Fb. In. Tw.

Sebelum Larut

Hampir malam. Langit tertutup awan.

Kael menemukan kotak kolekte di kolong tempat tidur mereka. Kael yakin seseorang menyembunyikannya di sana sebab kotak itu tak bersayap. Lelaki itu mafhum belaka beberapa hal memang dapat terbang meski tak bersayap: roket, batu, piring, perasaan. Perasaan?

Kael tersenyum, memikirkan pada suatu masa perasaannya pernah seperti terbang. Tapi tak lama. Dia terkaget-kaget setelahnya mendengar jerit Rosa. “PAPA!” Gadis kecil itu menjerit mendapati Ayahnya merayap di kolong tempat tidur.

Kael menarik badannya sambil memegang kotak kolekte. Rosa serentak girang. “Uang? Ada uang?” Tanyanya penuh semangat. “Berarti bisa beli sepatu? HORE!”

Pada suatu misa beberapa tahun silam, Rosa, dengan penuh rasa ingin tahu mengamati sebuah kotak di gereja. Kael lalu bilang itu kotak kolekte; Di dalamnya ada Tuhan punya uang. Nanti dibagi-bagi untuk yang susah.

Karena itulah Rosa girang melihat kotak itu di tangan Ayahnya. Sepatu sekolahnya mulai rusak. Lubang-lubang di sol kiri dan kanan jadi pintu masuk air jalanan pada musim hujan. Juga kerikil panas pada kemarau panjang. Rosa perlu sepatu baru. Beberapa hari lalu jawaban Ayahnya membuatnya susah hati. Papa cari uang dulu. Yang sekarang pas buat beli payung. Kaki basah tidak apa-apa. Asal jangan kepala. Bisa sakit.

Kini Rosa yakin, sepatu baru akan terbeli. Tetapi Ayahnya menggumamkan hal yang aneh: “Agar harum hidupmu dan semerbak lakumu.”

“Iya, Papa?” Tanya Rosa heran. Tak ada jawaban.

Kael melamun. Pikirannya terbang ke satu hari pada suatu musim hujan. Seorang gadis memakai payung berwarna cerah ceria dengan gambar lambang titinada.

Hari itu perasaannya seperti terbang ketika gadis yang dipandangnya dengan kagum, bicara padanya. Suara gadis itu merdu. Gadis itu menanyakan sesuatu, dijawabnya dengan aneh: merdu sekali. Gadis itu tertawa mendengar jawaban Kael yang dia pikir lucu. Kael tersipu. Tak menduga mulutnya mengatakan pikirannya. Usahanya memperbaiki jawaban konyol itu malah berujung pada dialog-dialog aneh yang lain. Gadis itu bertanya, Kael merayu. Hari itu mereka berjalan menembus gerimis; setahun setelahnya menikah; setahun berikutnya seorang anak perempuan lahir.

Kael ingat kalimat yang dia bisikan ke telinga bayinya kala itu. Namamu Rosa. Agar harum hidupmu dan semerbak lakumu—kalimat yang tanpa sadar digumamkannya sekarang.

Kael meletakkan kotak kolekte ke tempat tidur lalu memeluk Rosa. “Kita tunggu mama pulang,” bisiknya.

***

Hampir malam. Tak ada langit jingga.

Beberapa pekan terakhir istrinya sering meninggalkan rumah. Berjam-jam lamanya dan tiba di rumah ketika hari sudah malam. Kael mendengar kabar, perempuan itu sering ke pastoran. “Bertemu” Romo H. Informasi sepotong yang membuat Kael memelihara amarah.

Akhirnya istrinya tiba juga. Matanya sembab. Membawa kabar bahwa Romo H akan pindah ke paroki yang jauh. Kael tak tahu, harus lekas berkomentar atau menunggu saja bagian lain yang seperti hendak diceritakan istrinya. Saat itu Rosa datang. Membawa kotak kolekte; “Ini untuk beli sepatu, Mama?”

“Dapat itu dari mana?” Perempuan itu segera merampas kotak dari tangan putrinya. “Kau ambil ini untuk apa?” sambungnya. Kali ini kepada Kael. Dengan mata melotot dan kalimat panjang yang hadir cepat setelahnya: “Setiap orang punya rahasianya masing-masing. Beberapa hal di dalam lemari adalah contohnya. Kolong tempat tidur kita juga. Hanya saya yang boleh buka. Kenapa kau bongkar?”

“Sejak kapan?” Tanya Kael heran.

“Sejak kapan? Sejak kau tidak berdaya. Sejak kau tak bisa beli sepatu anakmu. Sejak kau tidak lagi bisa begitu!”

“Kau jatuh cinta pada orang lain? Pada Romo H?”

“Menurutmu?”

Rosa menangis. Kael bingung, tak menyangka situasi berubah secepat itu. Setelah kemarahan yang dia siapkan—memikirkan cara menyampaikan rasa curiga tentang hubungan istrinya dan Romo H tanpa meledak-ledak, tiba-tiba dia ada di posisi sebagai yang bersalah. Penjelasannya bahwa lemari, kamar mandi, anak, payung, cinta, kolong tempat tidur, dan apa saja di dalam rumah mereka adalah milik bersama, justru membangkitkan khotbah yang panjang. Tangis Rosa tak berhenti.

***

Romo H sedang memindahkan buku-buku dari rak ke kardus ketika dia tiba di sana. Belum sempat menyembur amarah—Kael yakin bahwa kecurigaannya atas perselingkuhan istrinya dengan Romo H sungguh-sungguh terjadi, pastor muda itu menyerahkan beberapa lembar surat.

“Itu bukan pengakuan dosa. Kau boleh baca,” kata pastor muda itu.

Kael membaca. Surat istrinya kepada Romo H. Berisi curahan hati—suami saya dipecat, tanpa pesangon. Dia tertekan dan seperti hilang gairah makan. Juga di tempat tidur […].

“Di rumah ada kotak kolekte, Romo,” kata Kael perlahan setelah membaca surat istrinya.

Ada hening yang canggung belasan detik lalu Romo H memberi penjelasan. “Oh, itu. Sudah tidak dipakai. Di gereja ada kotak kolekte baru. Yang lama saya berikan ke istrimu. Di dalamnya ada sekitar dua ratusan ribu. Uang pribadi saya. Pakai saja. Kotaknya untuk Rosa. Dia harus belajar menabung.”

Romo H lalu bercerita. Setelah menerima surat itu, Romo H memutuskan memanggil perempuan itu. Semula hanya agar mendapat cerita yang utuh dalam sekali duduk. Tetapi ternyata ada lebih banyak cerita yang membuatnya memutuskan menjadwal pertemuan berkali-kali; agar dapat mendengar lebih lengkap dan memberikan pendampingan rohani yang tepat.

Pertemuan-pertemuan itu berlangsung baik sampai seseorang melapor ke keuskupan bahwa dia terlibat perselingkuhan. Romo H dipanggil menghadap Romo Vikjen. Diceritakannya semua peristiwa itu. Beberapa hal disampaikan dalam sakramen pengakuan. Keputusan dibuat. Romo H akan dipindahkan.

Malam sudah larut. Awan pecah.

KOMENTAR
Post tags:

Bergiat di Komunitas Saeh Go Lino dan Klub Buku Petra, Ruteng.. Kumpulan cerpennya berjudul “Perjalanan Mencari Ayam” (Dusun Flobamora, 2018).

You don't have permission to register