
Sastra Tak Terbuat Dari Kata-Kata Belaka
Interviu Héctor Soto dan Matías Bravo bersama Roberto Bolaño
Héctor Soto dan Matías Bravo: Bagaimana hubunganmu dengan penulis-penulis Boom Amerika Latin?
Roberto Bolaño: Baik, sangat baik—sebagai seorang pembaca, tentunya. Sayangnya, Boom adalah gagasan yang kurang tepat. Sebab, itu tergantung paramater yang disampaikan setiap orang. Apakah Sàbato termasuk Boom atau tidak? Bagaimana dengan Onetti? Kebanyakan orang akan berkata mereka bukan bagian dari Boom. Rulfo, yang bagiku salah satu pilar Boom, juga tak pernah diperbincangkan.
HS/MB: Mungkin karena penulis-penulis simbolik Boom terlalu mendapat sorotan, menjadi suatu kejahatan bagi penulis-penulis yang lebih pendiam seperti Monterroso dan Onetti, yang kini makin terbukti karya-karyanya. Mereka tetap relevan seiring berjalannya waktu.
RB: Sayangnya, sulit bagiku untuk mempercayainya. Kesusastraan Vargas Llosa atau García Márquez benar-benar sangat dominan.
HS/MB: Seperti sebuah katedral.
RB: Lebih dari sebuah katedral. Aku tak berpikir bahwa waktu akan melupakan mereka. Karya Vargas Llosa, misalnya, sangat besar. Memiliki ribuan pintu masuk dan ribuan pintu keluar. Begitu juga dengan karya García Márquez. Keduanya merupakan publik figur. Mereka bukan hanya figur kesusastraan. Vargas Llosa adalah calon presiden. Sedangkan García Márquez adalah politikus kelas berat dan sangat berpengaruh di Amerika Latin. Ini agaknya mengganggu, tetapi mestinya tidak membuat kita melupakan posisi mereka di puncak hirarki. Mereka superior, superior dari penulis setelahnya, dan dari penulis generasiku. Walaupun buku-buku seperti No One Writes to the Colonel benar-benar sempurna.
HS/MB: Karena membaca Boom pada periode tertentu, bacaanmu pasti berangkat dari perspektif seorang penyair. Selama periode itu, kau hanya menulis puisi.
RB: Ya, tapi aku juga membaca banyak karya naratif, meskipun jelas bacaanku berangkat dari perspektif seorang penyair, yang sebenarnya memalukan dalam arti lain. Jika bacaanku berangkat dari perspektif seorang narator, aku mungkin belajar banyak hal. Aku memiliki celah dalam melihat struktur internal sebuah novel. Sepertinya aku akan mempelajari ini lebih cepat jika membaca dengan perspektif yang berbeda.
HS/MB: Aku mendapat kesan kau menyusun plot-plot kecil, yang kemudian dimasukkan dalam keseluruhan novel, meskipun tidak begitu jelas apakah kau melakukannya dengan ide yang sudah terbentuk sebelum karya itu ditulis atau tidak.
RB: Aku selalu memiliki sebuah ide. Setiap kali hendak menulis novel, aku sudah memiliki struktur novel yang rumit dalam pikiranku sendiri.
HS/MB: Sangat rumit, ya. Tapi itu tidak dapat membendung setiap frasa yang kau tulis, mengingat ritme dan perubahan bunyi yang kau tempatkan, dari tiap penguatan, meskipun tak selalu dalam plot novel yang sudah terbentuk.
RB: Yah, aku pikir itu sesuatu yang lain. Terkait dengan ‘hutang dasar’ yang dimiliki semua penulis prosa, yang terdiri dari sedikit pembersihan dari apa yang ia tulis, mencoba mendekati bahasa dengan mata dan telinga terbuka. Aku menghargai apa yang kau katakan, tetapi aku tidak memberi relevansi utuh dengan definisi bersih dari apa yang kulakukan. Aku sangat menuntut hal macam itu. Tanpa melangkah lebih jauh dari Savage Detectives, terdapat frasa dan banyak paragraf yang menurutku sangat buruk. Sejujurnya, mereka tampak mengerikan bagiku.
