Seksualitas sebagai Wacana Kekuasaan
“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.”1 (Eka Kurniawan).
“Power produces knowledge (and not simply by encouraging it because it serves power or by applying it because it is useful); that power and knowledge directly imply one another; that there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relations.”2(Michel Foucault).
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Gramedia Pustaka Utama, 2014) adalah novel ketiga Eka Kurniawan. Eka Kurniawan, salah satu pengarang Indonesia yang mendapat perhatian cukup luas dari publik sastra internasional pasca Pramoedya Ananta Toer. Hal ini dibuktikan dengan penerjemahan karya-karyanya ke pelbagai bahasa asing dan dibicarakan oleh pelbagai media massa asing.
Eka Kurniawan mengaku bahwa hampir semua karyanya berbicara tentang kekuasaan.3 Kekuasaan yang melahirkan represi dan ketidakadilan menjadi salah satu keresahan yang mendorong Eka Kurniawan untuk menulis novel. Seperti dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas—yang akan menjadi perhatian utama dalam tulisan ini, pengarang menempatkan seks dan seksualitas sebagai bagian dari relasi kekuasaan.
Kekerasan seksual yang dialami para tokoh dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas misalnya, setidak-tidaknya melibatkan aparatus kekuasaan. Mulai dari aparatus represif seperti polisi, sampai lembaga pendidikan. Kemudian, bukan saja mengisahkan tentang bocah bernama Ajo Kawir yang tak bisa ereksi akibat traumatik, melainkan juga merangkum pelbagai persoalan seksualitas. Tulisan ini berupaya membongkar jalinan relasi antara seksualitas dan kekuasaan dalam novel tersebut.
Seksualitas dan Kekuasaan
Bagi sebagian besar masyarakat kita, seksualitas masih dianggap sebagai hal yang tabu. Meski di beberapa tempat dan kesempatan, hal itu telah dibicarakan secara terbuka. Namun, pada sisi lain, masih ada upaya untuk menyangkalnya. Seks dibicarakan dan dipraktikan, tapi tetap dijaga kerahasiaannya.
Seks telah bergeser dari hubungan paling intim dan privat manusia, menjadi milik publik. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga sosial, mulai dari lembaga keluarga, agama, hukum, pendidikan, penerbitan dan kesehatan berkepentingan terhadap wacana seksualitas. Lembaga-lembaga itu juga ikut bertarung untuk mendaku diri sebagai ‘yang paling benar’ dalam menundukkan perilaku seks setiap individu. Dalam hal ini, kekuasaan sebagai rezim wacana dianggap mampu menggapai, menembus, dan mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim.4
Seks bukan hanya masalah sensasi dan kenikmatan atau hukum dan larangan, melainkan juga pertaruhan masalah antara benar dan salah.5 Mengetahui apakah seks benar atau salah membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Seks dijadikan pertarungan kebenaran melalui wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan, pelarangan, perangsangan, rayuan, dan intensifikasi.
Wacana tersebut tak berniat untuk membuka atau menyembunyikan kebenaran akan seks, tapi melokalisasi keingintahuan yang memiliki fungsi sebagai objek dan instrumen kekuasaan. Tubuh yang patuh demi produktivitas merupakan sasaran dari kekuasaan. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin supaya produktif dalam proses produksi. Oleh sebab itu, normalisasi dan pendisiplinan menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran. Maka upaya-upaya sensor, larangan, dan sangkalan perlu dimanifestasikan dalam bentuk wacana pengetahuan untuk mengatur hubungan kekuasaan dan seksualitas.
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dibuka dengan kalimat yang memikat: ““Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.” (hlm. 1). Kalimat itu sekaligus menerangkan kepada pembaca tentang karakter tokoh utama, Ajo Kawir. Pertama, kelamin Ajo Kawir tak bisa ngaceng. Kedua, Ajo Kawir senang berkelahi. Kedua hal itu rupanya saling berkaitan. Karena kelamin Ajo Kawir tak bisa ereksi, maka ia senang berkelahi tanpa takut mati.
Perihal kelaminnya yang tak bisa ereksi ini dimulai dari kesenangan dua remaja, Ajo Kawir dan Si Tokek yang gemar mengintip.
