Seandainya Pram Menyaksikan Film Bumi Manusia
Dua hari sebelum hari raya kemerdekaan, pada tanggal 15 Agustus kemarin, terbit film Bumi Manusia yang diadopsi dari roman pertama tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Film di bawah naungan Falcon Pictures dan disutradarai oleh sineas kondang Hanung Bramantyo ini, disambut dengan gegap gempita oleh orang-orang, meski tentu ada pula yang mencemoohnya. Sejak awal pembuatan film Bumi Manusia ini memang menuai banyak kritik, karena tokoh utama dalam novel itu, Minke, diperankan aktor muda Iqbaal Ramadhan yang dianggap kurang pantas.
Harus diakui memang, Pramoedya Ananta Toer bagi sebagian orang merupakan sosok yang menjadi teladan dan begitu diagungkan. Tapi, bagi sebagian lainnya menjadi bahan olok-olokan, dan bagi kebanyakan orang sosoknya tak lebih penting dari Sandiaga Uno atau Trio Macan—terkecuali jika Pram mampu membuahkan keuntungan lebih.
Baca juga:
– Orde Baru, Soeharto, dan Humor
– Ingat Pram: Rindu Sastra Realisme Sosialis
Pram menjadi hero sekaligus bukan hero; ia dianggap pahlawan yang senantiasa ditasbihkan oleh orang-orang yang mengaguminya, dan dianggap bukan pahlawan bagi sebagian lainnya. Pram ibarat “hantu”, karena itu gambar wajahnya tak pernah terpampang di ruang-ruang sekolah dasar atau tersebar saat hari raya kemerdekaan, seperti Pangeran Diponegoro, Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, dan bahkan Chairil Anwar.
Tak ada tempat bagi “hantu” bernama Pram ini, negara tak pernah menyukainya.
Negara tak pernah menyukainya, karena Pram selalu membayangi dan bahkan menggoyangkan sendi-sendi kekuasaan. Ia kerap kali memprotes bentuk-bentuk kesewenang-wenangan, penghisapan, dan penindasan yang terjadi di bumi manusia sepanjang sejarah bangsa Indonesia, ketika negara seringkali berperan dalam melanggengkan praktik-praktik penindasan itu.
Tak ayal, Pram pun selalu dicitrakan, dibentuk sebagai “hantu” menyeramkan yang harus dijauhi, dieksorsis dari ingatan kolektif bangsanya sendiri. Novel-novelnya dianggap berbahaya, dibakar, dan akhirnya dilarang hingga hari ini oleh pemerintah Indonesia, hanya karena paranoia. Orang-orang pun menuduhnya sebagai “hantu komunis” yang kotor.
Namun, kali ini kondisinya cukup berbeda. Melalui novelnya Bumi Manusia (pertama kali diterbitkan Hasta Mitra, 1980) yang ditransformasikan ke dalam bentuk film oleh Hanung, sosok Pram menjadi dielu-elukan. Ia dianggap maestro dalam dunia kesusastraan oleh sebagian besar masyarakat, dan dipandang turut berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia. Karena itu, film ini disambut dengan sangat baik dan positif oleh berbagai kalangan, seperti politikus Budiman Sudjatmiko serta Menteri Pendidikan dan Kebudayan, Muhadjir Effendy.
Melihat situasi ini, tentu saja ada perasaan bahagia. Karena situasi ini berkebalikan dari masa-masa sebelumnya saat Pram masih hidup. Siapa sangka, sosok Pram yang selama ini ditampilkan oleh negara sebagai “hantu komunis” yang menyeramkan, kotor, dan menjijikan, yang karyanya dilarang oleh rezim despotik Orde Baru, kini mulai diminati. Melalui film Bumi Manusia, masyarakat—khususnya kaum milenial—mulai terbuka untuk mengenal sosok Pram, sekaligus dibuat melek terhadap sejarah penderitaan bangsanya sendiri di bawah panji-panji kolonialisme. Tapi, benarkah demikian?
Saya melihat film Bumi Manusia satu hari setelah film ini dirilis. Meski diselimuti perasaan senang, tapi sejak awal saat hendak menontonnya, saya tak pernah menaruh harapan yang muluk-muluk dari film ini. Bukan karena saya meragukan kemampuan sineas Hanung Bramantyo. Bukan, melainkan karena saya termasuk pembaca karya-karya Pram, merasa sangsi jika karyanya yang menakjubkan itu dapat ditranformasikan ke dalam film. Dan nyatanya, setelah menonton film Bumi Manusia, dugaan saya tidaklah meleset.
Karena itu, saya tak terlampau kecewa setelah menyaksikan film Bumi Manusia yang jauh dari “orisinalitas” novel Pram sendiri. Terlalu banyak penambahan dan penyimpangan di sana-sini. Tentu saya pun menyadari, dalam alih wahana suatu karya sastra ke dalam bentuk lain seperti film, bukanlah perkara mudah. Medium yang berbeda, membuat penyederhanaan, perubahan, penambahan, tak dapat dihindari. Saya paham itu.
