Fb. In. Tw.

Sepenggal Kisah dari Sukaregang

Suasana Idul Fitri pada hari kedua (2 Syawal 1437 H/7 Juli 2016) masih terasa hangat di kampung halaman istri saya di Karangpawitan, Garut. Saudara dan tetamu masih berdatangan untuk bersilaturahmi. Broadcast berisi ucapan Selamat Idul Fitri dari kawan-kawan yang kebetulan belum dan tak dapat berjumpa masih ramai masuk ke Whatsapp juga media sosial lainnya.

Menjelang tengah hari, saya dan istri beserta anak kami yang masih bayi pelesir ke tempat yang tak terlalu jauh dari rumah. Kami menuju ke daerah Sukaregang, daerah yang dikenal sebagai sentra industri kulit di Kabupaten Garut. Kebetulan kami sedang membutuhkan ikat pinggang.

Dari rumah mertua saya ke Sukaregang hanya berjarak kurang lebih sepuluh menit. Jalan yang kami lalui lebih ramai dari biasanya. Terutama di Jalan Karangpawitan (Jalan Jenderal Ahmad Yani Timur) terasa lebih padat kendaraan, karena jalan yang kami lalui cukup sempit. Padahal Jalan Karangpawitan merupakan satu-satunya akses terdekat menuju bagian timur, dari arah pusat kota kabupaten Garut menuju kecamatan Wanaraja, Sukawening, dan Cibatu.

Sesampainya di Sukaregang, toko-toko yang memajang beragam komoditas berbahan dasar kulit kambing, domba, dan sapi, tampak ramai oleh pengunjung. Sambil lewat saya melirik berbagai jenis produk kulit menarik di masing-masing etalase toko yang berjejer sepanjang Sukaregang, mulai dari dompet, sandal tarumpah, sepatu boot, tas, topi, jaket, hingga kostum balap motor, semuanya tampak keren.

Pada momen Idul Fitri, industri kulit di Sukaregang mengalami kenaikan penjualan yang cukup signifikan dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Seperti juga dirasakan oleh pemilik toko langganan kami. “Mulai dari H-7 sampai dengan H+10 memang haneuteun. Begitu setiap tahun biasanya,” jawab Kang Opik antusias, pemilik toko.

Opik Rahman Nur Taufik (39 th), akrab disapa Opik, adalah salah seorang pengusaha kulit di daerah Sukaregang, Garut. Ia melanjutkan tradisi usaha di bidang kulit yang telah dirintis oleh kakek buyutnya.

Selain memiliki toko retail produk kulit dengan nama Sugarindo yang berada tepat di Jalan Gagak Lumayung (Jalan Sukaregang) No. 1, Garut, Kang Opik juga merupakan pengrajin jaket kulit dengan merek yang sama dengan nama tokonya. “Iya, sama dengan nama tokonya, Sugarindo. Tapi bukan pabrik gula nya. Sugarindo itu singkatan atau akronim dari Sukaregang Garut Indonesia. Saya ini melanjutkan usaha bapak,” tutur kang Opik.

Sementara saya tertarik lebih lanjut berbincang mengenai sejarah usaha Kang Opik, istri saya anteng bersilaturahmi dengan Teh Tuti (istri Kang Opik), sambil mengasuh anak-anak kami yang masih bayi di bagian dalam toko. Menariknya, Kang Opik menguasai sekilas sejarah industri kulit di Sukaregang.

Sandal tarumpah salah satu produk industri kulit Sukaregang yang terus berevolusi dari jaman ke jaman. (Foto: Opet)

Sandal tarumpah salah satu produk industri kulit Sukaregang yang terus berevolusi dari jaman ke jaman. (Foto: Opet)

Sebelum marak dengan toko-toko retail yang menawarkan berbagai komoditas kulit siap pakai, sejak puluhan tahun silam Sukaregang telah dikenal sebagai daerah industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut. Seperti juga dituturkan oleh Kang Opik, “Dulu mah orang Sukaregang istilahnya hanya pengepul. Kulit dikirim ke Yogyakarta untuk diolah menggunakan mesin khusus. Waktu itu orang Sukaregang belum ada yang punya mesin untuk mengolah kulit.

Seiring waktu berjalan, ada pengusaha di Garut yang membeli mesin untuk pengolahan kulit mentah. Nah, mesin miliknya kemudian semacam direntalkan ke masyarakat yang ingin mengolah bahan kulit. Dari situ kemudian mulai berkembang usaha mikro seperti yang sekarang ramai di Sukaregang.”

Dalam pandangan Kang Opik, Industri kulit di Sukaregang bukan lagi sekadar mata pencaharian, tetapi telah menjadi budaya masyarakat setempat. “Kalau orang bilang usaha itu mata pencaharian. Tapi kalau di sini, kalau saya lihat sudah bergeser, sudah jadi ke budaya. Karena faktor-faktor di antaranya, banyak usaha yang dijalankan secara turun temurun. Nilai-nilai yang dibawanya juga secara turun-temurun, seperti karakter produksi, serta manajemen masing-masing juga toko punya kekhasan tersendiri,” jelasnya.

Industri kulit di Sukaregang tentu saja grafik penjualannya tak menanjak selamanya. Pasang surut terjadi juga pada industri kecil yang kebanyakan dikelola secara rumahan ini. Namun demikian populasi usahawan di Sukaregang justru tambah meningkat setiap tahunya. “Sampai sekarang, hitungan kasar saya ada lebih dari 300 toko. Uniknya, dalam sensus mengenai usaha mikro dalam skala nasional, industri kulit di sini adalah yang paling kuat,” ujar Kang Opik.

Sebelum kami memungkas obrolan, Kang Opik juga menyampaikan harapannya, “Ke depannya saya ingin membantu para pengrajin kulit di Sukaregang, terutama dalam hal pemasaran. Karena banyak yang mampu produksi, tapi tak semuanya mampu memasarkan. Kalau produk mereka terserap, produk yang saya jual laku, jadi bisa sama-sama berkembang.”

Masih banyak sebenarnya yang bisa kami obrolkan mengenai sejarah industri kulit Sukaregang. Namun karena khawatir mengganggu aktivitas Kang Opik, yang mesti segera melayani pelanggan yang makin siang makin ramai berdatangan ke tokonya, saya pun mengakhiri percakapan.

Setelah membayar untuk dua buah ikat pinggang dari bahan kulit sapi, kami pun pamit. Selain pulang membawa dua buah ikat pinggang dengan kualitas top dan harga yang ramah di kantong, saya pun membawa serta sepenggal kisah industri kulit di Sukaregang yang saya catat dan bagi kepada Anda ini.[]

KOMENTAR
Post tags:

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register