Mereka mendekati jendela, dan mengintip ke dalam. Untuk ketiga kalinya Pak Kepala Desa menikah, dan kini ia berada di atas tempat tidur bersama isteri ketiganya itu. Pernikahan mereka baru seumur seminggu. Sepasang pengantin itu masih sangat bersemangat, dan penuh berahi.
“Aku suka buah dadanya,” Ajo Kawir berbisik kepada Si Tokek. “Seperti buah kelapa muda.”
“Kurasa seperti pepaya.”
“Pak Kepala Desa meletakkan kemaluannya di antara kedua buah dada isterinya.”
“Ya. Aku ingin mencobanya kelak sudah kawin.”
“Berdoa saja isterimu punya dada sebesar itu.” (hlm. 6-7).
Kedua tokoh utama ini memiliki kesadaran bahwa pintu masuk menuju praktik seks (sanggama) adalah pernikahan. Di dalam masyarakat, wacana tentang seksualitas yang terbangun ialah bahwa pasangan dewasa yang telah menikahlah yang boleh bersanggama. Di luar itu, dianggap melanggar etika dan moral. Tak peduli apakah itu pernikahan yang pertama atau pernikahan yang kesekian bersama pasangannya yang kesekian. Apalagi dalam wacana agama, melakukan sanggama di luar pernikahan dianggap sebagai pelaku zina.
Lembaga agama memiliki peranan penting terhadap wacana seksualitas yang hidup di masyarakat. Seksualitas ditempatkan dalam kerangka antara benar dan salah yang dapat menimbulkan dosa. Hal ini juga diamini oleh tokoh Ajo Kawir yang setelah mengintip Pak Kepala Desa, ia meminta kepada Tuhan untuk dihapuskan dosanya melalui praktik ibadah.
Ajo Kawir selesai mandi dan muncul dengan rambut basah. Ia mencoba mengeringkan rambutnya dengan mengusap-usapnya dengan telapak tangan.
“Kenapa kamu harus mandi malam begini?”
“Aku basah.”
“Aku juga basah.”
“Aku mau salat. Tahajud.”
“Demi Tuhan, untuk apa?”
“Siapa tahu dosaku bisa terhapus.”
“Tadi itu bukan dosa.”
“Itu dosa.” (hlm. 7).
Kesadaran akan dosa dalam mengakses seksualitas juga diterima Ajo Kawir melalui terbitan komik tentang “Surga dan Neraka” yang memang ramai sejak tahun 1980an. Bahkan, sampai hari ini, komik tersebut masih laku di pasaran dan dijadikan media pembelajaran agama bagi anak-anak oleh sebagian pemuka agama. Tak peduli begitu vulgarnya konten isi komik tersebut.
Ajo Kawir memperlihatkan komik-komiknya. Tapi ini komik tentang surga dan neraka, katanya. Bahkan kiai di surau memuji komik-komik ini. (hlm. 8).
Sekalipun demikian memikatnya komik itu bagi Ajo Kawir—yang dijadikannya sebagai pedoman tentang benar dan salah dalam berperilaku, ia dapat berkompromi dengan perbuatan dosa dengan dalih bahwa Tuhan Maha Pengampun.
“Astagfirulloh, bisakah kita cari mainan lain?” tanya Ajo Kawir. “Aku tak mau masuk neraka dan kemaluanku digigit memek bergigi.”
Si Tokek tak tahu memek memiliki gigi, tapi ia tak mau memedulikan hal itu sekarang. Si Tokek membujuknya. Mengatakan bahwa jika ia melakukannya sendirian, itu tak bakal mengasyikan. Bahwa semua dosa akan diampuni kecuali kamu menyembah selain Allah (ia mendengar hal ini dari kiai mereka di surau). Jika itu memang lebih hebat, kata Ajo Kawir ragu-ragu, mari kita lihat. (hlm. 9).
Persoalan dosa dan ampunan dalam seksualitas yang diwacanakan oleh lembaga agama saling tarik menarik. Menjadi paradoks, bahwa seks pranikah akan menimbulkan dosa, tapi dapat diampuni jika tulus bertobat. Ini juga merupakan salah satu bentuk kesalinghubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Lembaga agama dengan wacana pengetahuan akan dosa berupaya menundukkan umat untuk lebih patuh terhadap aturan-aturan agama.
