Relativitas yang Absolute
Sejak publikasinya saya temukan di media sosial, pameran ini cukup menyita perhatian. Pameran berjudul Absolute di Rumah Seni Ropih (15/12/2018) menghadirkan lima perupa Bandung. Masing-masing dikenal memiliki sikap kuat dalam berkarya. Lima perupa itu yakni Ahmad Faisal Imron, Armand Jamparing, Isa Perkasa, Nandanggawe, dan Rudi St. Darma. Kiprah mereka di dunia seni rupa Bandung punya posisi unik. Cara pandang mereka selalu segar menyikapi berbagai isu sosial bahkan isu seni rupa itu sendiri.
Sikap kesenimanan ini terlihat sejak awal pameran dimulai. Setiap seniman secara bergilir bicara tentang karya dan cara pandang mereka terhadap seni rupa hari ini. Anton Susanto, fasilitator pameran, terlebih dahulu memberi pengantar bahwa pameran seniman sezaman ini telah lama digagas. Hanya baru-baru ini dapat terwujud. Pada pertemuannya, lima seniman mengalami persinggungan dan proses diskusi wacana yang menarik. Ruang ini merupakan upaya aktualisasi seluruh seniman terhadap zaman yang terus bergerak.
Isa Perkasa yang pertama bicara. Ia menyampaikan bahwa serial karyanya bertajuk Jagat Series. Seri karya tersebut merupakan cara pandangnya terhadap dunia di tengah zaman yang terus bergerak. Sementara Armand Jamparing berpendapat, meski zaman terus bergerak, tidak ada karya oldschool. Kenyataan selalu baru dan mampu memberi cara pandang lain pada setiap karya. “Jangan lupa kawan, kenyataan itu berkembang!” ujar Armand malam itu. Pemikiran yang selalu ia sampaikan dalam berbagai kesempatan.
Rudi St. Darma juga memaparkan kegelisahan pada perkembangan zaman. Dalam siklus itu ia justru memilih untuk tekun bernostalgia dengan tradisi lamanya dalam mencipta karya drawing. Ia menawar cara pandang umum. Ia memandang bahwa teguh pada suatu tradisi berkarya bisa jadi sikap dari proses berkembangnya suatu karya.
Ahmad Faisal Imron secara spesifik menyikapi isu agama. Ia memaparkan bahwa agama Islam yang telah terpecah menjadi 73 golongan itu kini telah berkembang menjadi 73000 golongan. Islam baru kini banyak bermunculan seperti Islam Speaker, Islam Buaya, dan lain sebagainya. Karya dalam pameran merupakan pertanyaan, di antara ia dan misalnya seorang Habib bernama Bahar siapa yang sebenarnya gila. Suatu satir untuk menawar cara pandang yang kini masif mendominasi kebenaran dalam Islam.
Nandanggawe menyatakan pameran bersama ini baru awal dari sebuah proses. Ia juga memandang para seniman terlibat masih muncul dalam format mengamankan konsep karya masing-masing. Belum sampai pada fase persinggungan atau pembongkaran demi suatu kebaruan.
Pameran juga dibuka secara kritis oleh Tisna Sanjaya. Ia menyampaikan bahwa kelima perupa ini menempatkan seni sebagai dunia keseharian. Bahwa karya mereka adalah manifestasi kehidupan sehari-hari mereka sendiri. Kelimanya dikenal kritis menawar tradisi yang ada dalam wacana keseharian mereka. Dari perenungan itu, kita kemudian menemukan suatu warna seni rupa yang intens.
Kritiknya terhadap seluruh seniman, Tisna menyampaikan suatu gambaran bahwa zaman telah bergerak dengan khas. Para generasi muda dalam dunia seni rupa kian bermunculan dengan tradisi dan jaringannya sendiri di dunia Internasional. Melalui gawai di tangan mereka, sebuah dunia baru itu dibaca dan digauli. Kita pun, ujarnya lagi, mesti bergerak menggauli dunia baru ini. Salah satunya melalui pameran karya-karya baru sebagai aktualisasi diri di tengah zaman yang terus bergerak.
