Fb. In. Tw.

Shocking Rajah Menafsir Bayangan “Kalangkang”

Kenapa saat kita melihat kesalahan teknis atau improvisasi aktor di atas panggung, kita terganggu dan tidak bisa menerimanya sebagai makna pertunjukan? Jangan jangan hal tersebut bukan kesalahan teknis dan improvisasi, melainkan hal yang disengaja oleh sutradara. Apakah karena penonton memang sangat cerdas membaca keganjilan tersebut sebagai kesalahan dan improvisasi? Atau penonton tidak mampu bersabar dan membaca lebih dalam tentang keganjilan tersebut?

Hal tersebut saya sadari ketika menonton pertunjukan teater Shocking Rajah Performance Art berjudul Kalangkang karya Nazarudin Azhar. Pertunjukan yang disutradarai Wildan Kurnia di Gedung Rumentang Siang, Bandung (24/4/2016) itu sarat tanda dan eksplorasi peristiwa. Seperti menawarkan kebaruan yang memicu persoalan di benak saya. Ketidaklaziman tata cahaya membuat saya bertanya-tanya apakah pertunjukan ini mengalami kesalahan teknis?

Lampu di dalam pertunjukan tidak begitu terang. Tidak ada lampu yang mengarah dari depan. Lampu hanya ada dari atas. Wajah-wajah aktor menjadi berbayang. Dari arah depan, cahaya diupayakan dari proyektor berupa maping yang menghadirkan pola lantai, gambar 3 perempuan, dan kadang menjadi lampu sorot yang menyoroti wajah aktor. Tipe lampu semacam ini biasanya terjadi pada pertunjukan eksperimental.

Terjadi kemungkinan kesalahan teknis, sebab saya sendiri terbawa pada dialog-dialog dan gerak laku tokoh yang realis. Sehingga cukup terganggu ketika salah satu aktor berlaku di atas panggung tetapi penerangan tidak cukup menghadirkan laku aktor tersebut, terutama ekspresinya. Namun saya mencoba bersabar untuk menikmati pertunjukan dan bertanya-tanya akan dibawa pada bentuk yang seperti apa.

Yang paling mengganggu adalah kerja proyektor. Upaya-upaya dihadirkan dengan kasar dan mengganggu pertunjukan. Semisal pergantian gambar, penyesuaian letak gambar, dan pointer komputer yang muncul dan bocor ke dalam panggung. Padahal sederhana saja, Wildan ingin menghadirkan interpretasi terhadap bayangan melalui kerja proyektor. Pertama, bayangan melalui mapping berbentuk tiga bayangan perempuan, bayangan aktor yang dibentuk dari cahaya sorot, dan terakhir bayangan kamboja di lantai rumah Darma.  Ketiga hal tersebut dihadirkan melalui kerja proyektor yang kasar, ceroboh, dan mengganggu, terutama saat pergantian laku.

Apa sebenarnya kekuatan dari tiga upaya proyektor ini? Apakah kehadirannya memperkuat pertunjukan? Atau justru menghancurkan pertunjukan?

Bayangan pertama merupakan bayangan yang saya kira artifisial. Dikatakan demikian, sebab kemunculan dan relasinya dengan tokoh-tokoh di dalam pertunjukan sangat tipis dan tidak representatif. Bayangannya berbentuk perempuan, berjumlah tiga, dengan karakter emotif berjoged-joged. Dihadirkan pertamakali saat tokoh Rahmi menari di ruang tengah. Bayangan tersebut tentu bukan bayangan identik Rahmi, tidak ada kemiripan dengan struktur tubuhnya. Sekedar sama-sama perempuan dan sama-sama menari.

Rahmi “menari” dan bayangan “berjoged”. Saya bedakan kemudian dua kata predikat itu sebab di atas panggung dua hal ini kentara sekali bedanya. Menari adalah kata umum, sementara joged adalah kata khusus dari menari. Dari relasi sosial dan diri, menari menjadi umum sebab ia berada di wilayah makna publik sehingga berjarak dengan diri seseorang. Tarian dan seseorang yang menari, memiliki kaidah-kaidah baku yang mengkonstruksi seseorang pada gerakan-gerakan tertentu. Sementara joged lebih khusus dari menari hal itu akhirnya memperlihatkan sisi identik seseorang. Menari lebih memperlihatkan superego seorang Rahmi, sementara jogednya bayangan menunjukan banalitas dan menghadirkan Id atau hasrat identik.

Padahal kondisi Rahmi sedang berada di dalam rumah. Semestinya ruang rumah yang lebih khusus dari di luar rumah, mampu membawa Rahmi pada tarian yang lebih khusus semisal joged. Namun Wildan menghadirkan Rahmi yang menari dan dikontradiksikan dengan bayangan yang berjoged. Semacam ditaruh sudut pandang dan relasi diantara keduanya yang saling tolak-menolak. Wildan seolah ingin menyampaikan satu makna melalui dua peristiwa di atas panggung.