Namun, penyimpangan yang terlalu kentara dalam film Bumi Manusia dari novelnya, yang membuat saya mencoba menuliskan ini. Mungkin seperti respon aktif atau kesan-kesan dari penonton yang awam seperti saya.
Muncul pertanyaan dalam benak saya; jika seandainya Pram menyaksikan film Bumi Manusia ini yang jauh dari “orisinalitas” novelnya, bagaimana sikapnya? Apakah Pram akan berkomentar, atau malah menerimanya begitu saja? Atau jangan-jangan Pram sejak awal akan menolak novelnya untuk ditransformasikan ke dalam bentuk film, terutama dengan motif kebutuhan pasar, alih-alih untuk memperkenalkan karya dan sosok Pram ke khalayak umum?
Baca juga:
– Melawan Kepasifan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan
– Hilmar Farid dan Perkenalan Pertamanya dengan Karya-karya Pramoedya
Ada beberapa hal yang saya soroti dalam film dengan durasi 3 jam ini, yang mungkin menjadi benang merah dari film Bumi Manusia. Pertama, kisah cinta antara Minke dan Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Hal yang pertama ini sangat menonjol dalam film Bumi Manusia besutan Hanung. Kedua, sikap rasis (politik identitas) kaum kolonial Belanda terhadap kaum pribumi dan Indo. Dan terakhir, tentang modernitas yang didambakan oleh tokoh utama, Minke. Ketiga aspek ini saling berkelindan dan menggerakan keseluruhan cerita.
Pada bagian awal dari film Bumi Manusia ini, dibuka dengan lagu Indonesia Raya dan disispi tembang Ibu Pertiwi yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Harus diakui, pada saat lagu itu berkumandang, emosi penonton cukup tergugah. Kemudian, film diawali dengan menampilkan sosok Minke, seorang pribumi yang belajar di HBS (Hogere Burger School), yang memuja kemajuan ilmu pengetahuan dan Eropa. Di sekolahnya itulah, Minke bertemu dengan Robert Suurhorf (Jerome Kurnia) yang angkuh.
Latar yang ditampilkan saat di scene awal itu cenderung mencolok, seperti tampilan properti di tempat penginapan Minke dari segi warna dan perabotannya. Hal ini, bagi saya, jauh dari gambaran Jawa di masa-masa awal kolonial dalam novel Bumi Manusia. Terlebih lagi, Hanung memang tak menyertakan periode waktu. Tetapi soal latar waktu, sangat terlihat lantaran Minke yang cukup antusias melihat perayaan penobatan Wilhelmina sebagai Ratu Belanda pada tahun 1898-an. Mungkin dengan menghadirkan latar yang terlalu mencolok itu, Hanung bermaksud untuk menampilkan citra modernitas yang mulai merasuk di tanah air.
Kembali ke cerita dalam film, pertemanan dengan Suurhorf ini yang membawa Minke kepada Annelies Mellema. Suurhorf membawa Minke ke rumah salah satu temannya yang kaya raya dan memiliki pertanian sangat luas, Robert Mellema (Giorgino Abraham). Robert Mellema dan Annelies Mellema ini merupakan anak dari seorang Belanda bernama Herman Mellema (Peter Sterk) dengan seorang gundik yang disebut sebagai Nyai Ontosoroh (diperankan oleh Sha Ine Febriyanti).
Namun, perlakuan yang diterima Minke saat berkunjung ke Wonokromo bersama Suurhorf, pada mulanya tidaklah menyenangkan hatinya. Robert Mallema tak menyukai Minke, karena ia hanyalah pribumi yang dianggap tak setara dengannya. Minke, seperti halnya pribumi yang dijadikan budak pada masa itu, dipersilahkan untuk duduk di kursi lainnya yang berbeda dengan meja Robert Mallema dan Suurhof.
Pada saat itulah, Minke bertemu Annelies yang baik hati dan anggun. Annelies menjamu Minke dengan sangat ramah, dan memperkenalkannya ke sang mama, Nyai Ontosoroh. Minke pun sempat mencium Annelies di suatu taman, yang membuat Annelies tersipu malu dan mengadukan hal itu pada Nyai Ontosoroh. Pertemuannya dengan Annelies tersebut, membuat Minke jatuh cinta sejak pada pandangan pertama. Dan akhirnya, akan mengubah kehidupan Minke selanjutnya.
Kemudian cerita terus mengalir dalam layar, yang kebanyakan menggambarkan tentang kegalauan akut Minke tentang arti menjadi modern dan Eropa, cintanya kepada Annelies, serta kekagumannya pada sosok Nyai Ontosoroh yang cerdas. Dalam hal ini, Hanung cukup jeli. Ia membawa penonton untuk mengikuti gerak cerita dalam film yang berdurasi 3 jam itu, dengan alur yang naik-turun.
Mungkin yang tampak mengagumkan lainnya dari film Bumi Manusia adalah peran para aktornya yang mampu dengan cukup baik berbicara dalam multibahasa, seperti Jawa, Belanda, Prancis, Jepang, dan Cina. Misalnya, tokoh Darsam memang layak mendapatkan perhatian di sini. Sebagai karakter scene stealer, ia mampu berakting dengan sangat baik dan natural layaknya orang Madura.