HS/MB: Buku-buku yang kau tulis adalah gambaran yang berbeda dari dunia nyata, dunia para penulis dan orang-orang marginal yang berada di antara obsesi dan sikap pecundang. Cerita dan novelmu juga berpusat seputar situasi dan tokoh yang sama.
RB: Juga seputar argumen yang sama.
HS/MB: Sangat tepat. Tokoh-tokoh dalam novelmu adalah serdadu yang hendak merevolusi seni dan mengubah dunia, yang sepertinya merupakan visi dari generasimu.
RB: Merevolusi seni dan mengubah kehidupan adalah tujuan dari visi Rimbaud. Dan penemuan kembali cinta untuk membuat karya seni terasa lebih hidup.
HS/MB: Tapi kau adalah bagian dari dunia yang kau gambarkan, dan kau melihatnya dengan penuh simpati.
RB: Entahlah, mungkin aku mencoba memaafkan diriku sendiri.
HS/MS: Kau bukan seorang pemaaf untuk visi atau rapsodi akan hal itu, tapi kau bukan penggali kubur, maupun seorang kritikus.
RB: Benar, aku salah satu yang—bisa dibilang ‘bertahan’. Aku merasakan simpati yang besar pada visi ini, terlepas dari sesuatu yang berlebihan, anomali, dan penyimpangannya. Visi ini sangat romantik, tapi secara esensial revolusioner, dan telah melihat dan belajar dari kegagalan banyak kelompok dan generasi seniman. Meskipun, sampai saat ini, konsepsi seni kita di Barat berhutang pada visi seperti ini.
HS/MB: Jika ada konsep yang diremehkan saat ini, aku pikir itu merupakan konsep tentang revolusi.
RB: Kebenarannya bagiku—dan aku ingin berterus terang—adalah konsep tentang revolusi sudah direndahkan sejak aku berumur dua puluh tahun. Di umur itu, aku adalah seorang Trotskyite dan apa yang kulihat di Uni Soviet hanyalah sebatas kontra revolusi. Aku tidak pernah merasa mendapat dukungan dari sebuah gerakan sejarah. Sebaliknya, terkadang aku merasa amat hancur. Dan semua itu tercermin dalam tokoh-tokoh di The Savage Detectives.
HS/MB: Pada titik tertentu, kerap kami membayangkan kau dijiwai semangat revolusi yang bergejolak.
RB: Ya, kau membayangkannya dengan tepat. Aku melawan semuanya. Melawan New York dan Moscow, melawan London dan Havana, melawan Paris dan Beijing. Terkadang, bahkan aku merasa takut pada kesunyian yang terpendam di tubuh radikalisme.
HS/MB: Jadi, apakah perasaan ‘bertahan’mu berasal dari semua itu?
RB: Tidak, aku merasa ‘bertahan’ dalam arti yang lebih literal. Aku mengatakannya karena banyak teman telah meninggal, karena perjuangan revolusioner berdarah, overdosis obat, atau AIDS. Meskipun beberapa dari mereka ‘bertahan’ sebagai selebritas kesusastraan Spanyol.
HS/MB: Baik. Selanjutnya, penulis selalu mencari inspirasi dan, tentu, begitu juga untuk penulis hari ini. Sebagian besar dari mereka mendapat inspirasi dari kehidupan, dan sebagian lain dari kesusastraan.
RB: Namun bagiku, keduanya menjadi hal yang sama penting.
HS/MB: Meskipun demikian, dengan kata lain, kau adalah seorang penulis yang memiliki perhatian lebih pada kesusastraan.
RB: Yah, jika aku harus memilih salah satu dari keduanya, dan Tuhan berdoa agar aku tidak seharusnya memilih, aku akan memilih kesusastraan. Jika aku ditawari perpustakaan yang megah atau tiket antar-kereta ke Vladivostok, aku akan memilih perpustakaan, tanpa keraguan sedikitpun. Selain itu, dengan perpustakaan, aku pikir perjalananku akan lebih panjang.
HS/MB: Seperti Borges, kau hidup melalui apa yang kau baca.
