Fb. In. Tw.

Rindu dan Cerita yang Terbuka

Rindu adalah perasaan alami yang dimiliki setiap orang. Rindu yang dirasakan pelukis disalurkan melalui warna pada lukisan, rindu seorang musisi diejawantahkan dalam lagu dan musik yang dibawakan, rindu seorang penulis dimanifestasikan dalam sebuah tulisan. Puisi sering dipakai sebagai cara untuk menumpahkan rindu seorang penyair. Puisi yang ditulis dengan tema kerinduan tak terhitung lagi jumlahnya. Pada puisi, rindu bersalin rupa dan menyampaikan pendalamannya sendiri-sendiri. Pertanyaannya kemudian, apa yang membedakan rindu seorang penyair satu dengan penyair lainnya?

Pada Pertemuan Kecil HU Pikiran Rakyat edisi Minggu, 4 Februari 2018, saya menemukan puisi dengan tema rindu dari dua penulis yang berbeda. Sajak pertama berjudul “Pelabuhan Rindu” yang ditulis oleh Rani Aulia Nurcahyana. Rani seorang pelajar SMA di Bandung. Sajak ini terdiri dari empat bait. Dua bait pertama terdiri dari empat larik. Dua bait terakhir masing-masing dua larik.

Pelabuhan Rindu

Kuhitung malam milik langit
Sudah empat musim kau tak ku kenali
Sederas itukah ombak membawamu pergi?
Hanyut meninggalkan aku di pelabuhan 

Kucintai riak tanpa tapi
Sampai pasang jadi surut
Kau racun bagi malamku
Rasaku, sampaikah pada dermagamu yang jauh? 

Aku mati
Merindu seorang diri 

Aku hilang
Di sepertiga malam yang panjang 

Dua bait pertama adalah pembuka cerita. Ada pertanyaan retoris di sana. Pada bait pertama, aku lirik bertanya mengapa ia ditinggalkan. Pada bait kedua, aku lirik membuat sebuah pengakuan. Perasaan ditinggalkan si aku lirik, kemudian ‘berakibat’ pada dua bait terakhir. Aku (lirik) mati dan aku (lirik) hilang.

Sajak ini memotret rindu dalam bentuk yang sederhana. Tidak ada aforisme yang bombastis, tidak ada pemainan metafora yang mengundang decak kagum. Namun, di balik hal itu, tepercik berbagai tafsiran makna yang terbuka. Rindu yang ditampilkan sajak ini tidak hanya bisa dimaknai sebagai rindu sepasang kekasih, lebih dari itu, rindu yang dimaksud juga bisa dimaknai sebagai rindu manusia terhadap tuhannya. Interpretasi menjadi luas dan terbuka.

Andai saja tidak ada diksi rindu pada judul dan merindu pada bait ketiga, puisi ini akan memiliki kedalaman makna yang lebih baik tanpa ada embel-embel rindu yang terlalu verbal. Perasaan aku lirik akan lebih terasa tanpa harus dikatakan. Bukankah puisi lebih dimaksudkan sebagai yang tersirat bukan tersurat?

Sementara itu, tema rindu juga dipuisikan lewat sajak berjudul “Lagu Rindu dari Laut” oleh Deri Hudaya.

Lagu Rindu dari Laut

Bila hanya lagu
Yang paling mengerti bahasa rindu
Ingin kuucapkan rinduku pada daun
Sebagaimana angin biasa menghasut
Telingamu yang seakan tidak berdaun
Karena daun selalu cepat gugur 

Bila kau pergi dari laut
Tidak hanya maut yang menjemput
Di antara tali-temali putus, lampu-lampu
Yang diburamkan kabut, kabut paling hasut
Atau jarak darimu ke urat leherku 

Kunyanyikan sebuah lagu
Kerinduan laut pada gunung
Pada daun-daun di telingamu
Mesti tak banyak ikan-ikan di gunung
Asal-usul tanah para leluhur 

Bila dibandingkan dengan sajak “Pelabuhan Rindu”, tema rindu yang dihadirkan Deri dalam sajak di atas lebih terasa asing. Rindu dengan komposisi yang berantakan. Jika pada sajak “Pelabuhan Rindu” aku lirik secara gamblang mengutarakan perasaannya, maka pada sajak ini, rindu dimetaforakan. Namun sayangnya, sajak ini gagal menciptakan maksud yang diinginkan.

Pada bait pertama misalnya. Telingamu yang seakan tidak berdaun/Karena daun selalu cepat gugur. Pertanyaannya, apakah Anda memahami maksud larik ini? Sebab larik ini justru menerangkan sesuatu yang konotatif dengan sesuatu yang denotatif, bukan malah sebaliknya. Begitu juga pada bait terakhir, Kunyanyikan sebuah lagu/kerinduan laut pada gunung/pada daun-daun di telingamu/meski tak banyak ikan-ikan di gunung/asal-usul tanah para leluhur. Apa korelasinya antara tak banyak ikan di gunung dengan lagu yang dinyanyikan? Apa coba? Apa? Apa, Milea?

