Fb. In. Tw.

Rekonstruksi Citra Islam

Sumber: Twitter

Sumber: Twitter

Tahun lalu saya bertemu dengan seorang kawan semasa saya masih duduk di sekolah dasar. Tentu saja penampilannya berubah, tapi bukan sekadar berubah secara jasmani, rohaninya pun berubah. Ia mengaku bahwa ia aktif di kelompok pengajian Ahli Sunnah. Sudah tentu ia berpakaian sebagaimana Rasulallah SAW berpakaian. Kemudian ia bertanya kepada saya, “Kalau lihat ane berpakaian kaya gini, ente mikirnya apa? Teroris, ya?”. Saya jawab tidak.

Masalah berpakaian ini memang kompleks. Kita tidak mungkin melihatnya pada satu kasus saja. Misalnya, umat Islam yang berpakaian syar’i (seperti kawan saya itu, baik muslim maupun muslimah) akan beda maknanya dengan umat Islam (terutama muslimah) yang berpakai syar’i tetapi dengan motif konsumsi di belakangnya—semisal hijabers-hijabers modern yang tengah happening belakangan ini. Tulisan ini akan menyoal hal tersebut namun pada wilayah yang terbatas saja, yaitu kaitannya dengan sebuah meme yang saya temukan di Twitter.

Baiklah, pembicaraan ini dimulai ketika saya membuka Twitter pagi ini. Saya agak tersentak ketika mendapat meme yang berjudul “Dicatat Niatnya”. Meme itu mungkin dibuat oleh 99 Pesan Nabi karena ada label itu tertera di dalamnya.

Meme itu bergambar seseorang berbaju ke-arab-arab-an (baca: alim) dengan seseorang yang berbaju modis. Dalam gambar itu terdapat balon yang menampilkan pikiran atau niat dari kedua tokoh tersebut. Seseorang yang berbaju alim berkata dalam pikirannya, “Dasar pemuda gak punya tujuan. Gayanya aja sok keceNyenggol dikit gua jambak itu rambut…”. Sementara itu, seseorang yang berbaju modis berkata dalam pikirannya, “Hebat banget Bapak ini.

Di bus pun masih pegang tasbih buat zikir… aku pingin jadi kayak dia… nanti malam mulai ikut pengajian ah…”. Lalu, di bawah gambar tertulis hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulallah SAW telah bersabda: Allah ‘Azza Wa Jalla telah berfirman: apa bila hambaKu bermaksud buruk, maka janganlah kalian mencatatnya untuknya, jika dia telah mengerjakannya, maka catatlah satu keburukan. Dan apabila dia bermaksud baik dan dia belum mengerjakannya, maka catatlah itu satu kebaikan. Apabila dia telah mengerjakannya, maka catatlah sepuluh kebaikan”.

Dari meme tersebut tentu kita akan bersimpati kepada seseorang yang berbaju modis karena ia memiliki pikiran bersih terhadap orang yang berbaju alim. Sebaliknya, kita akan tidak bersimpati pada orang yang berbaju alim karena pikirannya yang menaruh curiga. Meme ini seolah-olah ingin mengirim pesan bahwa penampilan seseorang tidak lebih penting dari niatnya atau penampilan seseorang belum tentu mencerminkan pikirannya. Seorang yang berpanampilan Islami, belum tentu memiliki sikap yang Islami pula. Ya, itu bisa jadi demikian.

Jika kita melihat meme itu dalam berbagai pembacaan, Insyaallah kita akan mendapatkan berbagai makna. Kita dapat melihat makna dari meme tersebut dari unsur-unsur yang hadir (in presentia). Jika kita menggunakan cara membaca ini, kita akan mendapatkan makna seperti apa yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya. Namun, apabila kita membacanya dengan sudut pandang yang berbeda, yakni memaknai dari unsur-unsur yang tidak hadir (in absentia), kita akan mendapat hal yang mungkin jauh berbeda.

Kita semestinya bercuriga mengapa yang ditampilkan adalah seseorang yang berpakaian alim dan seseorang yang berpakaian modern? Mengapa kedua tokoh itu tidak ditampilkan dalam penampilan (pakaian) yang sama, namun dengan niat atau perilaku yang berbeda? Mengapa tokoh yang berpakaian alim tidak dibuat untuk menunjukan kealimannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi substansial karena berhubungan dengan pesan (mitos) yang coba disampaikan. Misalnya, kedua tokoh tersebut berpakaian alim namun dengan niat atau perilaku yang berbeda. Bukankah itu tidak mengubah substansi atau pesan dari meme tersebut—bahwa setiap orang bergantung pada niatnya?

Ada hal coba direkonstruksi oleh meme tersebut. Rekonstruksi itu tak lain: seseorang yang berpakaian ke-arab-arab-an atau alim bisa jadi adalah (1) orang yang penuh prasangka, (2) orang yang selalu menganggap orang yang tidak berpakaian sepertinya adalah liyan, lebih-lebih (3) orang yang berpakaian ke-arab-arab-an adalah radikal.

Rekonstruksi citra ini (besar kemungkinan) telah dibangun sejak tragedi 9/11, di mana orang-orang di Amerika berhak curiga kepada umat Islam, orang Timur Tengah, atau orang-orang yang berpakaian dan nama ke-arab-arab-an. Sangat mungkin juga jauh sebelum tragedi 9/11, rekonstruksi citra Islam telah dibangun dan tragedi 9/11(-lah) yang menjadi legitimasinya.

Apakah rekonstruksi citra itu salah? Tentu saja tidak sepenuhnya salah; sangat mungkin seseorang yang berpakaian alim memiliki hati yang penuh prasangka, sangat mungkin seseorang yang berpakaian alim menganggap orang yang berbeda dengannya adalah liyan, sangat mungkin seseorang yang berpakaian alim adalah orang yang radikal, sangat mungkin orang yang berpakaian Islami berperilaku tidak Islami.

Namun, masalahnya ialah meme itu terkesan merekonstruksi citra orang yang berpakaian alim atau sekurang-kurangnya mengoposisi-binerkan antara yang berpakaian alim dengan yang tidak. Hal inilah yang berbahaya. Ketika seseorang atau kelompok mengoposisikan dirinya dengan orang atau kelompok lain, ketika itu pula ia atau mereka menciptakan dinding yang sebenarnya tak ada.

Dari sinilah sekat-sekat semakin nyata. Kita dibuat berbeda oleh seseorang atau suatu sistem kekuasaan. Sekali lagi, kita tengah dipisahkan oleh sebuah dinding yang tebal, dinding yang sesungguhnya imajiner.[]

KOMENTAR
Post tags:

Penulis renungan Jumat.

You don't have permission to register