Baca juga :
Look For: Perjalanan Menuju Ketidaksempurnaan
Pameran Arsip Miss Tjitjih: Strategi Reproduksi Arsip
Eksploitasi Dunia
Apakah itu sebenarnya absolute yang dimaksud pameran ini? Demikianlah saya bertanya pertama kali saat memasuki ruang pameran berletak di ruang bawah tanah. Biasanya seorang seniman menghindari perangkap absolute sebagai akhir dari suatu proses dalam berkarya. Absolute adalah sifat dari suatu ketetapan, atau akhir dari suatu proses. Absolute berarti mutlak tanpa peluang mencipta kemungkinan. Lantas siapa seniman yang ingin berada dalam ancaman semacam itu? Bukankah biasanya spirit seorang seniman selama hidupnya adalah pembongkaran terhadap yang absolute?
Diksi itu saya baca pada seluruh manifestasi artistik setiap karya. Pada karya Isa Perkasa, dalam Jagat Series-nya, terdapat lima karya dalam memandang dunia. Instalasi berjudul Pemanasan Jagat di Atas Kompor misalnya, menunjukan dunia yang tergambar di atas wajan dan sebuah kompor memanaskannya. Serupa dengan instalasi itu, karya Menyetrika Jagat juga menunjukan sebuah dunia yang terhampar pada papan setrika. Sebuah setrika bara siap merapikan apa saja yang terhampar di atasnya. Ada makna dunia sebagai hamparan, ruang, atau wadah, diletakan secara baik oleh Isa pada dimensi benda keseharian.
Isa seperti hendak mengajak manusia untuk memahami dunia secara sederhana. Pemanasan global yang kerap diwacanakan dengan begitu berat, dengan sangat sederhana digambarkan sebagai pemanasan wajan. Wajan itu digambari dunia, dan pemanasan global itu hadir dengan gamblang sebagai dunia yang memang dipanaskan. Wajan yang dipanaskan kompor, secara indeksikal dapat pula menempati makna dunia yang setiap harinya dipanaskan alat-alat dapur atau alat-alat produksi industri di pabrik-pabrik. Sederhana, tetapi kritis.
Semakin tegas jika melihat karya Menyetrika Jagat. Pada karya itu, setrika bara berperan sebagai perwakilan dari suatu alat merapikan baju zaman dulu. Kini, dalam bentuknya benda itu dikenal sebagai mesin (sebagaimana kompor). Keduanya dapat mewakili suatu produk budaya pasca Revolusi Industri. Zaman itu jadi titik mula alam di dunia menempati posisi sebagai objek eksploitasi untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Dengan sederhana, Isa menghadirkan benda keseharian itu untuk menampar kesadaran bahwa manusia mempunyai peran dalam pengeksplotasian alam tersebut.
Pada karya lainnya, yakni Jagat Terlilit terdapat suatu variable tanda lain, yakni meteran. Meteran dengan ukuran hitungan centi meter. Pada karya Jagat Terlilit, bola dunia diletakan di atas meteran kusut bergulung di atas lantai. Awalnya saya sedikit kebingungan, kenapa dunia diletakan begitu saja di atas gulungan meteran kusut. Sepertinya akan lebih mudah dipahami jika meteran itu menggulung dunia itu sendiri, bukan terhampar di lantai dan hanya mengalasi bola dunia tersebut.
Tetapi ketika suatu narasi saya rangkai, saya melihat suatu gagasan baik dari karya tersebut. Dunia tergeletak di atas meteran kusut bergulung dan keluar dari ukuran dunia itu sendiri. Suatu paradoks asyik. Meteran sebagai alat pengukur tidak sama sekali mengukur dunia. Jika diasosiasikan, lantas apa yang diukur manusia kini? Saya jadi teringat betapa hitungan dan ukuran manusia saat ini kadang melampaui ukuran realistis dari dunia itu sendiri. Semisal science di Indonesia mestinya menyikapi persoalan, malah sibuk mengurus rentetan rumus tanpa kontribusi signifikan pada sosial. Isa seperti bicara bahwa pikiran manusia telah kusut dan keluar batas dalam mengukur dunia yang ditinggalinya.
