
Satir dalam Pameran Pakar Buyar
Bertempat di Galeri Studio 229 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Pameran bertajuk Pakar Buyar (Pameran Karya Budaya Alam Rupa) yang berlangsung 27-30 April 2015, tampak menghidupkan galeri kecil menjadi representasi alam dan kota kekinian secara kritis. Acara yang diadakan PASER (Petualang Alam Seni Rupa) UPI ini merupakan rangkaian diklat organisasi PASER sebelum jadi anggota. Meski begitu, karya yang dipamerkan memiliki ide-ide yang lahir dari proses kajian yang serius.
12 seniman muda UPI begitu kreatif memamerkan karya yang dikuratori oleh Zakarias S. Soeteja (Dosen Seni Rupa, Dekan FPSD UPI Bandung), Danang (perupa), dan Zaenal Abidin (perupa). Seniman tersebut antara lain, Angel Limbong, Arian Adi Pratama, Karolina Br Ketaren, Mustafa Almaragi N., Dina Khoerunisa, Nenty Novianty, Riska Ayu Wulandari, Rizal Khoirul Insan, Rizqi Fauzi, Vicky Isyanata, Zeihan Iqbal M., dan Zesika Hayatul K.

Peserta pameran Pakar Buyar foto bersama kurator.
PASER adalah sebuah organisasi di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Seni Rupa (HIMASRA) UPI. Organisasi ini bukan sekedar organisasi pecinta alam, tapi juga ada unsur petualangan di dalamnya. Menurut Lintang Pratama (Ketua PASER), “Petualangan yang dimaksud adalah jalan-jalan berbasis riset budaya yang bukan hanya kemping di pegunungan saja, tapi juga susur kota, susur tokoh, jejak tradisi rupa, dan sebagainya.”
Melihat latar belakang organisasi yang demikian, pameran ini layak diperbincangkan, sebab karya yang lahir dari riset yang serius jarang sekali dilakukan. Tema “Karya Budaya Alam Rupa” sendiri merepresentasikan karya yang dipamerkan. Dimana persoalan lingkungan yang mampu menunjukan budaya masyarakat kekinian terwujud dalam karya-karya mereka. Persoalan tersebut dipandang dari sudut pandang rupa yang artistik (bentuk, garis, warna, dan visualisasi persoalan).
Pembukaan pameran malam itu cukup sederhana namun bermakna. Hal ini dilihat dari material-material yang dihadirkan ke dalam pameran merepresentasikan persoalan lingkungan saat ini. Pratama mengatakan, “Pameran ini secara tema dibebaskan, tapi karena yang bergiat di PASER merupakan para petualang alam dan lingkungan, maka akhirnya didapatkan tema yang hampir seluruhnya berfokus pada persoalan lingkungan.”
Di pintu masuk, pengunjung disuguhkan video maping dari Uvisual. Video yang menampilkan lambang PASER tersebut membawa kita pada satu realitas urban. Hal ini pun disinggung oleh MC saat membuka kegiatan, bahwa kegiatan ini dari tahun ke tahun biasanya dilaksanakan di alam. Biasanya para seniman diminta merespon material dan persoalan yang ada di alam dan membuatnya menjadi karya seni. Tapi tahun ini untuk pertama kalinya, proses berkarya dibebaskan dan dipamerkan di dalam kampus.
Alhasil, beberapa karya pun merepresentasikan karya yang beragam. Dari mulai karya yang berbicara tentang ekosistem hutan yang habis oleh penebangan hutan, hingga ekosistem yang terganggu. Dari persoalan sampah, air yang kering, hingga kehidupan urban yang nyaman dan melenakan.
Misalkan karya mix media berjudul “Simbiosis” karya Nenty Novianty. Karya yang merespon retak tembok ruang pameran itu menampilkan ranting yang muncul dari tembok dengan daun-daun berbentuk botol-botol kecil dimana di dalam botol tersebut tumbuh tanaman-tanaman plastik. Sebuah akar pohon lapuk teronggok di bawahnya, dan di tembok tersebut tergambar drawing kapur berisi seorang petani dan kupu-kupu dalam gelembung udara.