Tokoh lainnya tentu saja Annelis yang diperankan oleh Mawar Eva de Jongh pun tak kalah bagus. Eva berhasil mengahadirkan karakter Annelies yang manja dan kekanak-kanakan. Selain itu, karakter Nyai Ontosoroh yang diperankan Ine Febriyanti pun sangat mempesona. Ine cukup fasih dalam melafalkan bahasa Belanda dan Jawa sekaligus, selain kuat dalam memainkan karakter Nyai Ontosoroh yang gigih dan cerdas.
Namun, terlepas dari kelebihan dalam film Bumi Manusia, Hanung cenderung melupakan (atau mengesampingkan) detail-detail dalam novel Pram, malah terkesan diada-adakan. Misalnya, kemunculan nama Tirto Adhi Soerjo yang berulangkali dalam film, seperti dalam surat kop Keresidenan Bojonegoro, dalam lembar pengumuman kelulusan HBS sebagai peringkat pertama, dan saat dialog dengan Ayahnya (Donny Damara), serta dalam surat nikah resmi (secara islam) ke Raad van Justitie untuk membuktikan dirinya sebagai suami sah Annelies.
Baca juga:
– Alih Wahana Bunga Penutup Abad
– Ia yang Berada di Jalan Literasi
Seingat saya, Pram sendiri dalam novel Bumi Manusia tak menuliskan nama Tirto Adhi Soerjo, meski tokoh Minke ini memang terinspirasi (atau penjelmaan) dari tokoh pers nasional Tirto Adhie Soerjo. Pram dalam novelnya, hanya menulis RM Minke anak Bupati B (Bojonegoro). Nama Tirto Adhie Soerjo baru muncul pada novel Jejak Langkah saat Minke memimpin harian Medan Priaji.
Kemudian, yang paling menggemaskan adalah munculnya narasi ke-islam-an saat mendekati akhir film. Seperti Islam vs kafir saat Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies harus menghadapi hukum kolonial yang rasis di akhir abad ke-19. Setelah semua upaya yang dilakukan Nyai Ontosoroh dan Minke menemukan kegagalan, Minke pun menuliskan sebuah artikel sebagai bentuk lain dari perlawanannya. Artikel itulah yang kemudian memicu demonstrasi massa dari sejumlah kalangan agama ke pengadilan Belanda. Inilah segilintir penyimpangan yang dilakukan Hanung dalam film.
Film Bumi Manusia besutan Hanung ini tak ubahnya seperti film picisan biasa dengan latar sejarah sebagai ornamennya, seperti film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013), ketimbang film tentang narasi sejarah bangsa Indonesia. Hanung lebih mengedapankan aspek picisan dari Minke dan Annelies, dan sangat menekankan politik identitas seperti Eropa-pribumi, modern-tradisioanlis, kemajuan-kemunduran, dan paling konyol adalah islam-kafir.
Tak ada sedikit pun penggambaran dalam film Bumi Manusia tentang kepedihan yang dialami kaum pribumi sebagai kaum tertindas karena antagonisme kelas, atau eksploitasi biadab oleh kaum kolonial Belanda. Mungkin, bagi Hanung, persoalan seperti itu tak akan menarik para remaja milenial, atau singkatnya, kebutuhan pasar. Mereka hanya menyukai kisah cinta sepasang kekasih dengan segala penderitannya seperti Minke dan Annelies. Atau mungkin pula, karena Hanung tak benar-benar mengenal atau mempelajari sosok Pram lebih dulu dengan sangat baik, sehingga melupakan spirit Pram yang selalu tercermin kuat di setiap novelnya, termasuk Bumi Manusia.
Saya pun teringat kembali pada Pram, setelah melihat film Bumi Manusia ini. Teringat akan kesakitannya, perjuangannya, dan keteguhan hatinya dalam “kebenaran”. Saya teringat surat Pram yang haru kepada Goenawan Mohamad (GM), tentang penolakannya terhadap permintaan maaf dari Gus Dur sebagai kepala negara. Bagi Pram, permintaan maaf saja tak cukup, itu hanyalah basa-basi. Dan, Pram tak butuh basa-basa itu, karena kata “maaf” baginya tak akan pernah mampu menggantikan kerugian dan penderitaan yang selama ini ia alami oleh negara.
Pram menolaknya bukan karena ia merupakan sosok pembenci. Ia hanya ingin keadilan ditegakan sebenar-benarnya oleh negara, tanpa basa-basi.
Dari sikapnya yang tegas dan konsisten itulah yang barangkali menjadi teladan bagi sebagian orang. Saya pun teringat Pram: Seandainya ia menyaksikan film Bumi Manusia ini, bagaimana komentarnya? Apakah sikapnya akan tetap sama seperti yang tercermin dalam surat balasannya kepada GM, ataukah sebaliknya?
Saya kira, sikap Pram tak akan pernah bergeser sedikit pun dari apa yang ia yakini, seperti dalam surat balasannya itu.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Ilham
Mantap dah