Kesenangan mengintip ini kemudian berlanjut pada sebuah malapetaka yang nantinya menimpa Ajo Kawir. Dua sahabat ini mengintip perempuan gila yang ditinggal mati suaminya diperkosa oleh dua orang polisi. Sejak lampau, orang gila diposisikan di luar masyarakat umum. Lembaga sosial pemerintah serta lembaga kesehatan (psikiatri) berkepentingan terhadap orang gila, menjadikannya sebagai objek.
Rona Merah sekalipun menyandang predikat sebagai orang gila, tapi digambarkan oleh pengarang memiliki fisik/tubuh yang dapat mengundang hasrat seksual. Hal ini diakui oleh tokoh Si Tokek.
Di balik penampilannya yang berantakan, perempuan itu masih memiliki tubuh bagaikan seorang gadis. Bahkan bocah tiga belas tahun yang diam-diam mengintip dari celah rumahnya tahu hal itu. Si Tokek menggigil dan berpegangan erat pada kusen jendela.
Perempuan itu menanggalkan seluruh pakaiannya, dan berjalan ke kamar mandi. Si Tokek harus berjinjit untuk melihat perempuan itu duduk berlutut di lantai kamar mandi, di bawah air yang keluar dari kran. Rambutnya basah, wajahnya basah, tubuhnya basah.
Si bocah semakin menggigil, dan sesuatu tampaknya juga basah di balik celana pendeknya. Ia merogoh celana dalamnya, memegang kemaluannya. Hangat. Ia suka melakukannya sambil melihat Pak Kepala Desa bercinta, dan sekarang ia senang melakukannya sambil melihat Rona Merah telanjang di bawah kran air. Ia bersumpah, Rona Merah lebih menarik daripada apa pun yang bisa dilihat dari isteri Pak Kepala Desa. (hlm. 16).
Hasrat seksual lebih ditekankan pada tubuh. Dari kutipan di atas, Si Tokek lebih menikmati pemandangan tubuh telanjang Rona Merah ketimbang adegan percintaan Pak Kepala Desa dengan istrinya yang ketiga. Hal itu juga berlaku buat Ajo Kawir lewat kutipan berikut.
“Aku tak tahu ia secantik ini,” kata Ajo Kawir, berbisik.
“Kau harus memandikannya, seperti dilakukan polisi itu.”
“Aku lebih suka melihat ini daripada isteri Pak Kepala Desa.”
“Tapi buah dada isteri Pak Kepala Desa sebesar kelapa muda.”
“Yang ini lebih bagus. Tidak besar, tapi bagus.” (hlm. 26).
Orang gila dianggap dapat meresahkan kehidupan masyarakat, oleh karena itu lembaga sosial berkepentingan untuk menertibkannya. Sementara, lembaga kesehatan berkepentingan untuk normalisasi dan patologisasi perilaku. Karena diposisikan sebagai objek, orang gila dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang, terutama melalui pewacanaan normalisasi.
Aparatus kepolisian yang tak jarang menggunakan tindakan represi juga berkepentingan terhadap orang gila atas wacana keamanan dan ketertiban negara. Di luar itu, alat represi negara ini juga memiliki kepentingan terhadap wacana seksualitas yang berupa aturan-aturan hukum.
Di novel ini, dengan posisi Rona Merah yang rentan sebagai orang gila, dimanfaatkan oleh dua orang polisi untuk memuaskan hasrat seksualnya. Polisi yang seharusnya menjamin keamanan terhadap tindakan kekerasan seksual, malah menggunakan kekuasaannya untuk memerkosa Rona Merah. Pemerkosaan itu disaksikan oleh kedua remaja Ajo Kawir dan Si Tokek. Malang bagi Ajo Kawir yang tertangkap basah oleh kedua polisi tersebut.
Lima menit kemudian Ajo Kawir sudah berdiri di samping meja, tempat Rona Merah masih telentang mengangkang. Si Perokok Kretek memeganginya dengan erat.
“Jadi kamu mau lihat ini, Bocah?” tanya Si Pemilik Luka.
Ajo Kawir ketakutan, menggeleng dan hendak pergi. Tapi Si Perokok Kretek mengeluarkan dan menempelkan moncong pistol ke dahi si bocah sambil berkata, “Diam dan lihat!”
… Ajo Kawir dipaksa melihat kedua polisi itu memerkosa Rona Merah bergiliran. (hlm. 28).
