Fb. In. Tw.

Refleksi Empati dari Pengalaman Kebutaan

Ulasan pertunjukan teater “Margi Wuta”

Bertempat di Auditorium PSBN Wyata Guna, Bandung (4 dan 5 Oktober 2016), “Margi Wuta” telah tuntas dipentaskan. Sebuah karya kolaborasi Joned Suryatmoko (sutradara) dari Teater Gardanalla Yogyakarta dan  musisi Ari Wulu. Pertunjukan teater ini merupakan salah satu rangkaian acara Art Summit Indonesia (ASI) ke-8, yang kali ini digelar di 8 kota; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Bali, Padang, Padangpanjang, dan Makasar.

Mengangkat wacana “Membaca Kembali Peta dan Perubahan Dunia Seni Pertunjukan”, ASI ke-8 menyajikan karya-karya seniman kontemporer dari Indonesia dan pelbagai negara. Berdasar wacana itu, “Margi Wuta” hadir tidak sekadar menawarkan kemungkinan baru bentuk pertunjukan, tetapi juga menawarkan pembacaan bagaimana posisi pertunjukan kontemporer dalam konteks politik identitas, khususnya dalam wacana seni yang pemainnya difabel.

Melibatkan para difabel netra sebagai aktornya, “Margi Wuta” menyembulkan tendensi pada teater sebagai mekanisme emansipasi sosial. Meski demikian sang sutradara tidak secara tegas mendefinisikan teaternya sebagai teater difabel melainkan hanya sebuah karya yang mengeksplorasi ketidak-kelaziman dari bentuk teater kontemporer.

Tontonan tanpa ditonton
“Margi Wuta” mewujud pertunjukan yang fokus pada pengolahan ruang penonton dan alternatif cara “menonton”. Ruang penonton dikonstruksi sedemikian rupa supaya terjadi interaksi intensif dan akrab dengan spektatornya. Sedangkan cara menonton disediakan dua pilihan, yakni sebagai penonton atau hadirin.

Penonton adalah mereka yang ditutup matanya saat ‘menonton’ dan diberi kesempatan “menonton” kedua kalinya tanpa penutup mata.  Sedangkan hadirin adalah mereka yang diperkenankan nonton satu kali, tanpa penutup mata. Sebagian penonton tentu boleh mengambil pilihan tidak menonton kedua kalinya tanpa penutup mata.

Teater yang selama ini menyandarkan pada aspek audio dan visual, dalam “Margi Wuta” mengalami reduksi visual. Eksplorasi itulah yang dilakukan sutradara. Sebagai sebuah tontonan teater ternyata tidak melulu ditonton tetapi yang paling penting adalah mengalami peristiwa. Paradigma itulah yang dipilih sutradara, bahwa pengalaman ketubuhan dari penontonlah yang utama.

Pertunjukan telah dimulai saat spektator berada di luar gedung pertunjukan. Para kru pentas membagi kelompok penonton dan hadirin. Saya sendiri mendapat kesempatan sebagai penonton.  Dari luar gedung, penonton digiring menuju sebuah lorong. Di sana, dua kru pentas telah menunggu. Mereka memberi arahan pada penonton terkait tata cara ‘menonton’. Salah satu yang harus dilakukan penonton adalah menutup matanya dengan kain hitam yang sudah disediakan.

Setelah mata ditutup, saya dipandu masuk ke ruang pertunjukan. Sepanjang perjalanan, kengerian menyergap. Pengalaman visual menjadi sumber inspirasi hal-hal buruk terjadi. Kaki takut tersandung palang, kepala takut membentur tiang, badan takut menabrak tembok, dll. Kemampuan melihat yang selama ini dirasa sebagai keunggulan tetiba berubah serupa bencana. Pada momen ini, kelengkapan indera bukanlah ukuran superiotas bagi manusia melainkan sebuah nestapa. Seandainya tidak punya referensi visual, barangkali kondisinya tidak akan se-menderita itu.

