Fb. In. Tw.

RIP Havelaar!

Hari ini, 128 tahun yang lalu ia meninggal. Meninggal dengan meninggalkan catatan utang. Ia meninggal karena asma menggerogoti kesehatannya. Di rumah yang didapat dari para pengagumnya ia meninggal. Ia meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman. 19 Februari 1887.

Meski ia telah lama meninggal, namun membaca karyanya: Max Havelaar masih selalu relevan dan harus terus diupayakan. Terus dihidupkan. Drs. G. Termorshuizen pernah menulis, “Pertemuan dengan dengan Havelaar tetap aktual: manusia Havelaar yang tidak terikat secara historis, individu yang berjuang melawan kepentingan diri kolektivitas. Terutama motif-motif manusiawi, itulah titik tolak Multatuli, yang menjadikan Max Havelaar mengandung tenaga yang begitu hebat.”

Kearifan ucapan Multatuli tetap bertahan. Membimbing kita agar selalu waspada pada praktik kekerasan dan penjajahan model baru, bentuk feodal pemerintahan, serta tokoh-tokohnya yang rakus dan korup. Korupsi, bahkan nyata hingga hari ini. Korupsi, kanker mematikan di tanah yang dibela dan sangat dicintainya: Indonesia.

Kearifan seperti: “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi, kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam”. Tetap berlaku hingga hari ini.

128 Tahun yang lalu ia meninggal. Sebenarnya belum begitu tua, dan cukup sehat, kecuali bahwa ia punya asma, dan levernya sudah sakit sejak di negeri Hindia, hingga warna mukanya kekuning-kuningan. Keadaannya adalah seperti seekor burung kenari.

Multatuli meninggal di sebuah rumah yang dibeli oleh pengagum-pengagumnya. Ia meninggal dalam posisi duduk di kursi. Dua bulan sebelumnya, tepat 11 Desember 1886, ia berucap, “Asmaku sangat mengganggu. Tidak selalu sama terus, tapi, kadang-kadang aku seperti mau berhenti bernafas.”

Tidak lama sesudah Multatuli meninggal, diketahui ia meninggalkan utang. Ada utang 120 Mark pada petani kol, 100 Mark pada beberapa toko buku, 140 Mark pada tukang daging, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dalam suratnya yang terakhir (17 Agustus 1886) kepada sahabat lamanya Marie Anderson ia menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan. Bahwa kami hidup dalam rumah yang relatif bagus, lebih merepotkan daripada sepenuhnya. Disebabkan karena berbagai hal yang kebetulan aku sebetulnya tidak bisa tinggal di sini, namun aku tidak bisa pergi. Bagaimana nasib M. kalau aku mati, hal yang segera akan terjadi, aku kira, aku tidak tahu! Singkatnya, kami sering sangat tertekan. Ini membuat getir tahun-tahunku atau … bulan-bulanku yang terakhir.”

Multatuli, seorang pendahulu, adalah juga orang Belanda pertama yang dikremasi, di Gotha. Hanya beberapa orang Belanda yang hadir, di antaranya: Mimi dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius Oeberius dan istri, dan dua orang muda yang tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.

Abunya mula-mula disimpan oleh Mimi, kemudian bertahun-tahun disimpan di perpustakaan Universitas di Amsterdam. Tahun 1948 didirikan sebuah monumen di pemakaman Westerveld, kotak kaleng berisi abu Mimi dan Multatuli, dikuburkan dengan khidmat di sana. Monumen tersebut direncanakan oleh A.H. Wegerif. Diresmikan 6 Maret 1948. Di monumen tersebut tertulis ucapan Multatuli yang indah bunyinya: “Panggilan nurani manusia ialah untuk menjadi manusia.”

Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, si pemikir revolusioner, penyair, satirikus, kritikus, moralis, dan pembaharu adalah penulis terbesar. “Satu-satunya pengarang Belanda yang lebih dari seratus tahun tetap menarik perhatian,” tulis Willem Frederik Hermans dalam bukunya Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988).

Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masa itu, dalam kata pengantar Max Havelaar edisi pertama, 1972 (terj. H.B. Jassin) mencatat bahwa bagi bangsa Indonesia, Multatuli mempunyai arti yang khusus. Karena bukunya merupakan bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Tetapi nilai yang tiada taranya, terletak pada segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan watak yang ditampilkannya.

“Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempunyai kedudukan yang penting dalam sejarah bangsa kita, khususnya masa penjajahan Belanda. Seperti kita maklumi, dengan roman itu Multatuli telah berhasil membukakan mata kaum politik di negeri Belanda terhadap kebobrokan yang terdapat di daerah jajahannya. Akibatnya, sejak terbit karya itu pada tahun 1860 dimulai usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia lewat kebijakan ekonomi serta kesempatan pendidikan. Gagasan-gagasan dalam roman itu akhirnya juga bermuara kepada kebijaksanaan Politik Etika yang termasyhur itu yang memperhatikan kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia.” Subagio Sastrowardoyo mencatat hal tersebut dalam kata pengantar buku Willem Frederik Hermans.

Subagio juga mengingatkan bahwa, Multatuli memang penting bagi Indonesia, dan bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat hidupnya…. Tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang amat panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan berpengaruh itu, di dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan itu, Multatuli dengan Max Havelaar-nya makin lama makin Nampak sebagai tokoh yang makin susut sosok kepribadiannya di ufuk sejarah, yang berteriak sia-sia di tengah padang pasir yang tak memantulkan kembali kumandang suaranya.

Semangat Multatuli dalam Max Havelaar berisi semangat antikorupsi, melawan pembodohan dan pemiskinan, melawan kesewenang-wenangan dan eksploitasi harus terus digelorakan. Roman dengan banyak hikmah yang harus terus kita renungkan. Roman dengan nilai-nilai yang menyentuh lubuk hati umat manusia. Semangat itu jangan sampai pupus. Membaca dan mendalami kembali novel Max Havelaar adalah satu upaya.

19 Februari 1887, 128 tahun yang lalu Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman. Hari ini kami masih terus meneladani kearifan ucapan, pikiran dan perbuatannya. Menghidupkan semangatnya. Membaca dan mendalami karya-karyanya.

RIP Havelaar![] Mayestik, 19 Februari 2015

KOMENTAR

Kontributor tetap buruan.co. Guru SMPN Satap 3 Sobang dan Pemandu Reading Group "Max Havelaar" di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.

You don't have permission to register