Baca juga:
Runtuhnya Rumah Bernarda Alba
Marjinalitas dalam Mega Mega
Kritik Identitas
Nandanggawe menghadirkan satu karya kolase berjudul NDANKENSTEIN Circus Series. Karya ini menghadirkan ragam figur aneh dan asing. Keasingan pada figur-figur itu terjadi sebab Nandang menggunting dan menempeli satu figur dengan figur-figur lain.
Satu figur digunting setengah wajahnya sehingga awalnya wajah itu menghadap ke depan, kemudian jadi seperti menghadap ke samping. Setengah wajahnya dihilangkan. Dengan format karikatural, kepala itu ditempeli dengan atribut tubuh dari figur-figur lain. Alhasil, tak lagi mampu terlihat figur asal setiap komponen tubuh yang membentuk entitas baru ini.
Berbagai makhluk aneh dengan nama Ndandenstein ini mengingatkan saya pada Dr. Frakenstein, seorang ilmuan yang menjadikan dirinya sebagai manifestasi dari ego ilmu pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini, saya merasa Nandang memiliki anggapan bahwa figur-figur aneh yang ditampilkannya adalah sebuah kritik terhadap siapa saja yang punya cara pandang seperti Frankenstein.
Ya, menggunting berarti membuang bagian yang dinilai tidak perlu. Menempel berarti menambahkan sesuatu yang kita kehendaki. Kita lebih mengenalnya kini sebagai cara merekayasa diri sendiri atau meng-edit suatu kenyataan menjadi kenyataan lain yang lebih memuaskan. Kita menjadi sesosok makhluk yang terasing di tengah makin canggihnya opini yang kita miliki.
Ndandenstein seperti mengajak untuk mempertanyakan lagi soal identitas. Nyatanya, hari ini setiap orang telah terkonstruksi oleh ragam kuasa sosial. Akulturasi budaya makin masif terjadi di tengah terbukanya arus informasi. Arus yang digelontorkan oleh kekuatan ekonomi dan politik global. Arus yang menciptakan pengaruh pada setiap individu. Pengaruh ini dengan sangat gamblang digambarkan Nandang dengan menggunting dan menempel bagian-bagian tubuh seseorang serta menyusunnya lagi menjadi individu yang asing. Jujur saja, dengan dihadirkannya figur itu dalam jumlah yang banyak, Nandang seolah ingin berkata, orang-orang aneh itu kini makin beragam.
Ragam entitas itu juga disinggung dalam karya Ahmad Faisal Imron. Sejalan dengan perkataannya pada sesi prakata seniman, ia bicara bahwa kini begitu banyak orang menamai diri sebagai suatu golongan dalam Islam. Di tengah tajamnya identitas-identitas baru itu, Faisal bertanya, siapa yang sebenarnya gila, dia atau Bahar Smith? Bahar, ulama yang dikenal keras terhadap pemerintah, akhir-akhir ini ramai jadi perbincangan umum karena menyiksa dua anak muda yang mengolok-olok identitasnya.
Ada tiga lukisan pada bidang kanvas yang diberi sarung menjuntai. Tiga lukisan itu sapuannya kasar. Terdapat beberapa objek naif dan bisa dikenali dengan mudah. Ada beberapa tulisan arab cukup terbaca bagi yang bisa membacanya. Lukisan-lukisan itu berjudul Islam Buaya, Islam Speaker, dan Bahar. Ketiganya memiliki komposisi artisitik senada.