Mengatakan rindu lewat sebuah puisi akan lebih menarik jika kita tahu bagaimana cara mewakilkannya. Tentu bahasa sebagai yang utama, bukan saja soal pilihan kata1 yang diseleksi secara ketat, tapi juga cara menceritakannya. Menceritakan bagaimana perasaan personal itu disampaikan, entah lewat tuturan naratif atau lewat deskripsi-deskripsi yang disimbolkan oleh peristiwa.

***

Puisi yang dilahirkan dari rahim ide, hendaknya menyampaikan ide tersebut dalam bentuk yang kaya akan interpretasi, meski ide yang ingin kita potret itu sebuah kisah dari realitas keseharian. Sajak Rani yang berjudul “Pak Tua” mencoba menampilkan realitas keseharian itu.

Siang itu kudapati pak tua berjalan tersenggal dengan tongkat khasnya yang berwarna/coklat muda./Kemudian ia duduk di pinggiran taman yang bunganya berwarna kekuningan, mungkin/untuk meredakan nyeri di pinggangnya./Tumben sekali hari itu ia pakai koko panjang dan kopiah putih seperti milik pak haji./Kusapa Pak Tua sembari kutawari apakah ia mau ditemani./Dengan senyuman ramah ia menolak, katanya ia ingin segera pulang seorang diri./

Dari penggalan sajak di atas, kita bisa melihat bahwa Rani hendak menyampaikan sebuah kisah, kisah tentang Pak Tua. Rani menampilkannya dalam bentuk naratif, secara kronologis pula. Sayangnya, Rani terjebak oleh deskripsi kisah yang menjadi latar puisinya. Rani mengabaikan hal paling mendasar dari sebuah puisi. Pemadatan. Kutipan di atas justru hadir dalam bentuk yang lebih menyerupai dongeng mamah muda ketika menidurkan anak balitanya, daripada penggalan sebuah sajak. Bertele-tele dan akeh ngomonge2.

Selain itu, pada kutipan di atas, Rani terlihat tidak konsisten. Dalam penulisan frasa pak tua pada larik pertama, pak tua ditulis menggunakan huruf kecil, sedangkan pada larik keenam, Pak Tua ditulis menggunakan huruf kapital. Hal yang terkesan sepele, namun penting untuk melihat sejauh mana kecermatan seorang penyair dalam berbahasa, untuk kemudian memiliki licentia poetica sendiri.

Hal ini berbeda dengan sajak berjudul “Di Bangku Taman” karya Deri Hudaya. Meski sama-sama ingin mengisahkan suatu peristiwa, namun Deri tidak terjebak pada situasi cair penceritaan. Deri berhasil memerikan suasana dengan pilihan kata yang selektif. Kesan liris yang ditampilkan sajak ini bisa dilihat pada dua bait pembuka berikut ini.

Beginilah jadinya. Sepasang kepodang muda,
jantan dan betina, berceloteh pada dahan-dahan
Dua helai daun tua, tidak berkelamin tidak bernama
luruh dan telangkup di sekitar bangku taman 

Bangku bambu berlumut itu tidak berkawan
Tak berpasangan, namun seperti (masih) ada yang ditunggunya
Di sana, sunyi adalah nyanyian paling memabukkan
Yang merambat dari lubuk tanah, dari asal-usul penciptaan

Pada sajak ini Deri hendak memotret suasana di sebuah taman. Pada bait pertama, Deri mendeskripsikan suasana dengan meminjam tingkah laku burung Kepodang, tanpa harus menghamburkan kata-kata sifat secara vulgar. Sunyi yang ingin ditampilkan, diwakilkan oleh daun yang luruh dan telangkup di sekitar bangku taman. Deri mendeskripsikan suasana melalui peristiwa yang lebih spesifik dan intim.

Sementara pada bait kedua, Deri tidak lagi menampilkan suasana melalui penggambaran yang melulu deskriptif. Imaji tentang penantian dihadirkan dengan pengandaian bahwa bangku bambu berlumut itu tidak berkawan dan seperti (masih) ada yang ditunggunya. Ia juga mencoba memasukkan aforisme sederhana seperti sunyi adalah nyanyian paling memabukkan. Upaya tersebut menjadikan sajak “Di Bangku Taman” keluar dari latar kisah yang monoton dan klise.

Dua sajak dari masing-masing penulis pada rubrik Pertemuan Kecil kali ini memiliki kekurangan dan kelebihannya. Rani mampu menyampaikan perasaan personalnya secara sederhana, namun gagal menceritakan realitas keseharian lewat bahasa puisi. Sementara, Deri berhasil memuisikan sebuah peristiwa, namun justru gagal menyampaikan perasaannya sendiri.[]

  1. Lihat bukakoran tanggal 3 Februari 2018. Pilihan Kata Adalah Kunci. http://www.buruan.co/pilihan-kata-adalah-kunci/
  2. Dalam bahasa Indonesia, artinya terlalu banyak ngomong.
KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register