Memang, pada mulanya, Ajo Kawir sangat menikmati ketika menyaksikan adegan pemerkosaan tersebut dengan cara mengintip. Namun, kutipan di atas menggambarkan bagaimana mencekamnya suasana batin tokoh ketika berada di ruangan tersebut. Tindakan kedua polisi itu terhadap Ajo Kawir merupakan bentuk kekerasan seksual.
Tak puas sampai memaksa Ajo Kawir menonton, kedua polisi itu juga memaksa Ajo Kawir untuk terlibat di dalamnya. Namun, urung sebab kemaluan Ajo Kawir tak mampu berereksi.
Seolah tak sabar, akhirnya Si Pemilik Luka mencopot paksa seluruh pakaian Ajo Kawir hingga bocah itu bugil, dan mendorongnya ke arah Rona Merah yang masih telentang di meja makan. Ajo Kawir terhuyung dan berhenti tepat di depan kedua kaki Rona Merah yang terbuka lebar. Di balik rambut dan selangkangannya, Ajo Kawir melihat celah kemerahan yang berlipat-lipat.
“Masukkan!”
Ajo Kawir diam saja. Kedua polisi kesal dan hampir mengangkatnya untuk memasukkan kemaluannya secara paksa ke dalam kemaluan perempuan itu. Tapi mendadak mereka terdiam dan menoleh ke arah selangkangan Ajo Kawir. Di luar yang mereka duga, kemaluan bocah itu meringkuk kecil, mengerut dan hampir melesak ke dalam. Setelah berpandangan sejenak, kedua polisi tiba-tiba tertawa sambil menggebrak-gebrak meja. (hlm. 29).
Kekerasan seksual yang menimpa Ajo Kawir di atas menimbulkan trauma yang berkepanjangan, yakni kemaluannya mengalami malfungsi. Pelbagai macam upaya dilakukan demi menyembuhkan kemaluannya, dari yang paling konyol sampai bantuan dari Iwan Angsa, ayah Si Tokek. Semua upaya itu gagal dan sia-sia, si burung tetap memilih untuk berhibernasi. Sejak itulah, Ajo Kawir jadi gemar berkelahi tanpa takut mati. Perkelahian menjadi penyaluran hasrat seksualnya yang mampat.
Semakin Ajo Kawir merasa frustrasi dengan kemaluannya, semakin besar keinginannya untuk berkelahi. Sebenarnya, Ajo Kawir hampir dapat berdamai dengan keadaannya, ketika Iteung mau menerimanya sebagai suami. Mereka menikah dan mengisi adegan percintaan menggunakan jari Ajo Kawir. Namun, hasrat seksual Iteung selalu tak terpenuhi jika hanya oleh jari Ajo Kawir. Kemudian Iteung hamil oleh laki-laki lain dan kemarahan Ajo Kawir tak terbendung. Ia membunuh Si Macan.
Bertahun-tahun kemudian, Ajo Kawir telah benar-benar mampu berdamai dengan kondisi kelaminnya. Ia juga tak menyalurkan hasrat seksualnya yang mampat lewat perkelahian dan kekerasan. Ia menempuh jalan sunyi yang diajarkan oleh kelaminnya.
Jika ia sedang sendiri, duduk di kakus, Ajo Kawir semakin sering memandangi kemaluannya. Kadang ia tersenyum dan menyapa, Apa Kabarmu hari ini, Burung? Jika kau masih ingin tidur, tidurlah yang lelap. Aku tak akan mengganggu tidurmu.
Seperti yang diduganya Si Burung diam saja. Makin lama Si Burung tampak seperti kepala seekor kura-kura yang tertidur dengan malas. Si Burung tampak tak menginginkan apa pun di dunia ini. (hlm. 126-127).
Selain Ajo Kawir dan Rona Merah, tokoh lain bernama Iteung juga mengalami kekerasan seksual. Parahnya, Iteung mengalami kekerasan seksual oleh gurunya di sekolah. Lembaga pendidikan juga memiliki perhatian yang besar terhadap wacana seksualitas. Selain menjadi penjaga moral (seperti lembaga agama), lembaga pendidikan memiliki kepentingan untuk mendidik peserta didik untuk menjauhi perilaku seks.
Lembaga pendidikan menganggap seks sebagai hal yang berbahaya dan mengancam bagi anak. Untuk itu, anak perlu dibimbing dan dibina dalam melihat seks. Seksualitas dapat mengganggu masa depan anak sebagai calon tenaga produktif. Oleh sebab itu, sedapat mungkin, seks dijauhkan dari peserta didik. Bahkan, membicarakannya saja bisa mendatangkan hukuman bagi si peserta didik. Namun, hal ini tak berlaku bagi Pak Toto sebagai guru wali kelas Iteung dalam relasi guru dan siswa.