Hal tersebut memang nampak pada pertunjukannya. Misal pada adegan pertama ketika Darma (Candra Kudapawana) duduk menghadap kamboja di halaman rumah. Ia didatangi oleh Rahmi (Deska Mahardika) istri keduanya, peristiwa tersebut dihadirkan dua kali seperti sebuah repetisi. Namun tentu kita tidak bisa menamainya sebagai satu peristiwa yang berulang, sebab gerak aktor meski dalam dialog yang sama, menghadirkan ketegangan yang berbeda. Satu peristiwa dihadirkan dengan nada pertengkaran dan peristiwa lain dihadirkan dengan nada penuh kepura-puraan. Persoalan di antara keduanya adalah ihwal ingatan pada Rukmi, istri pertama Darma yang telah meninggal dunia.

Ingatan ini dijadikan semacam bayangan. Namun apakah juga Rukmi representasi dari tiga bayangan perempuan banal yang berjoged-joged tadi? Atau Wildan ingin menghadirkan banalitas sebagai makna kebebasan Rahmi? Bagi saya bayangan ini lebih menyerupai banalitas Rahmi yang mungkin pernah terjadi di masa lalu dan hari ini terkekang oleh Darma. Kritik untuk pertunjukan ini, Rahmi dari awal hingga akhir, tidak menghadirkan dirinya yang serupa dengan banalitas ketiga bayangan dalam laku aktornya. Laku aktor Rahmi (dialog atau gerakan) menampilkan Rahmi yang terlalu positif. Bahkan ketika adegan marah dan bernyanyi untuk mengulang nostalgia pun, pendalaman aktor pada masa lalu Rahmi yang seorang pemandu lagu di sebuah karaoke tidak nampak dalam pertunjukan.

Bayangan kedua adalah lampu sorot yang akhirnya menciptakan bayangan aktor di belakang panggung. Lampu sorot ini awalnya saya tenggarai sebagai cara bagaimana mensiasati wajah aktor yang gelap. Dengan begitu tentu saya telah menganggap ketiadaan lampu dari arah depan adalah sebuah kesengajaan. Meski jujur saja, lampu sorot itu statis, tidak dinamis. Aktor pun bergerak di sekitaran lingkaran cahaya tersebut tanpa berpindah. Berpindah kemudian dalam keadaan masih melakukan dialog. Lingkaran mapping jadi kosong dan terisi lagi oleh aktor lain. Dua tokoh yang melintasi sorot cahaya tersebut, yakni Darma selanjutnya Rahmi. Keduanya beserta bayangannya dihadirkan dalam keadaan berdebat.

Saya pikir hal semacam ini rentan. Bagi penonton yang berpengetahuan lebih, akan muncul pertanyaan-pertanyaan. Apakah kehadiran lampu sorot itu mensiasati wajah aktor yang gelap? Apakah lampu sorot ini statis dan memang perlu aktor yang mendekatinya untuk dapat penerangan, semisal mikropon bagi seorang MC yang membutuhkan pengeras suara? Apakah cahaya yang terkadang pula bergerak-gerak menyesuaikan dengan posisi aktor menegaskan fungsinya sebagai sekedar penerangan, hingga diindikasi sebagai kesalahan teknis? Apakah memang difungsikan statis dan menciptakan bayangan di belakang panggung, lalu memperkuat fungsi ketiadaan lampu washing dari depan? Saya memilih pertanyaan yang terakhir dan menyepakatinya. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang lain pun perlu menjadi perhatian Wildan sebab potensi pertanyaan semacam itu hadir karena pertunjukan menghadirkan keganjilan-keganjilan itu.

Bayangan ketiga adalah bayangan berupa mapping bayangan bunga kamboja di lantai rumah Darma. Kamboja berada di luar rumah, bayangannya yang berwarna putih (serupa cahaya) memanjang dari luar hingga ke dalam rumah, menembus tembok imajiner dan merambati dinding hingga setengah dinding rumah. Hanya setengah, cukup menyita perhatian saya. Apalagi dengan teknisnya yang masih bergerak-gerak kaku, merayap-rayap malu, menampilkan kesalahan teknis karena ketidaktepatan posisi mapping.

Dari awal tidak nampak cahaya putih itu sebagai bayangan kamboja. Lebih nampak sebagai upaya lain Wildan mensiasati kegelapan ruang dari arah depan atau melakukan dekorasi cahaya merespon artistik putih sebuah rumah bernafas minimalis garis dan bentuk dasar trapesium. Ia mencoba memberi penerangan di lantai rumah dan melakukan gradasi gelap hingga ke atap. Sungguh, tipe panggung semacam ini sangat eksperimental dan membuat kita jadi mempertanyakan lantai cahaya itu dari awal hingga akhir pertunjukan. Saya semakin menunggu kejutan tersebut karena kejutan lampu sorot (bayangan kedua) yang menghadirkan bayangan berhasil menghadirkan gagasan bayangan yang baru.

