Fb. In. Tw.

Rumitnya Jalan Hidup Menjadi Penulis

Lee Israel (Mellisa McCarthy) dikenal sebagai penulis biografi tokoh-tokoh terkenal. Bukunya sempat menjadi best seller. Namun, setelah itu karyanya banyak menumpuk di bagian diskon toko buku. Agen atau penerbit tempat Israel bernaung bahkan tak mau memberikan uang muka untuk buku terbaru Israel, tentang komedian Fanny Brice yang dianggap tak menjual.

Israel hidup dalam senyatanya krisis. Ia dipecat dari pekerjaannya karena sikapnya yang buruk. Menunggak uang sewa apartemennya hingga berbulan-bulan. Dan, bahkan tak mampu membayar jasa dokter hewan yang menangani kucing kesayangannya, Jersey.

Baca juga:
Menjadi Pemberani Ala Collete
Prenjak: Uang dan Alat Kelamin

Dalam usahanya bertahan hidup, ia tak sengaja menjadi kriminal. Diawali ketika ia menjual surat pribadinya, berupa tulisan tangan asli Audrey Hepburn yang ternyata bernilai bagi para kolektor. Ia kemudian menemukan surat lain dari Fanny Brice ketika mencari bahan untuk biografinya.

Datanglah ide gila untuk menulis surat tokoh-tokoh terkenal sesuai dengan dengan karakter tokoh tersebut. Dengan sentuhan magic-nya sebagai penulis, ia menghasilkan ratusan surat palsu dari tokoh terkenal dan menjualnya kepada para kolektor. Dibantu oleh teman lamanya, Jack Hock (Richard E. Grant), Israel membangun kembali hidupnya.

Begitulah sekelumit cerita yang diangkat film Can You Ever Forgive Me (2018). Cerita yang diambil berdasarkan kisah nyata penulis Lee Israel sendiri. Dibintangi Mellisa McCarthy dan Richard E. Grant serta disutradarai oleh Marielle Heller (The Diary of a Teenage Girl).

Mellisa McCarthy sebagai Lee Israel berperan dengan sangat baik. Nominasi Best Actrees Oscar 2019 layak ia dapatkan. Lebih sering bermain dalam film-film komedi, kali ini McCarthy menampilkan sosoknya yang lain; Lee Israel yang sinis, antisosial, blak-blakan, dan hampir putus asa.

Emosi dan penghayatannya sangat kuat. Gestur dan ekspresinya membuat penonton mudah memahami isi hati seorang penulis yang hampir dilupakan. Ia benar-benar menampilkan seorang penulis yang menyebalkan, tapi membuat simpati sekaligus.

Chemistry-nya dengan Richard E. Grant juga keren. Sama-sama “dibuang”, mereka menjadi teman ngobrol dan minum yang saling mengisi dan kemudian saling membutuhkan. Terutama bagi Israel yang lebih sering menutup diri dari orang lain.

Grant yang bermain sebagai Jack Hock juga tampil apik di samping McCarthy. Jack Hock digambarkan sebagai pecandu narkoba, homeless, dan nyentrik sebagai salah satu upayanya menggoda pria-pria muda.

Film Can You Ever Forgive Me bisa mengubah pandangan kita terhadap profesi penulis. Banyak orang menganggap profesi penulis adalah profesi yang keren. Orang-orang intelek. Orang-orang yang mampu menghidupkan imaji mereka dan menjadikannya cerita yang berkesan bagi para pembaca. Orang-orang yang mampu berkomitmen untuk menyelesaikan tulisannya hingga tamat.

Namun, rupanya tak mudah menjadi penulis profesional. Tak mudah menghasilkan karya yang sampai ke hati banyak orang. Meski semuanya tentang selera pasar yang tak bisa diabaikan. Penulis best seller mungkin bisa hidup nyaman dari royalti buku-bukunya yang terus dicetak ulang. Namun jika tidak, persoalan menghidupkan dapur sendiri adalah perjuangan.

Di Indonesia urusan royalti dan pajak penulis ini sempat menjadi sorotan. Berita dimulai ketika salah satu penulis best seller Indonesia memutus kontraknya dengan dua penerbit besar. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes atas besarnya pajak bagi penulis. Beberapa penulis kemudian angkat bicara.

Di Indonesia, setiap royalti penulis dikenai pajak sebesar 15 %. Rata-rata penulis mendapat royalti 5-10% dari setiap buku. Bagi pemerintah Indonesia, para penulis dikenai pajak pasif alias dianggap tak mengeluarkan modal ketika menulis buku. Semua tanggung jawab pencetakan buku ditanggung oleh penerbitan.

Oleh karena itu, royalti yang diberikan tergolong kecil. Tak sebanding dengan pajak yang harus dikeluarkan. Padahal jika dihitung, perjalanan sebuah buku sudah dimulai ketika riset dilakukan. Riset yang mungkin dilakukan dalam waktu yang lama.

Baca juga:
Leicester City dan Harapan Sepakbola Indonesia
THR Itu!

Di lain pihak, penerbit pun tak mau rugi banyak. Dalam drama Korea Romance is Bonus a Book (2019) diperlihatkan bahwa buku-buku yang tak laku atau rusak akan dikembalikan lagi kepada penerbit untuk kemudian dihancurkan. Pemandangan yang membuat miris dan sedih.

Namun, bisnis adalah bisnis. Penerbit tak mau rugi. Pembaca hanya memilih bacaan yang mereka suka. Dan, penulis ada di antara keduanya.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Dee Lestari, menulis itu pada akhirnya tentang kepuasan batin, tak bisa hanya dinilai dengan angka-angka semata. Penulis akan tetap menulis. Menjadikan diri abadi dalam karya dan membuat karya yang bisa menginspirasi dan memberikan arti kepada orang banyak tentu harga yang tiada duanya.[]

KOMENTAR

Lahir di Subang, 9 Januari 1989. Pecinta film dan jalan-jalan. Bercita-cita mengunjungi Turki suatu hari nanti. Tinggal di Jakarta.

You don't have permission to register