Pak Toto akan tertawa kecil dan berbisik: “Lihat, Iteung. Dadamu mulai tumbuh. Sebentar lagi kamu perlu pakai beha.”
…
“Boleh Bapak pegang, Iteung?”
“Jangan dong, Pak.”
Tapi tangan Pak Toto sudah masuk ke dalam kemeja Iteung, masuk ke kaus dalamnya. (hlm. 161).
Tak hanya sampai di situ, Pak Toto juga secara implisit memerkosa Iteung.
Celana Pak Toto sudah setengah terbuka. Kemaluannya mengacung keras. Iteung bisa merasakannya, menyodok-nyodok liar menyentuh pantatnya. Setiap kali ia mencoba menjauh, membebaskan diri, setiap kali itu pula Pak Toto menariknya, dan ujung kemaluan itu terasa kembali menyodok-nyodoknya.
“Pak.”
“Sebentar, Iteung.”
Kemudian ia merasa ada yang basah di pantatnya. Basah dan lengket. Dan Pak Toto berhenti melakukan gerakan apa pun. Tangannya berhenti. Kemaluannya juga berhenti. Dengan cepat Iteung berdiri, membebaskan diri. Ada yang basah di pantatnya, ia belum tahu apa. Ia menoleh dan melihat kemaluan hitam legam terkulai di kursi. (hlm. 162).
Kekerasan seksual yang menimpa Iteung juga menimbulkan luka dan trauma yang terus membayang-bayangi Iteung sampai dewasa. Kemudian, Iteung belajar berkelahi untuk menjaga genitalnya. Ia juga berhasil membayar dendamnya kepada Pak Toto. Pengarang dalam hal ini, sangat cermat dalam memainkan wacana seksualitas pada cerita Iteung dan Pak Toto. Pak Toto sebagai rezim kuasa pengetahuan pada lembaga pendidikan, hancur kekuasaan akan wacana seksualitasnya dengan dibuat telanjang oleh Iteung di hadapan siswa-siswanya di sekolah.
Namun, Iteung mengalami ambivalensi terhadap pengalaman pahit yang menimpanya semasa kanak-kanak itu. Pada satu sisi, ia merasa jijik dan ngeri dengan perlakuan Pak Toto terhadap dirinya. Pada sisi lain, ia merindukan kelamin Pak Toto.
Jika ia memimpikan lelaki itu, wali kelas dengan kontol hitam legam teracung dan menyodok-nyodoknya, ia akan terbangun dengan keringat bercucuran dan badan panas tapi menggigil. Jari-jemarinya bergetar hebat, dan rahangnya mengatup kencang, hingga terdengar suara gigi bergemeletuk.
Tapi pada saat yang sama, memeknya juga basah. Becek. Banjir. Seperti merindukan daging tumpul menyodok-nyodok. (hlm. 162).
Trauma berkepanjangan yang dialami Iteung diperparah dengan persoalan yang harus dihadapinya. Ia mencintai dan menikahi lelaki yang tak bisa ereksi. Kebutuhan dan hasrat kerinduan Iteung untuk mendapatkan penis tak terpenuhi. Maka, keinginan untuk memenuhi hasrat seksualnya itulah yang mendorong Iteung berselingkuh dengan Budi Baik.
Ia tahu, tubuhnya tak hanya memerlukan jari tangan yang pandai menari. Ia membayangkan kemaluan hitam legam milik Pak Toto, tapi dengan perasaan jijik ia tak mungkin memperolehnya. Tapi ia bisa memperoleh kemaluan Budi Baik. Ia pernah memperolehnya, dan yakin bisa memperolehnya kembali. Ia hanya perlu diam.
Iteung diam ketika Budi Baik mulai membuka pakaiannya. Iteung diam ketika Budi Baik merebahkannya. Tapi ketika Budi Baik menjatuhkan diri di atas tubuhnya, Iteung mulai bergerak. Iteung menjepit. Iteung menggeliat. Ia memejamkan mata dan membayangkan tengah diimpit suaminya. (hlm. 180).
