Fb. In. Tw.

“Si Kabayan” di Teluk Wondama

Sejak awal bulan ini tinggal sementara di Wasior, kota yang menjadi pusat keramaian Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat, kemudian bergaul dengan orang-orang Sunda yang sama-sama mencari “bakat”—bakat kubutuh—saya tidak menemukan” si Kabayan” yang pemalas. Justru, saya banyak bertemu-silaturahmi dengan para “si Kabayan” yang giat bekerja dan solid secara sosial.

Bukankah demikian lekat imej narasi si Kabayan yang acap kali dinisbatkan sebagai perilaku orang Sunda pada umumnya, baik sebagai si Kabayan yang pemalas maupun sebagai si Kabayan yang memiliki sisi-sisi cerdas?

Istilah “Sunda” menurut Ajip Rosidi (2011) dalam “Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda” menunjuk kepada suku bangsa yang berbahasa dan berkebudayaan yang khas, terutama tinggal di daerah yang disebut Jawa Barat dan Banten.

Penulis berpose di Masjid Al-Falah Teluk Wondama. (Foto: Dukumentasi Pribadi)

Penulis berpose di Masjid Al-Falah Teluk Wondama. (Foto: Dukumentasi Pribadi)

Bertemu dengan orang yang se-bahasa ibu nun di tempat rantau, perasaan tidak bisa ditutup-tutupi, betapa bahagianya. Apalagi tempat tersebut sering diberitakan kurang kondusif menyangkut masalah kondisi dan situasi sosialnya, katakanlah.

Bahwa setiap orang Sunda yang datang atau merantau di Teluk Wondama, apa pun pekerjaannya, sejatinya memiliki semangat kolektif. Semangat ini bukan semangat eksis-eksisan, melainkan terlebih bertumpu pada semangat sosial di mana di ranah perantauan terbangun jati diri sebagai keluarga orang Sunda. Saling memberi semangat dan saling membantu menjadi watak si Kabayan di Wondama yang tercerahkan karena kebutuhan hidup. Maenya atuh da jauh-jauh ti tatar Sunda, ngadon sare jeung kiih di Papua!

Setiap pendatang atau si Kabayan saba Wondama yang coba cari peruntungan di perantauan, berusaha giat bekerja. Bekerja sebagai apa saja. Misal menyebut bebarapa sosok saja, Kang Sapto dari Cianjur yang sudah sejak tahun 1990, dan merupakan orang Sunda pertama di Teluk Wondama bekerja sebagai tukang nasi Goreng di Wasior. Atau, Kang Irfan dari Segog, Sukabumi, yang bekerja menjadi penjaga di hotel Waskam. Ada juga Kang Yayan tukang teralis dari Subang. Kang Misbah jadi tukang ojeg.

Selain mereka, ada kang Edi Junaidi yang menjadi pupuhu orang Sunda di Teluk Wondama. Beliau bekerja sebagai PNS di Pemkab Dinas Kehutanan Teluk Wondama. Ada Danramil yang juga orang Sunda, ada kang Wahyudi, ada kang Ujang yang punya toko. Dan banyak lagi profesi lainnya, mulai dari kelas menengah status sosialnya sampai kelas pekerja. Ada kang Heriyanto orang Purwakarta yang jadi syahbandar di pelabuhan Wasior.

Tempat mereka berkumpul atau sekretariat tidak resminya, yang biasanya diadakan di sebuah penginapan pinggir bandara, tepatnya di Wasior Kampung. Penginapan Waskam ini dikelola oleh kang Ujang, asli Garut, yang juga mengelola sebuah toko di samping penginapan tersebut.

Orang-orag Sunda di Teluk Wondama membentuk sebuah perhimpunan untuk mempererat jaringan sosial di antara mereka. Perhimpunan atau paguyuban ini diberi nama PAPAS WONDAMA atau Paguyuban Pasundan Teluk Wondama. Diakui kang Heriyanto yang menjabat sebagai sekretaris di perhimpunan tersebut, “Tujuan pembentukan paguyuban ini adalah untuk kepentingan jaringan sosial dan ekonomi di antara urang Sunda.”

“Dua tahun yang lalu paguyuban ini didirikan tepatnya 20 Oktober 2013,” seperti dikatakan Kang Heriyanto yang sejak tahun 1997 telah menjadi warga Teluk Wondama. Ketua paguyuban ini atau yang menjadi kepala sukunya adalah Kang Edi Junaidi.

Menurut Kang Heriyanto yang asli orang Purwakarta ini saat ditemui di Pelabuhan Wasior, “Perhimpunan ini tujuan utamanya untuk sosial. Misalnya saling tolong menolong sesama orang Sunda, bahkan saling memajukan kegiatan ekonomi di antara mereka.”

“Juga telah dibentuk koperasi untuk para anggota,” tambah Kang Heri.

Keberadaan PAPAS WONDAMA ini juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Pemkab Teluk Wondama, termasuk menjadi pengisi karnaval saat ulang tahun kabupaten. Acara-acara kesenian juga kerap digelar, misalnya saat ulang tahun paguyuban yang kedua.