Saya bahas sedikit manifestasi artistik dari salah satu lukisannya berjudul Bahar. Lukisan itu menunjukkan suatu jalin komposisi menarik. Seorang lelaki dengan mulut dijejali corong memegang gelas di belakang sebuah latar merah dan putih. Pada satu bagian berlatar hitam sebuah tulisan arab berbunyi “Manusia Speaker”. Di samping gelas itu tertulis tulisan “Take beer”. Secara bunyi begitu dekat dengan seruan perjuangan beberapa kelompok Islam “Takbir!”. Suatu paradoks bahasa sangat cermat dihadirkan Ahmad Faisal Imron di dalam lukisannya. Figur berambut pirang bernama Bahar itu dipandangnya punya dua sisi sifat saling berbenturan.
Begitu pun pada dua lukisan lainnya. Bahasa Arab kini begitu identik dengan suatu agama, sebenarnya di dalam lukisannya merupakan bahasa mengejek sosok buaya yang katanya “pemakan manusia”, dan sosok manusia yang katanya “pemakan speaker”. Speaker yang dimaksud Faisal adalah suatu alat pengeras suara yang kini terkait dengan berbagai kasus. Kasus pertama yakni tentang mobilisasi masa dalam menolak kebijakan pemerintah dan speaker merupakan alat penyeru masa untuk bergerak. Kasus kedua yakni terkait banyaknya mesjid tak lagi toleran dengan mengeraskan speaker adzannya untuk mengajak orang beribadah.
Ketiga lukisan itu diberinya sarung. Ini barangkali menarik dari karya Ahmad Faisal Imron. Sarung merupakan produk akulturasi antara syariat dalam Islam untuk menutup aurat dengan suatu kebiasaan masyarakat. Ahmad Faisal Imron seperti mengajak untuk memahami lagi kehadiran sarung sebagai produk budaya. Kehadiran sarung di ruang galeri menggiring pada satu kesadaran bahwa dengan sarung telah menjalani syariat tanpa perlu memaksakan diri untuk menganut kebudayaan Arab. Tiga lukisan berisi kritik terhadap golongan Islam yang memaksakan suatu ayat atau syariat pada tatanan masyarakat Indonesia itu, dialasi atau diberi latar belakang sarung sebagai suatu tawaran dan tamparan untuk membungkus masalah tersebut.
Masyarakat kini dihadapkan pada ragam pilihan yang menuntun pada penggalian lagi jati diri sebagai manusia atau suatu kelompok sosial. Armand Jamparing membahas hal itu melalui seri karyanya berjudul HYBRID Series. Pada karyanya terlihat Armand mengolok-olok hibridasi atau lahirnya produk budaya baru akibat takjubnya masyarakat Negara ketiga pada kebudayan Negara adikuasa. Melalui gambar-gambar dengan teknik kolase dan mix media-nya, kritik itu jelas teramu dengan sangat relevan, menilai dua teknik itu menitikberatkan pada pencampuran medium menuju satu capaian estetik tertentu.
Sebagai seorang street artist, karya Armand sarat simbol dan kata-kata propaganda. Melihat karyanya, saya membaca suatu objek yang mudah dikenali dan bahasa yang mengantar pada maksud spesifik Armand di dalam karyanya. Seperti sebuah gambar berisi diksi “Hibrida” yang menjadi judul seri karyanya ini. Figur manusia hadir membawa seikat pisang dan bendera yang sepertinya merujuk pada bendera Amerika. Pada kepalanya terdapat suku kata “HIB” dan pada kakinya terdapat suku kata “RIDA”.
Hibrida bagi Armand adalah benturan antara pisang dan bendera Amerika tersebut. Sebagai tanda, pisang bisa jadi adalah tumbuhan atau alam, makanan manusia atau kera sebagai muasal manusia dalam teori Darwin, atau manifestasi dari identitas asal seseorang. Hal itu kemudian berpasangan dengan bendera yang bisa jadi merupakan lambang suatu Negara adikuasa, atau suatu keyakinan baru yang digenggam, atau manifestasi dari suatu pemikiran atau ideologi yang mempengaruhi identitas asal tersebut. Sosok hitam itu membawa keduanya sambil berjalan, entah kemana.