Di luar lembaga-lembaga sosial yang memainkan peranan penting dalam jalinan wacana pengetahuan dan kekuasaan, ekonomi juga masih tetap menjadi persoalan pokok dalam kekuasaan. Terutama dalam upaya menundukkan tubuh sebagai pemenuh hasrat seksual. Novel ini juga mengangkat persoalan ekonomi yang menjadi asal-muasal kekerasan seksual. Sekalipun, persoalan kekuasaan ekonomi ini tak digambarkan dalam kerangka marxian klasik, tentang kelas yang memiliki alat produksi mendominasi kelas yang tak memiliki alat produksi.
Persoalan di atas digambarkan melalui kisah Si Janda Muda yang dipaksa memenuhi hasrat seksual Pak Lebe. Pak Lebe adalah pemilik kontrakan yang ditinggali oleh Si Janda Muda. Setelah kematian suaminya, tak ada yang menopang perekonomiannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh Pak Lebe untuk menundukkan Si Janda Muda.
Pak Lebe naik ke tubuhnya, menjelajahi seluruh permukaan kulitnya, menapaki setiap lekuk tubuhnya. Ia terus menangis. Pak Lebe menyentuh ujung bibirnya, mengelus leher dan kupingnya. Ia menangis.
“Kamu tak hanya boleh tinggal di sini. Aku akan memastikan kamu dan anak-anakmu tak kelaparan.”
Pak Lebe membuka kedua kaki perempuan itu. Pak Lebe memasuki dirinya. Ia memejamkan mata, tapi airmatanya tetap keluar dari celah kelopak matanya. Ia merasa sakit. Tak hanya di dalam kemaluannya, tapi terutama di dalamnya. (hlm. 45-46).
Persoalan antara Si Janda Muda dan Pak Lebe kemudian dapat diselesaikan melalui jalan kekerasan yang ditempuh oleh Ajo Kawir. Ajo Kawir berhasil menghajar Pak Lebe hingga ia berjanji tak akan mengganggu lagi Si Janda Muda.
Di luar seksualitas, kekuasaan juga tercermin pada penggalan-penggalan kisah yang ditampilkan novel ini. Misalnya tentang pembunuhan Agus Klobot yang erat kaitan dengan pembasmian preman dan berandalan oleh alat represif negara (hlm. 14). Kontes judi adu jotos yang diselenggarakan oleh tentara dengan menggunakan para tahanan pemberontak Aceh, Maluku, Papua, dan komunis sebagai petarung (hlm. 183). Atau, misalnya Paman Gembul yang menawari pekerjaan membunuh seorang aktivis buruh perempuan yang menjadi ancaman kekuasaan negara (hlm. 211).
Hal ini menegaskan pernyataan Foucault bahwa kekuasaan ada di mana-mana. Bukan berarti kekuasaan mencakup semuanya, melainkan kekuasaan datang dari mana-mana.6 Kekuasaan adalah dampak dari pemisahan, pembedaan, dan ketidakseimbangan. Hubungan kekuasaan tak dapat terpisah dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan hubungan seksual.7
Novel ini memiliki penutup cerita yang menarik. Setelah rindu serta dendam usai dibayar tuntas, seperti Gregor Samsa—dalam Metamorfosis karya Franz Kafka—yang terbangun di suatu pagi dan menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kecoak, “Ajo Kawir terbangun di pagi hari dan menoleh ke samping. … Ia menemukan dirinya ngaceng.”***
- Kurniawan, Eka. 2014. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 126.
- Foucault, Michel. 1975. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, hlm. 27.
- Widianto, Stanley. 2017. ‘Hampir Semua Novelku Berbicara Soal Kekuasaan’: Obrolan Bersama Eka Kurniawan. (Diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/9kqxne/hampir-semua-novelku-berbicara-soal-kekuasaan-obrolan-bersama-eka-kurniawan, pada 1 Maret 2018).
- Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan Menurut Foucault (2013) oleh Haryatmoko dalam Handayani, Christina Siwi, dkk. 2013. Subyek yang Dikekang. Jakarta: Komunitas Salihara, hlm. 37.
- Ibid, 38.
- Foucault, Michel. 1975. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books, hlm. 129-130.
- Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan Menurut Foucault (2013) oleh Haryatmoko dalam Handayani, Christina Siwi, dkk. 2013. Subyek yang Dikekang. Jakarta: Komunitas Salihara, hlm. 48.