“Simbiosis” karya Nenty Novianty
Karya tersebut merepresentasikan bagaimana ekosistem dihadirkan dalam sebuah hukum simbiosis. Terpisahnya antara imaji tunggul pohon yang berada di bawah dan ranting di atasnya, seolah terdapat jarak, sejarah, dan peristiwa yang tak dijelaskan. Jarak ini yang menjadi dominan terjadi dalam karya-karya Pakar Buyar.
Karya serupa yakni karya Zesika berjudul “Ternilai” karya tersebut menampilkan interior kamar lengkap dengan kursi, pas foto, karpet dan beberapa bantal. Ruang tamu itu merefleksikan sebuah suasana dalam rumah yang nyaman. Di sampingnya sebuah laptop menampilkan hasil riset susur kota. Kota dalam pandangan zesika adalah kreatifitas jalanan yang gaduh dan cepat. Hal ini jelas kontradiktif dengan ruang interior yang dibangun dalam karyanya. Maka terlihat jarak itu sebagai ruang interpretasi di dalam karya tersebut.
Satu karya lagi yang memainkan ruang interpretasi pada satu titik sudut pandang yakni karya Angel Limbong berjudul “Sebelah Mata”. Karya tersebut menampilkan sebuah kotak hitam dengan lubang kecil yang di dalam kotak tersebut rupanya terdapat sebuah diorama penebangan pohon. Pertanyaan selanjutnya, apakah sebenarnya yang diinginkan pekarya dengan mempersempit ruang tontonan pada sebuah lubang kecil? Kalau bukan karena diorama di dalam kotak tersebut penting untuk dilihat dan diperhatikan, serta perlu fokus yang serius untuk melihatnya.

“Sebelah Mata” karya Angel Limbong.
Sudut pandang ini pun kuat terlihat pada dua foto art dari Rizal Khoirul Ihsan berjudul “Cepot Kaleungitan” dan “Andai Air Asia Kuselamatkan”. Sudut pandang yang ditawarkan adalah satir. Tentang cepot yang sedih melihat dalangnya meninggal dunia, hingga kepalanya berada di luar tubuhnya yang bersedih. Bagaimana pertentangan logika ini dihadirkan jika bukan karena maksud menyindir, meski entah unsur sindirannya ke arah mana, apakah ke arah sikap sedih pada dalang yang meninggal, bangga pada dalang, atau makna kepala yang terlepas tersebut mengalami makna tahap dua, yakni hilangnya eksistensi cepot setelah dalangnya meninggal dunia.

Zakarizas S. Soeteja sedang mengapresiasi “Cepot Kaleungitan” karya Rizal Khoirul Ihsan.
Satir sosial pun nampak pada karya kedua Zeihan yang bercerita tentang Superman yang tak mampu menyelamatkan Air Asia. Satir ini pun tercitra dari karya Zeihan Iqbal berjudul “Global Warming”. Resin yang bermotif daun, seolah ada relasi antara daun dan es. Daun yang mungkin merujuk pada penebangan pohon dan es yang merujuk pada es yang mencair.
Karya-karya lain pun menampilkan satir-satir, jarak-jarak, kontradiksi-kontradiksi materi dan peristiwa. Sebuah kaleng biskuit bekas yang dibalut resin berbentuk wajah (“Aku” karya Rizqi Fauzi). Gelas-gelas yang digantung dan tumpah tapi bukan air di dalamnya melainkan pernik-pernik (“Air?” karya Vicky). Seolah pernak-pernik tersebut adalah sebuah interupsi bagi khalayak tentang keberadaan air.
Atau, ruang peristiwa berupa pot-pot bonsai dengan komik-komik kecil nampak memperlihatkan aktifitas bermain bola dan permainan tradisional sondah (“Mengingat” karya Riska Ayu). Selain itu, terdapat juga beberapa lukisan yang berbicara tentang alam seperti “Api Unggun” karya Arian dan “Apa Arti Dunia Hari Ini” karya Dina.
Sebagai sebuah pameran yang menyoroti lingkungan, karya-karya dalam pameran ini patut diperhitungkan. Satir dan paradoks yang dihadirkan dalam kontradiksi materi dalam seni rupa betapa berkolerasi dengan persoalan alam, budaya, dan lingkungan kita yang juga semakin paradoks, satir, dan kontradiktif, membuat kita tersenyum di antara kengerian![]
Foto: Rizki Fauzi