Sementara pada karya lainnya, akan bisa ditemui diksi-diksi seperti “ULTRAS” yang berarti entitas militan, “TERLIBAT ALIANSI”, “Seni yang merusak, seni yang menentramkan”, “Breaking All The Rules, LIFE IS FUN!” dan lain sebagainya. Armand menghadirkan wajah Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, seekor anjing, Soeharto, bibir bergincu, kaki, manusia berkepala pohon, dan lain sebagainya. Tanda-tanda yang diringkus bahasa itu membawa pada ragam lapisan makna yang campur baur dan saling membentur. Hybrid, barangkali bagi Armand, sebagaimana prakatanya saat pembukaan pameran, adalah identitas baru dari masyarakat hari ini. Kenyataan yang menunjukan cara pandang (ideologi) yang saling berbenturan, lalu sampai pada saya sebagai paradoks yang menggelikan.
Daripada itu kiranya Rudi St. Darma melalui karyanya berjudul Pada Suatu Hari secara gamblang menunjukkan suatu pembatalan. Rudi St. Darma menghadirkan beberapa karya drawing dalam kertas A4. Karya-karya drawing itu dimasukan ke dalam kantong plastik lalu dipasang dengan teratur dan rapi di dinding. Tampak cukup menonjol dari karyanya ini, Rudi menempeli setiap plastik berisi karyanya dengan selotip kertas berwarna kuning. Selotip itu menciptakan suatu pola garis-garis kuning sembarang, namun dilihat dari kejauhan kesembarangan itu begitu teratur. Selotip itu menghalangi keutuhan drawing di dalam plastik tersebut.
Selotip itu menginterupsi gambar tersebut. Pada satu gambar, Rudi menghadirkan beragam objek yang kemudian menggiring pada satu narasi, dengan catatan mampu menyusun hubungan objek-objek tersebut. Semisal apa yang terbayang ketika beberapa objek ini hadir: Sebuah pion hitam, pion putih, pion hitam yang lebih kecil, dan rubik 2×2 bermata warna hitam dan putih? Rudi menggiring pada perseturuan dua kubu dalam permainan catur. Suatu perang merebut kemenangan dengan jalan saling melenyapkan atau membunuh raja dari kubu yang lain. Hitam dan putih sebagai suatu pembeda kubu, disimpan sebagai variable warna dalam permainan rubik. Menariknya, sebagaimana rubrik merupakan permainan yang dilakukan oleh satu orang untuk membereskan ketidakteraturan warna. Lantas apa hubungannya dengan makna catur tadi?
Objek-objek itu diberinya garis arsir dan beberapa coretan. Garis arsir lain mencipta suatu latar dan bayangan. Garis-garis itu telah memberi karakter pada objek dan suasana pada keseluruhan gambar tersebut. Selain itu, garis-garis itu pun seolah menunjukan hubungan antara satu objek dengan objek lain. Seperti kehadiran satu garis tipis yang menghubungkan rubik dan pion hitam dengan mahkota. Menariknya mahkota itu tidak diarsir, melainkan hanya berupa outline saja. Hal tersebut jelas berseberangan dengan kebiasaan pion raja dalam permainan catur yang punya ciri mahkota dengan warna yang sama dengan pionnya.
Kemudian objek-objek itu dapat ditelusuri persoalannya ketika suatu kalimat atau bahasa juga termaktub di dalam gambar itu. Kalimat itu tentu saja menampilkan suatu makna yang kemudian menjadi titik pijak atau pengikat dalam mencari makna dari gambar tersebut. Pada gambar tadi sebuah kalimat kapital tertulis, “MEREKA BUKAN RAJA TAPI SERIGALA YANG AKAN JADI RAJA-RAJA”. Saya kemudian menjadi lebih jelas melihat kenapa mahkota tersebut tidak diarsir hitam sebagaimana pion hitam yang mengenakannya. Saya juga bisa dengan jelas memahami rubik itu sebagai siasat atau politik di balik pertempuran kedua kubu tersebut.
