Saijah
Saijah pulang dari Batavia. Di Batavia, ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih kandang kuda. Lalu naik menjadi kusir bendi milik seorang tuan Belanda. Saijah pulang dari Batavia setelah bekerja 36 bulan lamanya. Saijah ingin segera tiba di Kampung Badur. Saijah membayangkan, kekasihnya, Adinda duduk di bawah pohon ketapang di ujung kampung di tepi hutan seperti yang dijanjikan. Sebelum berpisah, waktu itu, mereka mengikat janji, “Adinda, buatlah garis pada lesungmu pada tiap bulan baru.”
Percayalah, Saijah telah bekerja dengan baik. Tiga puluh mata uang Spanyol, cukup untuk membeli tiga ekor kerbau disimpannya di tabung bambu yang ia ikat dengan tali kulit. Tabung bambu itu ia bawa di bahunya. Juga ada keris bergagang kayu kemuning yang diukir halus dengan sarung berbalut perak terselip di punggungnya. Dan, ikat pinggang rantai dari perak, pendingnya dari emas. Memang ikat pinggang itu agak pendek, tapi dia begitu ramping: Adinda. Saijah berjalan pulang menuju Badur penuh keyakinan.
Saijah berjalan melewati Pesing. Sepanjang jalan yang diingat, didengar, dibayangkan dan dirasakannya hanyalah Adinda. Pengalaman yang dibayangkan dan diingatnya hanyalah pengalaman dan bayangan bersama Adinda. Perasaan yang ada hanyalah perasaan untuk Adinda. Suara-suara lain di perjalanan pulang itu tak pernah didengarnya. Suara yang didengarnya adalah nada-nada yang lain, nada dari suara Adinda yang berucap: “Selamat datang, Saijah! Aku teringat kepadamu waktu memintal dan waktu menenun, dan waktu menumbuk padi dalam lesung yang bergaris tiga kali dua belas garis buatan tanganku. Ini aku di bawah ketapang, hari pertama bulan yang baru. Selamat datang, Saijah, aku mau jadi istrimu.”
Tapi, Adinda ternyata tidak ada di bawah ketapang. Tidak ada di tepi hutan jati di ujung kampung itu. Di jalan yang menghubungkan ketapang dengan Badur yang ada hanyalah sepi. Badur tidak lagi diisi Adinda. Ia telah pergi bersama ayah dan saudara-saudaranya. Kesewenan-wenangan Demang Parungkujang, Wirakusuma, telah merampas kerbau Ayah Adinda. Ayah Adinda tidak pergi ke Bogor sebab sudah ada contoh, Ayah Saijah yang ditangkap sebab tak membawa pas (surat jalan). Lalu dicambuk, dipenjara hingga meninggal.
Ayah Adinda tidak ke Bogor tapi ke Cilangkahan. Dekat laut. Mereka tinggal di hutan, menanti yang lain yang sama-sama dirampas kerbaunya. Mereka yang sama-sama tidak bisa bekerja sebab alat utamanya dirampok dan diharuskan membayar pajak tanah. Dari Cilangkahan mereka melaut bersama menuju Lampung.
Saijah tidak dapat bertemu Adinda, kekasihnya.
Saijah akhirnya tahu ke mana Adinda pergi. Adinda pergi ke Lampung. Ya, ke Lampung! Mereka lari dari Badur untuk menghindari pemerasan-pemerasan yang dilakukan Adipati Lebak, Karta Nata Nagara. Kerbau mereka telah dirampok. Termasuk kerbau ayah Adinda. Mereka semua takut mendapatkan hukuman karena tidak sanggup membayar pajak. Ibu Adinda telah meninggal karena sedihnya. Begitu juga adiknya yang kecil karena tidak ada air susu untuk diminumnya.
Dalam keadaan hampir gila karena bingung dan kecewa, Saijah mencari tempat pelarian kekasihnya di Lampung. Sesampainya di Lampung Saijah bergabung dengan gerombolan pemberontak. Saijah menemukan Adinda sekeluarga di sebuah kampung yang penduduknya baru saja dibinasakan oleh tentara Belanda. Saijah melihat ayah Adinda beserta ketiga saudaranya terbunuh. Dan di dekatnya, Adinda telah menjadi mayat, teraniaya dengan cara yang mengerikan. Karena penasaran dan putus asa Saijah menerkam beberapa serdadu dengan pisau di tangannya. Dan Saijah si anak tani berakhir nyawanya dalam pertarungan yang tidak seimbang. Saijah mati tertembus bayonet, menyusul Adinda.
Peristiwa hidup dan kisah cinta romantis yang tragis itu disampaikan Multatuli dengan gaya tutur yang bersahaja dan dengan gerak irama yang sayu. Di beberapa bagian dipergunakan bentuk nyanyian untuk menyatakan perasaan Saijah sewaktu mengenang dan mengharapkan Adinda. Multatuli dengan sadar menunjukkan betapa dalam perasaannya ingin mengajak ke dalam kesadaran bernasib serta gerak-gerik kejiwaan rakyat. Rakyat yang hidup sederhana di dusun-dusun di tanah yang dicintainya, Indonesia.
Tiada ku tahu di mana aku ‘kan mati
Telah kulihat segara luas di pantai selatan
Ketika bersama ayah membuat garam
Jika aku mati di tengah lautan dan badan terbuang di air dalam
Ikan hiu ‘kan datang mengerumuni mayatku, bersama bertanya:
“Siapa kita ‘kan menelan mayat tenggelam dalam air ini?”
Tiada akan kudengar
Tiada kutahu di mana aku ‘kan mati
Telah kulihat rumah Pak Ansu jadi nyala
Di bakar tangan sendiri, karena mata gelap
Jika aku mati dalam rumah nyala, ‘kan jatuh puntung bara atas mayatku
dan di luar rumah ‘kan ramai seru penolong,
giat menyiramkan air memadamkan api.
Tiada akan kudengar.
Tiada kutahu di mana aku ‘kan mati
Telah kulihat si Unah kecil jatuh dari pohon nyiur
Ketika memetik kelapa untuk ibunya.
Jika aku jatuh dari pohon nyiur, tergeletak di pangkal urat semak belukar seperti si Unah
Ibuku tiada akan meratapi karena ia sudah mati
Tapi orang lain ‘kan berseru lantang: “Lihat di sana Saijah terlentang!”
Tiada akan kudengar.
Tiada kutahu di mana aku ‘kan mati
Telah kulihat mayat Pak Lisu, mati karena usia lanjut,
Kepala penuh ditaburi uban.
Jika aku mati karena lanjut usia dengan putih rambut,
Perempuan meratap mengelilingi mayatku,
Sebagai menangisi mayat Pak Lisu,
Dan anak cucu turun temurun meratapi sedu lantang menangis
Tiada akan kudengar.
Tiada kutahu di mana aku ‘kan mati
Telah banyak kulihat orang mati di Badur
Di selimuti kapan putih
Dan diturunkan ke dalam bumi
Jika aku mati di Badur dan terkubur jauh di luar desa
Sebelah timur perut pegunungan tempat rumput tumbuh menjulang tinggi
Adinda akan lalu dan tepi kainnya berbisik
Perlahan menepis rumput
Pasti akan kudengar.
Ledeng, 26 Maret 2015
Sumber ilustrasi: Youtube
Sorry, the comment form is closed at this time.
lukman
hmm, bolehlah guru ubai