Rukiah: Perempuan yang Menulis Sejarah
Riwayat tulisan lebih panjang daripada riwayat penulisnya
-Hawe Setiawan
Jatinangor mengingatkan saya pada lagu milik The Panas Dalam berjudul “Sudah Jangan ke Jatinangor”. Lagu itu berpesan jangan ke Jatinangor, karena ia sudah ada yang punya. Lagu ini juga berpesan perempuan tak cuma dia, ada tiga miliar 21.
Namun siang itu, Senin (23/4/2018), saya berangkat ke Jatinangor. Tentu saja karena seorang perempuan. Dia juga sudah ada yang punya. Tapi saya berangkat bukan untuk perempuan biasa. Saya berangkat untuk perempuan yang dimiliki oleh sejarah Indonesia dan sejarah sastra Indonesia, S. Rukiah Kertapati.
Rukiah adalah penulis perempuan Indonesia yang aktif menulis pada tahun 1946-1964. Tercatat dalam sejarah bahwa Rukiah bergabung dengan LEKRA. Hal itu membuat karyanya termasuk ke dalam daftar karya yang dilarang beredar di Indonesia. Karya-karya tersebut tidak bisa diakses selama Orde Baru berkuasa. Hingga tahun lalu, Penerbit Ultimus menerbitkan ulang beberapa karya S. Rukiah.
Kini publik sastra Indonesia bisa mengakses kembali karya Rukiah yang telah lama hilang dari peredaran. Puncaknya, ketika Komunitas Lorong Universitas Padjajaran (UNPAD) mengadakan diskusi buku-buku S. Rukiah di Aula Pusat Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, Jatinangor.
Diskusi buku ini menghadirkan Baban Banita dan Hawe Setiawan sebagai pembicara dan dipandu oleh Arini Salma Hanifah. Baban, dosen Sastra Indonesia UNPAD, yang pertama kali memaparkan hasil pembacaannya terhadap karya S. Rukiah. Karya yang dibahas oleh Baban adalah cerita pendek dan cerita anak.
Baban mengatakan bahwa dalam karyanya, Rukiah menghadirkan penderitaan orang kecil. “Dalam latar peperangan, hadir tokoh anak yang tidak bisa sekolah karena orang tuanya dibunuh Belanda,” kata Baban. Lalu Baban juga menjelaskan bahwa intelektualitas tokoh perempuan dalam cerita ini turut membantu negara. Dari sana terlihat keberpihakan Rukiah kepada rakyat kecil dan kepada perempuan.
Sementara itu, Hawe membahas novel Kejatuhan dan Hati. Hawe mengatakan bahwa buku ini turut melukiskan sejarah dari sudut pandang pelaku sejarah dan buku ini pun merupakan bagian dari gelombang perubahan sejarah.
“Kata kuncinya adalah revolusi. Saya melihat ada proses yang melibatkan radical movement untuk reconstruct society,” ujar Hawe.
Dalam Kejatuhan dan Hati, Rukiah memang menyuarakan keinginan untuk menjauh dari tatanan lama dan mendekat kepada cita-cita baru. Terlihat dari halaman 17 buku tersebut yang dikutip dalam esainya pada diskusi ini. Tokoh Ibu yang kuat akan tatanan lama dan kemestian adat, dan cita-cita masa depan yang ditunjukkan dengan ingin lepasnya tokoh aku dari kemestian adat.
Rukiah secara tidak langsung merekam peristiwa revolusi yang diinginkan tokoh aku dalam kutipan tersebut. Barangkali itu pula yang menyebabkan karya Rukiah dilarang beredar di Indonesia.
Sebagai penulis perempuan Indonesia, Rukiah termasuk penulis yang berani. Rukiah menunjukkan dirinya sebagai penulis LEKRA dengan mengangkat penderitaan orang kecil dalam karyanya. Keberaniannya itu membawa dirinya ke pengasingan, ke rumah tahanan sebagaimana kata Windu, anak S. Rukiah, yang hadir pada acara diskusi tersebut.
Dalam kesempatannya berbicara, ia mengatakan bahwa S. Rukiah sempat dimasukkan ke dalam rumah tahanan di Purwakarta. “Rumah tahanan, bukan penjara. Jadi ada kamarnya, bersih kamarnya,” kata Windu.
Selepas itu, Windu juga bercerita bahwa sekembalinya S. Rukiah ke rumah, ia seperti kehilangan gairah untuk menulis. “Ya setelah pulang ke rumah, ibu itu bilang kalau setiap malam di rumah tahanan itu seperti mendengar suara orang disiksa.” Windu pun berkata bahwa setelah pulang, ibunya tidak menulis lagi sampai akhir hayatnya. “Barangkali ibu trauma untuk menulis,” ujarnya.
Acara ditutup oleh kisah Windu tentang ibunya, S. Rukiah. Setelahnya, semua peserta diskusi berfoto bersama dan melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Saya melangkah ke luar gedung. Saya ingin bercerita tentang S. Rukiah, penulis perempuan yang panjang umur karyanya.[]