Seratus Tahun Neruda
Saat saya masih seorang bocah dengan celana pendek di Cocabamba, Bolivia, tempat di mana saya menghabiskan 10 tahun awal hidup, ibu saya punya sebuah edisi Twenty Love Poems and A Song Of Despair dari Pablo Neruda di samping tempat tidurnya, punya sampul biru dengan aksen segaris bintang emas di atasnya, yang ia baca berulang kali. Saya baru saja mulai membaca dan, tertarik dengan kekhusyukan ibu saya pada beberapa halaman-halaman, saya mencoba membacanya juga. Ibu melarang saya melakukannya, menjelaskan jika buku ini bukan puisi untuk anak kecil. Larangan ini membuat bait-bait puisi itu makin menarik, membuat mereka makin mengganggu. Saya membaca secara sembunyi-sembunyi, tanpa memahaminya, dengan bergairah, dan secara intuitif merasa bahwa di balik beberapa larik-lariknya yang misterius (‘Terowongan kasar di tubuhku masuk ke dalam dirimu/ Dan membuat anak itu melompat dari kedalaman bumi’, Ah, mawar pubis) terhampar sebuah dunia yang penuh dengan dosa.
Neruda adalah penyair pertama yang puisinya saya pelajari dengan hati: Saya rela membacanya di depan cewek yang saya cintai saat saya masih remaja. Ia adalah penyair yang paling sering saya tiru ketika saya memulai untuk menggoreskan bait, penyair epik dan revolusioner yang menemani masa saya di universitas, dan keterlibatan politik saya dalam kelompok Cahuide selama tahun-tahun menakutkan kediktatoran Manuel Arturo Odria. Pada pertemuan bawah tanah saya di sel penjara, kadang kami berhenti dan menyelingi dengan sesi membaca What is to be Done nya Lenin dan Seven Essays nya Jose Carlos Mariategui untuk mendeklamasikan beberapa halaman di Canto General dan Spain in My Heart. Kemudian, ketika saya menjadi pembaca yang makin tajam lebih dari hanya sekadar seorang pemuda dan sangat kritis terhadap puisi propaganda, Neruda terus menjadi salah satu penulis kesukaan saya –saya bahkan lebih suka dia daripada Cesar Vallejo yang agung, ikon lain di masa muda saya– bukan lagi sebagai penulis Canto General, melainkan penulis Residence on Earth, buku yang telah saya baca berulang kali, yang juga saya lakukan dengan beberapa penyair lainnya, seperti Luis de Gongora, Charles Baudelaire, dan Ruben Dario. Penyair-penyair yang dalam bukunya tersebut –‘The Widow’s Tango’, ‘The Single Gentleman’– masih membuat bulu kuduk saya merinding, memberi saya kegelisahan luar biasa, dan kejutan yang hanya bisa dihasilkan oleh karya sastra terbaik. Dalam segala aspek kreasi artistik, jenius adalah anomali yang tak dapat dijelaskan di dunia akal kita, tapi dalam puisi lebih dari itu: sebuah keanehan, hampir seperti berkah Tuhan, sesuatu yang harus dijelaskan dengan kata sifat yang melambung-lambung: transenden, ajaib, ilahiah.
Saya bertemu Neruda di Paris pada tahun 60-an di rumah Jorge Edwards. Saya masih ingat betapa bahagianya saya saat bertatap muka dengan seorang manusia yang telah menulis puisi bagaikan samudra dengan laut-laut yang berbeda dan spesies flora dan fauna yang tak terbatas, yang tak terukur dalamnya dan luar biasa kaya. Saya tertegun, kikuk. Saya akhirnya berhasil mengutarakan beberapa ucapan kekaguman saya dengannya. Ia menerima pujian tersebut dengan alamiah dan mengatakan jika ini adalah malam yang baik bagi kami untuk makan sosis yang telah Edwards siapkan. Ia gemuk, ramah, suka menggosip, rakus (‘Mathilde, ambil hidangan itu dan sisakan bagian terbaik buatku’), tukang ngobrol yang jago, ia mencoba melakukan usaha yang luar biasa agar saya tidak kikuk, dan membuat saya merasa nyaman ketika duduk bercengkerama di situ, kewalahan dengan sosoknya yang mengesankan.