Situasi kegelapan itu berhasil memprovokasi penonton lewat pengalaman kebutaan dalam menyerap peristiwa teater. Kondisi demikian tentunya dapat merangsang penonton mengaktifkan indera lainnya bekerja, diajak memasuki kepekaan dunia difabel netra. Pada peristiwa teater inilah para difabel netra mewujud manusia yang paling ulung dalam” melihat”.

Sesampainya di ruang pertunjukan, saya dituntun menuju kursi yang telah ditentukan. Komposisi bebunyian mulai terngiang di telinga, merebut ruang imajinasi; bunyi dengung, tetes air, rekaman suara Jesica dalam persidangan, denting lonceng, deru pesawat, dsb.

Melalui indera pendengaran, saya menangkap ada tiga peristiwa utama yang hadir. Pertama, peristiwa di dalam rumah. Diawali suara perkakas dapur yang jatuh, dua orang laki-laki tua memulai percakapan ihwal kopi yang habis serta kebiasaan mendengar ketoprak di radio. Lalu muncul seorang ibu tukang pijat mengeluh atas tingkah pelanggannya. Mereka bertiga kemudian membicarakan sidang Jesica yang selama ini merebut ruang privasi mereka.

Kedua, peristiwa di pos ronda. Para pemuda yang tengah asyik latihan menyanyi untuk konser amal di balai kota, mendapat teguran dari salah satu lelaki tua tadi karena dianggap mengganggu ketenangan. Kedua pihak pun terlibat perdebatan. Tak pelak otoritas bunyi diperebutkan. Menghindari keributan, para pemuda terpaksa pergi ke taman dengan harapan bisa lantang berdendang. Namun, di tempat itu giliran mereka yang mendapat gangguan. Suara mesin pemotong rumput terdengar lebih kencang. Peristiwa ini seolah menyiratkan tidak ada tempat yang ramah bagi mereka dari gempuran polusi pendengaran.

Ketiga, peristiwa di kamar. Di ruang ini, para pemuda seolah menemukan kedamaian meski sebenarnya ruang itu lahir dari praktik pengasingan, produk laten marginalisasi. Ruang yang sebenarnya tidak pernah stabil, karena deru pesawat atau bunyi mesin pemotong rumput sewaktu-waktu dapat menyerang mereka.

Dari ketiga peristiwa itu, secara repetitif konflik berkutat pada persoalan bunyi. Bunyi sebagai entitas krusial bagi kehidupan mereka senantiasa rawan intimidasi. Bak arena pertarungan kekuasaan, bunyi diperebutkan, direnggut, diraih dan dipertahankan. Sebab jika kehilangan kuasa atas bunyi, daya apalagi yang bisa membangkitkan hidup mereka?

Pada akhirnya para pemuda memang bisa leluasa bernyanyi, bahagia, dan tertawa. Lantunan lagu Eternal Flame (The Bangles) dinyanyikan dengan subtil, menjalin relasi kuat dengan narasi hidup mereka.

Close your eyes, give me your hand, darling
Do you feel my heart beating, do you understand?
Do you feel the same?
Am I only dreaming?…

Namun ternyata itu fana, suara panci jatuh menutup pertunjukan. Prang! Sebuah penanda bahwa situasi belum stabil. Tidak adanya konklusi, mengafirmasi kondisi yang tunak rentan terhadap ancaman.

Hubungan penonton dan peristiwa
Hampir sebagian besar asupan peristiwa digali dari persoalan kehidupan pemainnya. Joned menyandarkan kerja sutradara menjurus pada fasilitator bukan konduktor. Percakapan remeh temeh yang dipungut dari realitas kolektif pemain, sangat akrab dijumpai dalam kehidupan, berhasil mendekatkan jarak antara pemain dan penonton. Sehingga persoalan tersebut menjadi tontonan yang memiliki visibilitas estetis tanpa kehilangan wacana difabel sebagai subyek problematiknya.

