Fb. In. Tw.

Setahun Setelah Membaca Killing Commendatore

Belakangan ini, di media sosial lagi rame ngangkat Mumurakamian, soalnya Kishidanchō-goroshi atau Killing Commendatore (versi Inggris) baru diterbitin sama KPG dengan judul Membunuh Commendatore.

Saya sendiri beli buku versi Inggris yang dua jilid dalam satu buku tahun kemarin, waktu awal Corona, karena juga waktu itu lagi ada diskon Corona. Awalnya saya mau langsung nulis esai setelah berjibaku baca novel bahasa Inggris dengan enam-hampir-tujuh ratus halaman ini, tapi ya, rencana cuma rencana. Setelah setahun berlalu, akhirnya saya baru punya motivasi nulis sekarang.

Masih dengan gaya Murakamiesque, pada novel ini alusi tentang pelukis dan lukisan punya porsi yang lumayan banyak, di samping tetap hadir juga alusi lagu, karya sastra, dan sejarah. Tokoh senternya cuma seorang, dia seorang pelukis yang nyambi jadi guru lukis. Hal ini jadi cukup menonjol, karena dalam novel ini dihadirkan gambaran tentang struggling-nya kehidupan pelukis pada masa ini. Dan, bodohnya, saya baru sadar pas selesai baca, ternyata tokoh senternya enggak punya nama.

Seperti novel-novel Murakami pada umumnya, novel ini tetap menghadirkan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, sangkaan-sangkaan yang menggantung, kejadian-kejadian ganjil, dan alur cerita yang seolah tiba-tiba. Bahkan barangkali di novel ini lebih terasa peristiwa-peristiwa yang bikin “hah?” atau “lho lho lho?”, dan berakhir dengan “hmm”.

Meski novel ini tetap menarik buat para pembaca yang overly attached to karya-karya Murakami. Kebingungan dalam novel ini seolah memberikan semacam kenikmatan-kenikmatan masokis buat para pembaca. Seperti kata tokoh goib di buku ini: Let metaphors be metaphors, a code a code, a sieve a sieve. Maka ketika membaca buku ini, kita menganggap kebenaran itu sebagaimana adanya, yaitu yang hadir dalam cerita, dan kita gak usah menuntut lebih.

Sedikit spoiler, di bagian-bagian akhir cerita, saya merasa ada sisi-sisi parentalistik yang dihadirkan secara berbeda. Singkat cerita, setelah jungkir-balik dalam dunia Murakamiesque, tokoh senter berada dalam kehidupan sebagai seorang bapak yang mencoba membangun keluarga harmonis.

Hal di atas bagi saya agak mengganjal jika dibandingkan dengan beberapa karya Murakami sebelumnya. Saya ambil contoh, dalam Kafka on The Shore dan 1Q84, yang kita tahu tokoh Kafka dan Tengo punya hubungan yang enggak akrab sama bapaknya. Di The Wind-Up Bird Chronicle sendiri pasutri Toru dan Kumiko juga enggak memiliki seorang anak. Juga, di karya lain yang sudah saya baca, lebih banyak mengangkat dunia persilatan soal jatuh cinta dan patah hati.

Barangkali saya keliru, bisa jadi sosok seorang anak bagi protagonis sebenarnya hadir di karya sebelumnya. Misalnya tokoh May Kasahara di cerita The Wind-Up Bird Chronicle, atau Fuka-Eri di cerita 1Q84 adalah sosok anak bagi protagonis. Tapi tetap saja, di Killing Commendatore ini, tokoh utamanya secara legal mengasuh seorang anak—meski akhirnya entah, itu anak kandungnya atau bukan, ehehe.

Di samping itu, peristiwa-peristiwa berbau perkelaminan juga hadir di novel ini. Persoalan urban tentang diselingkuhi dan berselingkuh punya porsi penting dalam jalan cerita. Selain itu, novel ini juga sempat menjadi kontroversi karena ada deskripsi-deskripsi yang terlalu sexualizing cewek minor. Tapi, kurang-lebih, Murakami menjawab bahwa itu cuma kebutuhan cerita, dan Murakami membayangkan dalam realita pun terjadi seperti itu.

Kritik itu sebenarnya sudah muncul dari karya-karya Murakami sebelumnya. Beberapa karya Murakami, dengan male gaze-nya, dianggap oleh sebagian orang terlalu mengobjektifikasi perempuan dalam fantasi tertentu. Meski, pada beberapa karya lain, Murakami justru dipuji atas peran dari tokoh perempuan dalam karyanya. Murakami sendiri menjawab bahwa dia enggak terlalu memperjuangkan isu ini hadir dalam karya-karyanya.

Dalam wawancara lain, Murakami bilang, “the way I live my life, I don’t really have anything to do with all the “isms” of the world. I’m not an anythingist.”

Terakhir, balik ke Killing Commendatore, membaca novel ini saya seakan berjalan jauh untuk mencapai satu titik yang sama ketika saya berangkat. Atau, perumpamaan lainnya, membuat sebuah lingkaran di satu kanvas dalam satu usapan kuas. Memang saya butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya, tapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita seolah baru saja terbaca, dalam kata lain, ingatan akan peristiwa itu masih terbayang dan begitu dekat.

Jadi barangkali, ya, cuma barangkali, lagian dunia ini terus berjalan karena barangkali, cerita dalam novel ini bukan untuk dijabarkan bagaimana kausalitas antar-peristiwanya. Pertanyaan yang mungkin muncul saat membaca lebih penting daripada jawabannya.

Keterangan Buku
Judul: Killing Commendatore
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Philip Gabriel dan Ted Goossen
Penerbit: Harvill Secker

KOMENTAR

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register