Menurut Kang Heri kira-kira orang Sunda yang terdata di Paguyuban ada sekitar 50-an kepala keluarga, belum lagi masih ada yang belum terdata atau belum masuk menjadi anggota.

Ke depannya, PAPAS WONDAMA ini ingin diakui oleh pusat Paguyuban Pasundan di Jawa Barat. Sampai saat ini, kata Kang Heri memang belum terdaftar karena kendala waktu, jarak dan kesibukan untuk mendaftarkannya. Kalau ada yang membantu mendaftarkan PAPAS WONDAMA di pusat, kata Kang Heri, ia sangat berterima kasih.

Memang kabupaten ini menjadi kabupaten yang begitu terbuka untuk para pendatang. Tidak hanya orang Sunda, ada juga dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, dan Toraja. Selain itu pendatang dari Maros dan Buton paling banyak. Profesinya bermacam-macam. Ada yang berdagang di pasar maupun menjadi tukang ojeg.

Tidak bisa tidak, kehadiran kaum pendatang mendorong roda pembangunan suatu daerah semakin maju, baik dari sisi perekonomian maupun budaya. Namun perlu diberikan keterampilan juga buat penduduk asli dengan pembinaan dan pendampingan. Jangan sampai terjadi benturan kepentingan akibat kecemburuan sosial dan lain sebagainya.

Lanskap Teluk Wondama. (Foto: Lukma A Salendra)

Lanskap Teluk Wondama. (Foto: Lukma A Salendra)

Perlu diketahui, pasca banjir bandang 2010 yang menghantam kota Wasior dan sekitarnya, pusat pemerintahan Kabupaten Teluk Wondama dipindah ke Rasiei. Bencana banjir bandang tersebut sangat mematikan, dimana ratusan jiwa melayang dan hilang terbawa arus atau tertimbun material. Meskipun demikian, kota Wasior tetap menjadi pusat keramaian perekonomian, karena pembangunan terus dilakukan pasca banjir itu.

Memang masyarakat Wondama berangsur-angsur sudah pulih dan berusaha melupakan kejadian yang menjadi bencana nasional tersebut. Salah satunya adalah kang Wahyudi, orang Sunda yang sudah menetap bahkan jauh sebelum terjadinya banjir bandang tersebut. Kang Wahyudi bahkan matanya berkaca-kaca saat disinggung peristiwa tersebut, dimana ia sendiri yang Alhamdulillah bisa selamat dengan anak dan istrinya berkat pertolongan Allah padahal rumah dan kekayaannya hancur. Ia berhasil lari tunggang langgang dan mencari dataran lebih tinggi.

Di Teluk Wondama memang cuaca tidak menentu. Kadang tiga hari tiga malam kota diguyur hujan terus menerus, terkadang panas seketika. Ini pula yang menyebabkan hidup di sini merasa waswas. Ketakutan akan datangnya banjir bandang selalu ada. Ditambah lagi listrik yang sekalipun telah digratiskan Pemkab Teluk Wondama terkadang tidak menyala bisa sampai lebih dari sebulan, alatan kurangnya pasokan BBM. Maka tidak heran kalau kota ini dijuluki kota seribu genset. Artinya masyarakat memiliki genset masing-masing, kalau memang mereka butuh cahaya di malam hari.

Perjalanan ke Teluk Wondama atau Wasior ini dapat ditempuh dari bandara Soekarno Hatta dengan menumpang pesawat komersial, waktu tempuh kira-kira 4,5 jam untuk sampai di bandara Rendani Manokwari, kota yang menajadi ibukotanya provinsi Papua Barat. Dari bandara Rendani perjalanan dilanjutkan dengan naik ojeg untuk sampai di Pelabuhan Manokwari dengan ongkos Rp25 ribu.

Selanjutnya perjalanan melalui jalur laut dengan menumpangi Kapal Pelni Labobar. Ada beberapa jenis kapal laut untuk sampai di pelabuhan Wasior, di antaranya ada kapal cepat seperti Gracelia. Tapi yang sejenis kapal besar seperti Pelni selain Labobar ada juga Ngapulu. Tapi, bila hendak ke Wasior sebaiknya tahu jadwal keberangkatan kapal laut tersebut terlebih dahulu. Waktu tempuh dari Pelabuhan Manokwari ke pelabuhan Wasior kira-kira jarak tempuh 8 jam, dengan ongkos kelas ekonomi kalau naik kapal Pelni Rp86 ribu saja.[]

KOMENTAR

Seorang jurnalis yang sering mengadakan lawatan ke Indonesia bagian Timur. Kini sedang tinggal sementara di Papua Barat.

Comments
  • tono

    Assalaamu’alaikum wr wb.

    Sampurasun Kang….

    nepangkeun abdi tono asal Linggarjati Kuningan . ayeuna damel di Malang Jawa Timur. kaleresan abdi dipapancenan janten sekertaris paguyuban pasundan Jawa Timur.

    Karaos reugreug maos seratan akang…Alhamdulillah

    Salam kangge sadaya wargi di wasior

    Tono

    31 Desember 2016
    • lukman

      Rampes. Waalaikum salam. Kumaha Orang Sunda di Malang, Kang? Mudahmudahan we sae rezeki sae kesehatan sareng sae sae lainnya.

      2 Januari 2017

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register