Meskipun akhirnya kami menjadi teman yang cukup baik, saya pikir ia adalah satu-satunya penulis yang tak bisa saya perlakukan dengan setara. Saat saya bersamanya, terlepas dari fakta bahwa ia selalu hangat dan murah hati terhadap saya, saya selalu merasa terintimidasi dan segan. Orang ini membuat saya penasaran dan mempesonakan saya seperti puisinya. Ia bersikap anti-intelektual, merendahkan teori-teori dan interpretasi dari kritik yang ruwet. Bilamana seseorang melayangkan suatu topik umum yang abstrak, mengajak berdiskusi tentang ide-ide –sesuatu yang Octavio Paz sangat moncer– muka Neruda cemberut dan langsung memastikan jika percakapan akan terasa basi dan membosankan. Ia berusaha keras untuk menunjukkan bahwa ia orang yang sederhana, jujur, dan rendah hati, sangat jauh dari kesan penulis kutu buku yang lebih menyukai teks daripada kehidupan dan yang biasa mengatakan, seperti Borges, ‘Saya lebih banyak membaca dan sedikit sekali menjalani kehidupan.’ Ia mencoba membuat semua orang percaya bahwa ia lebih banyak menjalani kehidupan ketimbang membaca, karena ia jarang menyebut sastra saat berbincang. Bahkan saat ia memamerkan, dengan sangat bangga, edisi-edisi pertama dan menakjubkan manuskrip-manuskrip yang telah ia koleksi di perpustakaannya yang megah, ia menghindari untuk berkomentar tentang nilai sastra dan malah berfokus pada aspek material murni dari benda agung penuh dengan kata-kata ini. Anti-intelektualismenya adalah lagak saja, karena tanpa banyak membaca, mengasimilasi, dan berefleksi pada karya sastra terbaik, ia tak akan mampu merevolusi bahasa puitik dalam khasanah Spanyol dengan caranya, atau menulis puisi-puisi yang esensial dan beraneka ragam. Ia tampaknya berpikir bahwa risiko terburuk yang bisa ditimbulkan seorang penyair adalah terpenjara di dunia abstraksi dan gagasan, seolah-olah bisa menghilangkan vitalitas kata, menyingkirkan puisi dari arena publik dan mengutuknya menjadi tidak dikenal.
Apa yang tak menjadi lagak kepura-puraanya adalah kecintaannya terhadap benda-benda, obyek-obyek yang dapat dirasakan, dilihat, dicium, dan akhirnya dimakan dan diminum. Semua rumah Neruda, terkhusus rumahnya di Isla Negra, adalah kreasi yang sama kuat dan personalnya seperti puisi-puisi terbaiknya. Ia mengoleksi segalanya, mulai dari boneka kepala sampai miniatur kapal kecil dalam botol, dari kupu-kupu hingga kerang laut, dari kerajinan tangan edisi-edisi awal, dan di rumahnya ia merasa diselubungi oleh atmosfer fantasi dan sensualitas yang besar sekali. Ia punya mata sempurna dalam hal mendeteksi sesuatu yang ganjil dan luar biasa, ketika ia menyukai sesuatu, ia langsung menjadi tak terduga, anak labil yang tak berhenti merengek sampai ia dapat apa yang ia mau. Saya ingat sepucuk surat luar biasa yang ia tulis untuk Jorge Edwards, menyuruh agar Edwards pergi ke London dan membeli sepasang drum yang ia lihat di sebuah toko ketika ia melewati ibukota itu. Hidup tak bermakna, tulisnya, tanpa sebuah drum. Pagi hari di Isla Negra, ia memainkan trompet, memakai baret angkatan lautnya, mengibarkan bendera pada tiang di pantai: benderanya bergambar ikan.
Menyaksikan ia makan adalah tontonan yang luar biasa. Waktu itu saya menemuinya di Paris, saya mewawancarainya untuk saluran Radio-Television. Saya memintanya buat membacakan sebuah puisi dari buku ‘Residence of Earth’ yang saya sukai: ‘The Young Monarch’. Ia setuju, tapi ketika ia menemukan halaman itu, ia berseru, terkejut: ‘Ah, ini ‘kan puisi prosaik.’ Saya merasa tertusuk belati di ulu hati: bagaimana mungkin ia bisa lupa salah satu komposisi paling sempurna yang pernah dihasilkan oleh goresan pena seorang penyair? Setelah wawancara, ia ingin kulineran ke tempat makan Timur Tengah. Di restoran Maroko yang terletak di rue de L’Harpe, ia mengembalikan garpu dan meminta sendok kedua. Ia makan dengan penuh konsentrasi dan kebahagiaan, mengayunkan sendok di kedua tangan layaknya seorang alkemis, mengaduk botol-botolnya, untuk membuat ramuan definitif. Menyaksikan Neruda makan, orang akan menyadari bahwa hidup itu layak dijalani, bahwa kebahagiaan itu sangat mungkin dan rahasianya mendesis di wajan.
