Respect: Cermin sebagai Refleksi
Sebuah cerita bisa didapatkan di mana saja, dan tugas seorang fotografer adalah mengabadikannya. Namun bukan hanya itu yang terjadi dalam kerja fotografi anak-anak baru UKM PERFORMA UPI dalam pameran bertajuk Respect: Cermin.
Dalam pameran itu mereka menghadirkan sebuah lanskap sosial yang hadir secara alami dan ada pula yang direka dalam frame pikiran fotografer. Dua sudut pandang itu dihadirkan dalam keadaan objek yang sadar dan tidak sadar. Objek sadar adalah objek foto yang menyadari kehadiran kamera sementara objek tidak sadar adalah momentum khusus yang direkam fotografer sebagai cara menyampaikan maknanya. Mana yang lebih menarik?
Tentu jawaban itu akan sangat subjektif. Tapi coba tengok foto Zaenoon berjudul Bercermin pada Alam yang merupakan foto rekaan dengan objek sadar. Objek foto berupa seseorang yang membawa cermin yang merekam hutan, latar belakang objek pun adalah hutan. Fungsi cermin sebagai perekam bayangan di depannya batal oleh isi cermin yang tidak menampakkan kamera (seharusnya kamera terlihat dalam cermin itu), membuat foto itu menunjukan pesannya pada isi cermin dan tubuh seseorang yang membawa cermin.
Namun isi cermin yang merupakan hutan dan latar belakang objek yang juga hutan, membuat isi cermin tidak menjadi penting. Dan cermin hanya menyisakan framenya saja yang asing. Bercermin pada Alam sebagai judul hanya memberi kesan, identitas manusia harus berkaca pada alam. Akan berbeda kesan dan tafsir jika misalnya latar belakang foto adalah kota yang gersang.
Sementara pada foto alami dengan objek tak sadar nampak pada foto Tanpa Gawai karya Astri Raudya. Foto tersebut merekam objek anak kecil yang dengan teliti memperbaiki mainannya yang rusak di tengah jalan. Sepasang langkah kaki berjalan di belakangnya. Foto ini sederhana, namun dalam momentum khusus yang dengan cerdik ditangkap Astri, foto ini menghadirkan dua objek yang bertabrakan dan menghasilkan makna yang baik.
Seorang anak sebagai perwakilan dari gagasan kebaruan dan kesederhanaan dapat dengan begitu teliti mengerjakan sesuatu. Sementara seorang dewasa yang diibaratkan paling berpengalaman malah berjalan tergesa di belakangnya. Dalam dua objek yang kontras ini, Astri berpihak pada si anak yang ia foto dengan fokus yang baik, sementara kaki orang dewasa itu dibuat blur. Pada foto, kaki yang blur itu menjadi penting sebab ia memperkuat latar di mana si anak berada. Hal ini tentu saja memperkuat makna ketelitian yang diangkat Raudya.
Seberapa penting sebuah kontras di dalam sebuah foto? Saya lebih senang menyebutnya point of view atau sudut pandang. Betapa penting hal itu dalam sebuah foto. Realitas tentu saja menyimpan banyak tanda yang perlu dipilah dan dipilih oleh seorang fotografer, agar ia dapat menghadirkan maknanya melalui tanda-tanda di dalam fotonya.
Dilihat dari kesadaran objek foto dan framing reka dan alami, foto-foto di dalam pameran ini cukup beragam. Ada pula yang mengejar detail dekoratif seperti pada foto Efriwan berjudul Melupakan Lelah, dimana seorang tua entah pedagang atau pemulung sedang merokok di pinggir jalan. Asap yang mengepul menjadi ciri dekoratif foto tersebut.
Foto lain yang banyak ditemui adalah yang merekam profesi-profesi tertentu. Dengan diberi judul yang menandakan sebuah sudut pandang pada objek. Seperti pada foto Aurellia Della berjudul Aku Masih Bisa Berjalan. Dari segi framing ruang dan objek foto ini berhasil. Yakni memotret seorang lelaki cacat yang berjalan ngesot dengan menggunakan sandal di tangannya, sementara di sampingnya seorang lelaki berdiri dengan sandal pada kaki. Dua kontras penggunaan sandal ini benar-benar sangat didukung oleh pemilihan judul foto.
Pameran ini berlangsung dari tanggal 19-20 November 2015 di Gedung Gegeut Winda UPI Bandung. Sebagai sebuah ajang pameran bagi anak baru, gagasan-gagasan foto tentang makna respect dan cermin telah berhasil terekam dan tercitrakan di dalam foto-foto peserta. Mereka telah mampu merekam realitas-realitas tak terduga yang juga banyak kita temui namun tak pernah kita sadari.
Tema kepedulian yang dikontraskan dengan cermin sebagai sebuah refleksi, membawa kita pada satu suasana kritis yang estetik. Tidak menutup kemungkinan, jika mereka intens dalam berkarya, mereka akan berada di jalan fotografi yang lebih kritis dan estetik. Tabik untuk PERFORMA UPI![]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Moeslim
Jika fotografer memotret manusia, seseorang yg difoto itu bukan objek tapi subjek. Paradigma ini sudah dimulai.