Refleksi Konser “Zentuary” Dewa Budjana
Rabu malam (30/11/2016), pada acara konser album Zentuary Dewa Budjana di NuArt Sculpture Park Kompleks Setraduta, Bandung, saya duduk lesehan tepat sejajar dengan Dewa Budjana. Tak ada pagar atau sekat panggung tegas antara penonton dan pemain musik. Sehingga saya dapat leluasa menyaksikan musisi utama di panggung yang ditata sedikit melingkar itu.
Saya bisa melihat jelas bagaimana bentuk ukiran Dewi Sarasvati (Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni) pada gitar Parker Fly Dewa Budjana yang diukir oleh I Wayan Tuges, perupa asal Bali. Saya juga dapat melihat rangkaian efek yang ia gunakan, dan sesekali ia injak untuk menciptakan bebunyian yang ingin disajikannya.
Sedangkan di belakang saya, beberapa orang difabel duduk, mereka hanya bisa mendengarkan suara dari musisi yang merupakan gitaris Gigi tersebut. Mereka tak bisa melihat sosok dan aksi Budjana di atas panggung, meski berada di hadapan mereka. Mereka juga tak dapat melihat dan merasakan panggung yang begitu artistik dan romantis dengan indera penglihatannya.
Di sinilah peranan musik, khususnya pada album Zentuary. Seperti diungkapkan Dewa Budjana di sela-sela penampilannya, “Bahwa nada yang keluar dari gitarnya adalah multitafsir.” Audiens bisa menggambarkan bunyi yang dihasilkannya sebagai bentuk kegembiraan, kecemasan, kesedihan tergantung sikap dan pandangan orang lain menafsirkannya. Seperti halnya istilah zentuary merupakan gabungan dua kata ‘zen’ dan ‘sanctuary’. Zen dipandang sebagai titik tolak lahirnya sebuah sanctuary.
Pada malam itu Dewa Budjana tak tampil sendiri, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi pendukung, di antaranya Demas Narawangsa pada drum, Shadu Rasjidi pada Bass, Rega Dauna pada harmonika, Saat Syah pada seruling, Jalu Pratidina pada kendang, Marthin Siahaan dan Isra Destiwi pada keyboard, dan sempat pula diiringi vokal Trie Utami serta Cabirin Asteriska.
Lagu “Masa Kecil” yang diambil dari album Dawai in Paradise menjadi pembuka yang mengantarkan penonton kembali ke masa kecil masing-masing. Tak lupa si kecil mungil Cabirin Asterika membuat malam semakin bergairah saat membawakan lagu “Caka 1922” yang diambil dari album Gitarku.
Gagasan Dewa Budjana yang lekat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual dituangkan jelas pada hampir setiap lagu di album instrumennya. Misalkan pada album Samsara, Surya Namaskar, Dawai in Paradise Gitarku, Nusa Damai dan sebagainya.
Benar apa kata Trie Utami yang terlibat di konser album Zentuary malam itu, menurutnya Dewa Budjana bisa menjadi sosok dan wujud apa saja dan hadir untuk siapa saja. Di sini saya menangkap Budjana bisa menjadi alir sungai, menjadi setenang danau, menjadi burung, menjadi kekasih, dan berjoget di Kahyangan sesuai dengan judul lagu “Joget Kahyangan”. Tentu saja semua itu dilakukan hanya dengan gitarnya. Keharmonisan, keselarasan, serta penghayatannya seakan membawa saya ke alam bawah sadar.
Dari mayor ke minor, dari kunci satu ke kunci lainnya, Dewa Budjana seakan tak pernah luput dari penghayatan dan tetap berada di satu titik panggung. Ia tak banyak bergerak ke sana ke mari, ia tetap tepat di hadapan saya. Namun begitu, kecepatannya pergerakan jemarinya tak dapat saya ikuti.
Tampangnya tak pernah terlalu ekrpresif, ia lebih hanyut dalam alunan gitarnya, tak memperhatikan kamera di depannya. Ia tak seekspresif musisi yang tampil berkolaborasi bersamanya, ketika mempertunjukkan kemampuan dengan alat musiknya masing-masing. Budjana tetaplah Budjana dengan pembawaan yang kalem dan tampang yang datar.
Satu penampilan yang paling mengesankan dari konser album Zentuary bagi saya, ketika Budjana memainkan “Gangga” dari album Dawai in Paradise. Saya sangat terkesan dengan komposisi yang diciptakan atas refleksinya terhadap sungai Gangga, sungai di India yang disucikan umat Hindu tersebut. Melalui petikan gitarnya, ia seakan-akan mengantarkan imaji serta nilai-nilai suci sungai Gangga ke dalam benak saya.[]