Fakta bahwa ia begitu terkenal dan begitu sukses di dunia, dan bisa menjalani hidup dengan nyaman, menimbulkan kecemburuan, kebencian dan kesumat yang mengejarnya kemana pun, dan terkadang, membuat hidupnya seakan tak mungkin. Saya ingat suatu ketika di London, dengan marah, saya menunjukkan kepadanya sebuah surat kabar dari Lima, yang berisi serangan terhadap saya. Ia menatap saya seolah-olah saya adalah anak kecil yang masih percaya jika bangau membawa/menculik bayi. ‘Aku punya peti yang penuh kliping seperti itu,’ katanya. ‘Kupikir pada satu saat bisa saja aku dituduh melakukan segala hal menjijikkan di kolong langit ini.’ Tapi ketika hal itu terjadi padanya, ia tahu bagaimana membela diri, dan pada beberapa titik dalam hidupnya, puisinya penuh dengan kata makian dan cacian ganas terhadap lawan-lawannya. Tapi anehnya, saya tidak bisa mengingat ia pernah mengatakan hal-hal buruk tentang seseorang, dan jarang sekali terlibat dalam pergunjingan yang bisa memecah belah rekan penulis lainnya. Suatu malam di Isla Negra, setelah makan besar, sedikit menyipit, mata kura-kuranya menatap saya dan mengatakan jika ia telah mengirim lima eksemplar buku terbaru yang ada tanda tangannya ke lima penyair muda Chile. ‘Dan tak ada seorang pun dari mereka yang membalas sepucuk surat kepadaku,’ keluhnya sedih.
Ini adalah tahun terakhir di hidupnya, saat di mana ia ingin semua orang menyukainya karena ia telah melupakan segala permusuhan dan dendam lama, serta berdamai dengan semua orang. Meski ia tetap setia pada Partai Komunis dan, dari kesetiaan ini, pada momen-momen tertentu menyanyikan pujian bagi Stalin dan membela posisi dogmatisnya, di masa tuanya ia mulai lebih kritis terhadap apa yang terjadi di dunia komunisme serta menjadi lebih toleran dan terbuka. Puisinya sudah tidak lagi agresif atau penuh kedongkolan; puisinya jadi lebih tenang, riang dan mudah dipahami, merayakan banyak hal dan orang-orang di dunia ini.
Tak ada kerja puitik lain dalam khazanah bahasa Spanyol sebergairah dan seluas apa yang dilakukan Neruda, puisi menyentuh banyak lapisan dunia dan merangsang begitu banyak bakat menulis. Satu-satunya kasus yang sebanding yang saya tahu dalam bahasa lain adalah karya Victor Hugo. Seperti oeuvre dari Romantik Prancis yang agung, karya Neruda tak merata: bisa sangat intens, mengejutkan dan sangat orisinil, tetapi juga lancar dan konvensional. Tapi tak ada keraguan bahwa karyanya akan abadi dan akan lanjut menyihir generasi mendatang laiknya ia menyihir generasi kita.
Ada sesuatu yang kekanak-kanakan tentangnya, dengan obsesi dan keinginan yang diekspresikan tanpa jejak kemunafikan, dengan antusiasme waras seorang bocah nakal. Dibalik penampilannya yang baik, ada seorang lelaki yang suka mengamati kenyataan dan juga seorang yang, dalam keadaan yang luar biasa, dalam kelompok kecil, setelah makanan yang dilumasi dengan baik, dapat tiba-tiba langsung mengungkapkan keintiman yang menyayat hati. Dan saat itulah kita bisa melihat, dibalik figur yang mulia, dikenal di seluruh dunia, bocah laki dari provinsi Parral, penuh dengan antusiasme dan ketakjuban akan keajaiban dunia, bocah ini tak pernah hilang.
Madrid, Juni 2004
*Diterjemahkan dari “Neruda at a Hundred” dalam kumpulan esai Touchstones: Essays on Literature, Art, and Politics (2007).
Mario Vargas Llosa, lahir di Arequipa, Peru, pada 28 Maret 1936. Seorang novelis, penulis, pengajar, dan politisi. Ia jadi salah satu eksponen Latin American Boom yang meledak pada akhir 60 hingga 70-an, memenangkan Romulo Gallegos Prize untuk novelnya La casa verde, Cervantes Award tahun 1994, dan Nobel Sastra 2010. Tahun 2019 lalu ia menerbitkan novel berjudul Tiempo Recios.