan teriakan tersebut merupakan salah satu contoh bahaya atas pencemaran air yang marak terjadi di kehidupan sehari-hari. Tak hanya di desa, bahkan di kota pencemaran air sering terjadi.
Hadirnya penampilan musik air di acara Festival 7 Sungai menjadi pembeda. Jika penampilan-penampilan hiburan rakyat yang menyenangkan, musik air mengajak penonton merenungkan kembali tentang kondisi di sekitar khusunya di desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, agar lebih menjaga lingkungan.
Pasalnya sungai telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Cibuluh. Salah satu kegiatan yang tak terpisahkan adalah membuang ari-ari bayi ke salah satu aliran sungai bernama Leuwi Orok. Jika air sungai tercemar, bayangkan ari-ari bayi itu mengalir bersama limbah.
Panggung di Saung Mulan jadi ajang kritik sosial yang lengkap. Sambil diiringi musik air, Rudy Ramdani dari Sanggar Sastra Purwakarta membacakan puisi. Ia membacakan salah satu puisi yang tergabung dalam antologi puisi warga Purwakarta, Riak Sajak berjudul “Aduglajer” karya Achmad Sopiandi Effendi.
Puisi yang dibacakan Rudi mengkritik pemerintah yang melakukan penyalahgunaan tanah. Dalam puisi tersebut tanah yang seharusnya jadi pesawahan malah menjadi pabrik. Kolaborasi antara pembacaan puisi Rudi Ramdani dan Sakabaksa menjadi kritik lingkungan yang lengkap. Satu mengkritik penyalahgunaan tanah, satu lagi mengkritik limbah. Perpaduan yang pas.[]