Yang kemudian saya anggap berhasil dari karya ini adalah kehadiran selotip. Awalnya saya menilai karya ini sekedar menunjukkan suatu pembatalan Rudi pada karya gambarnya sendiri. Tetapi pada gambar tentang pion tadi, selotip tersebut menutupi pion putih yang tentu saja itu sejalan dengan penelusuran pada jalin tanda gambar tersebut. Pion putih itu kalah. Selotip yang menutup pengamatan pada keutuhan gambar, rupanya merupakan bagian dari gambar tersebut. Pada seluruh gambar, selotip itu memang bukan hanya mengganggu pandang, tetapi memperkuat makna pada gambar tersebut. Dengan warna kuningnya yang mencolok, selotip itu seperti suatu kekuasaan yang menutupi, merepresi, dan membungkam setiap tanda yang ada. Sepertinya, tentang karakter selotip semacam ini, khususnya di Indonesia, begitu dikenali. Ya, begitu familiar dan rasa-rasanya masih juga dihadapi.
Lantas apakah yang dimaksud dengan absolute di dalam pameran ini? Dalam pandangan saya, sesuatu dipandang absolute ketika ia bersifat mutlak. Lawan kata dari absolute adalah relative suatu kesementaraan dan penuh kemungkinan. Karya-karya di dalam pameran ini saya pandang sebagai kerja-kerja mencari sudut pandang lain dari yang tetap atau dianggap telah tetap. Kemudian seniman-seniman ini menggali lagi, mencari kemungkinan lain. Saya justru melihat gelagat relative yang tercitra dari bagaimana semua seniman bersikap pada ragam tema dan bentuk karya mereka.
Kecuali jika yang disebut sebagai relative itu adalah juga suatu sikap absolute. Sebagaimana Rudi St. Darma berupaya menguatkan selotip sebagai sesuatu yang membatalkan sekaligus menegaskan cara pandang terhadap gambarnya. Artinya yang relative itu juga merupakan suatu bagian dari ketetapan yang terbuka. Seperti Ahmad Faisal Imron melalui paradoks bahasanya memunculkan sisi ambiguitas manusia dan suatu kelompok sosial. Ia mengajak berpikir untuk membaca “Take beer!” sebagai seruan keburukan atau kebaikan sebagaimana bisa didengar sebagai “Takbir”.
Selalu terlihat gelagat pembongkaran pada suatu ketetapan yang ada. Para seniman ini saya kira memang masih bekerja sebagaimana umumnya seniman, suatu subjek yang progresif menggali sisi relative dari yang absolute. Namun, sikap karya mereka sejauh ini memang tidak berupaya membangun makna yang absolute itu tetapi memosisikan yang relative itu sebagai suatu sikap absolute. Isa Perkasa memberi cara pandang baru terhadap benda keseharian sebagai dunia yang sebenarnya. Manusia yang jamak adalah juga manusia yang tunggal. Sikap merusak yang kecil adalah juga sikap merusak yang besar. Nandanggawe mengoptimalkan metode gunting tempelnya dalam mencari sisi lain dari manusia hari ini. Merusak identitas adalah juga mencipta identitas baru. Sebagaimana Armand Jamparing menunjukan identitas baru itu dengan upaya membongkar ragam jargon dan sosok melalui kolase dalam skema hibriditasnya.
Akhirnya, saya melihat sikap para seniman yang relative pada sesuatu yang absolute ini, adalah sautu ciri absolute. Kesadaran akan ketidak-absolute-an ini saya rasa sebagai suatu absolute. Ketika pameran ini diberi judul absolute, saya sebagai apresiator hadir dan menilai segala pembongkaran itu sebagai suatu ketetapan baru, lantas kepala saya yang berisi ragam ketetapan lain di tengah dunia yang terus bergerak ini, tentu saja akan membongkarnya lagi, lagi, dan lagi. Lihatlah, betapa stagnannya relativitas itu. Betapa kekal ia sebagai sebuah siklus pembongkaran. Ya, saya rasa saya akhirnya paham apa yang dimaksud absolute dalam pameran ini. Suatu relativitas yang absolute.