Penantian dijawab di akhir cerita, saat Darma dan Rahmi yang di adegan sebelumnya berdebat hebat hingga pada tragedi pembunuhan, rupanya hanya sekedar mimpi seorang pembantu yang resah. Adegan akhir ini secara naskah menjadi garapan teater yang menantang dan dinanti-nanti, bentuk seperti apa yang akan disajikan. Wildan menghadirkan sajian mimpi. Mimpi pembantu merupakan bayangan yang terjadi di dalam alam pikir pembantu setelah melihat gelagat tuan rumah (Darma dan Rahmi) yang tidak baik-baik saja malam itu. Adegan akhir ini dibangun dengan baik melalui kecurigaan tokoh pembantu dan keterlibatannya yang asing rupanya sebagai penggerak cerita (konflik) tersembunyi  yang dimunculkan di akhir cerita.

Setelah Darma menodong pistol pada Rahmi dan Pembantu, lalu mengangkat pistolnya di tengah (meski tidak begitu jelas dan tegas) suara tembakan terdengar berbarengan dengan lampu padam. Menciptakan pertanyaan, siapa yang dibunuh dan terbunuh, Rahmi atau Darma sendiri? Lalu lampu menyala kembali dalam keadaan redup, bebarengan dengan bayangan kamboja (cahaya kamboja) yang memenuhi lantai rumah. Cahaya itu menyusut perlahan diiringi musik fade out mendekati kamboja. Dari sana lah penonton sadar cahaya itu merupakan bayangan kamboja dan pada akhir susutan kamboja yang akhirnya mempertegas cahaya pada kamboja saja, lampu pun padam menandakan pertunjukan selesai.

Tentang bayangan ketiga ini, saya melihat kecerdasan Wildan menghadirkan makna lain dari bayangan. Yakni bayangan sebenarnya bukan hanya ketiadaan yang hanya hadir ketika ada objek yang menghalangi cahaya, atau bukan sekedar ingatan Darma dan Rukmi pada mimpi-mimpi mereka tentang kebahagiaan, tapi juga bayangan adalah hal yang hadir dan menjadikan objek tertentu sebagai sumber representasi atau kontradiksinya. Bayangan yang biasanya berwarna hitam, Wildan menghadirkannya sebagai cahaya. Konsep kontradiksi dasar ini menjadi tetap menghadirkan bayangan, sebab cahaya tersebut berada di ruang yang gelap.

Lantas ada kreasi terhadap cahaya tersebut sehingga memiliki kemiripan dengan bayangan. Cerdasnya, sebab ini kreasi, maka bayangan ini tidak seperti bayangan biasa yang mati, teratur oleh kehadiran cahaya dan objeknya, tetapi bayangan menjadii hidup dan memberikan impresi terhadap pertunjukan. Objek tidak mengatur bayangan ini. Cahaya pada objek menyorot dari atas, tetapi bayangan memanjang dan melebar ke dalam rumah.

Bayangan yang sebenarnya cahaya  ini pun saya kira bukan sekedar menjadi puncak pertunjukan, tetapi juga menjadi puncak konsep Wildan. Wildan mendalami bayangan dan menemukan kesadaran bayangan sebagai teks yang berpotensi untuk diafirmasi, dinegasi, dan diproduksi menjadi gagasan baru. Bayangan bergerak dari satu makna ke makna lainnya, menunjukkan potensinya sebagai gagasan. Penggunaan teknologi mapping sebagai distribusi eksplorasi gagasan bayangan secara fungsi saya kira baik baik dan terlihat upaya Wildan bersikeras membangunnya melalui pertunjukan. Tetapi cara mendistribusinya yang kasar dan beberapa ceroboh (semisal masuknya pointer komputer ke dalam panggung) jelas tidak bisa dianggap sebagai konsep, tetapi kesalahan teknis.

Pola pikir teater konvensional memandang teater mesti berawal dari teknis yang selesai dan tanpa kesalahan. Teknis di dalam pertunjukan bagi saya adalah hal yang riskan, dan kehadirannya tidak mungkin diperkirakan. Lagipula pertunjukan ini memiliki kesalahan teknis yang tidak mengubah cerita atau pengaturan gagasan yang ingin dibangun, bahkan cenderung memperkuat. Pointer komputer dan distribusi mapping yang mengganggu dapat kita setarakan dengan misal ketika pertunjukan berlangsung ada suara adzan terdengar dari luar gedung dan bocor ke dalam pertunjukan tersebut. Terutama yang penting dalam teater adalah produksi gagasan dan ketersampaiannya. Bagi saya pertunjukan ini menghadirkan konsep dan gagasan terhadap teks dengan sangat baik.[]

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register