RB: Dalam beberapa cara, akhirnya kita semua terikat pada buku. Sebuah perpustakaan adalah metafora bagi manusia atau apa yang terbaik tentangnya, sama seperti kamp konsentrasi yang menjadi metafora untuk apa yang terburuk tentang mereka. Perpustakaan adalah bentuk lain dari sebuah kemurahan hati.
HS/MB: Namun, sastra tidak hanya menjadi tempat perlindungan bagi sentimen baik. Ia juga merupakan tempat perlindungan kebencian dan dendam.
RB: Untuk itu aku sepakat. Tapi ada sesuatu yang tak terbantahkan bahwa terdapat sentimen baik di dalamnya. Aku ingat Borges mengatakan bahwa seorang penulis yang baik biasanya orang yang baik pula. Penulis yang baik adalah orang jahat dalam pengecualian. Dan aku mengingat seseorang yang masuk dalam kategori itu.
HS/MB: Siapakah?
RB: Louis-Ferdinand Céline, ia seorang penulis besar sekaligus seorang bajingan. Ia tak lebih dari manusia hina. Sungguh luar biasa ketika ia acuh tak acuh dan kehinaannya ditutupi oleh selubung aristokrat, yang hanya disebabkan oleh kekuatan kata-kata yang ia tulis.
HS/MB: Ngomong-ngomong, di antara penulis Amerika Latin dan Spanyol, yang mana yang menjadi literary brother-mu?
RB: Pada dasarnya di antara penulis Amerika Latin—tetapi juga di antara penulis Spanyol. Aku tidak percaya pada pemilahan penulis Amerika Latin dan Spanyol. Kami mewarisi bahasa yang sama. Paling tidak, aku melampaui batas-batas itu. Dan di generasiku ada semacam peleburan inti para penulis Spanyol dan Amerika Latin, dengan cara yang sama mereka melebur dengan modernisme di era lain, dan menjadi gerakan paling revolusioner kesusastraan Spanyol abad ini. Karena kemampuannya, aku pikir penulis seperti Javier Marías dipaksa memengaruhi sastra Amerika Latin, dan ia berhasil melakukannya. Ia seorang penulis hebat. Dengan bentuk yang sama, penulis muda Spanyol semestinya dipengaruhi oleh seseorang seperti Rodrigo Rey Rosa atau Juan Villoro dan keduanya merupakan penulis besar. Sejujurnya, aku merasa sangat diberkati bisa berfoto bersama mereka: Rey Rosa, Villoro, Marías, Vila-Matas, Belén Gopegui, dan Victoria de Stefano.
HS/MB: Lalu, apakah terasa mengganggu untuk berpikir bahwa kita telah membaca dewa-dewa kesusastraan (James, Stendhal, Proust) dalam terjemahan, dalam second-hand version? Lantas, apakah itu merupakan kesusastraan? Jika kita berputar seputar masalah yang ada, mungkin saja kita menyimpulkan bahwa beberapa kata-kata tidak cukup memiliki padanannya sendiri.
RB: Aku pikir ‘ya’. Selanjutnya, aku percaya sastra tidak hanya terbuat dari kata-kata belaka. Borges mengatakan bahwa ada sebagian penulis yang sukar diterjemahkan. Ia menjadikan Quevedo sebagai contoh. Dan kita bisa menambahkan García Lorca atau lainnya. Meskipun begitu, karya semacam Don Quijote dapat menghalangi terjadinya penerjemahan terburuk sekalipun. Ia dapat menolak pengeruhan, halaman-halaman yang sengaja dihilangkan, bahkan terjangan badai. Jadi, dengan segala sesuatu yang menghalangi—terjemahan yang buruk, tidak lengkap, dan kacau—pada akhirnya Don Quijote masih memiliki banyak hal untuk diceritakan pada pembaca Cina atau Afrika.
Diterbitkan pertama kali di Capital, Santiago dengan judul “Literature Is Not Made From Words Alone”, Desember 1999. Diterjemahkan oleh Adam Sudewo dari buku Roberto Bolaño: The Last Interview & Other Conversation (Melville House Publishing, 2009).