Jembatan fiksionalitas antara pemain difabel netra yang menghadirkan peristiwa dan penonton non-difabel yang mengalami kebutaan, menjadi pintu masuk pertama dalam proses penerimaan estetika. Sutradara dengan jeli membuat pilihan bahwa abstraksi pertunjukan tanpa ‘tubuh yang mengalami’ akan kesulitan mendekatkan peristiwa teater yang disajikan.

Proses itu mendukung transaksi teater lebih intim dan empati. Empati yang dirangsang oleh pertunjukan “Margi Wuta” ini bukan untuk mengajak pada suatu kesadaran hierarki kondisi, bahwa antara non-difabel dan difabel menjelaskan satu lebih baik dan lainnya tidak. Meski ada perbedaan di antara keduanya hanyalah bagian dari variasi manusia. Masing-masing memiliki pemaknaannya sendiri.

Difabel yang dalam kerangka medis sering didefinisikan kekurangan yang mesti dihindari, melalui pertunjukan ini menjelma tidak relevan. Karena nyatanya para pemain difabel memiliki keunggulan sendiri dalam “melihat”. Bayangkan, pergerakan pemain begitu lepas tanpa instruktur yang menuntunnya. Adapun penanda ruang peristiwa hanya dibantu oleh bentangan karpet tipis, itupun mesti mengandalkan  indera peraba ekstra yang bagi non-difabel muskil dapat membedakan antara karpet dan tegel apalagi dengan menggunakan alas kaki.

Satu yang disesalkan atas pengalaman kebutaan penonton adalah perlakuan kru pentas dalam menentukan tempat duduk penonton. Menjelang akhir pertunjukan, secara tidak serentak penonton diminta membuka penutup mata. Pada momen ini, penonton pertama kali bersua dengan visualisasi pertunjukan, melihat secuil peristiwa dan ruang penonton yang telah ditata sedemikian rupa.

Ketika indera penglihatan diberikan, saya justru merasakan kekecewaan. Saya merasa telah diperlakukan diskriminatif ihwal penempatan posisi duduk. Apa alasan pemosisian itu? Kenapa saya didudukkan di suatu tempat yang bukan saya iinginkan? Kenapa saya tidak diberikan kesempatan untuk menentukan tempat duduknya sendiri.

Padahal untuk mewujudkan itu bisa saja disiasati, misalnya dibuat jalur khusus laiknya pedestrian bagi para difabel. Para kru pentas dapat memberikan arahan terkait penanda jalur yang dibuat, bagaimana tekstur untuk berjalan, berhenti, berbelok, dsb. Biarkan penonton mengalami resiko atas pengalamaan kebutaannya. Jika ada penonton kehilangan jalur maka ada konsekuensi yang ditanggung.

Pada momen itu sistem kognisi akan lebih berfungsi. Sehingga, empati dalam “Margi Wuta” bukan sekadar tanggapan emosional tetapi juga sebagai sesuatu yang memiliki fungsi kognitif. Dalam pada itu, empati memungkinkan kita untuk melampaui batas-batas dunia kita sendiri dan merayakan pikiran yang lebih terbuka. Empati dapat mengilhami kita berupa imajinasi, intuisi, dan observasi ke dalam sebuah pemahaman dunia yang lebih jauh.

Namun, empati bukanlah kepastian melainkan kemungkinan. Penonton barangkali mengalami empati dengan beragam cara, dan masing-masing mungkin dipengaruhi pelbagai tingkat dan derajat kepentingan. Tanggapan penonton tidak pernah memunculkan keseragaman. Justru sebaliknya, pengalaman menonton dapat mencapai manfaatnya ketika tanggapannya beragam. Di sanalah keindahannya. Seperti halnya melalui beragam cara ‘menonton’, “Margi Wuta” dapat terekam secara berbeda sebagai pengalaman estetis. Refleksi penting pasca ‘menonton’ pertunjukan “Margi Wuta” adalah kita merasakan empati yang mana? Masihkah merasa superior sebagai manusia atau menyadari adanya variasi manusia?[]

KOMENTAR
Post tags:

Sutradara dan aktor teater.

You don't have permission to register