Ramadan di Melbourne
Suara salawatan dan bedug yang ramai, selalu menjadi ciri khas utama saat bulan Ramadan tiba. Kegembiraan dari setiap umat Muslim terlihat saat mereka bersiap-siap menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dan sahur setiap harinya. Tawa anak-anak yang sedang belajar untuk berpuasa seolah pecah ketika mendengar adzan Magrib berkumandang.
Selalu ada istilah berbukalah dengan yang manis di sepanjang Ramadan, tapi yang paling membahagiakan adalah berbuka dengan keluarga atau orang yang tersayang, walaupun misalnya, sajiannya alakadar berupa gorengan atau sop buah saja. Kebahagiaannya justru tidak terletak pada makanan yang disajikan tapi bersama siapa kita menikmatinya. Wah, saya merindukan suasana itu!
Kali ini saya mendapati suasana Ramadan yang berbeda dari sebelumnya. Hampir 100% berbeda dari paragraf sebelumnya yang saya ceritakan. Pertama karena saya tidak sedang berada di Indonesia, hal itu yang menjadi faktor utama perbedaan yang cukup mengharukan. Ramadan di Melbourne, Australia, kali ini terjadi pada musim dingin (winter) yaitu awal bulan Juni. Waktu terbit matahari (sunrise) adalah sekitar jam tujuh pagi dan Magrib sekitar jam lima sore.
Oleh karena itu, waktu puasa yang saya jalani relatif singkat hanya 10 jam saja. Bagaimana saya bisa tahu saat itu Ramadan telah dimulai, karena saya tinggal di sebuah desa kecil bernama Echuca, jauh dari pusat kota seperti Melbourne. Tidak pernah saya menjumpai ada masjid atau orang Muslim lainnya seperti saya.
Satu-satunya penolong yakni sebuah aplikasi yang saya unduh di ponsel saya bernama Muslim Pro. Aplikasi tersebut memberikan informasi berbagai hal, seperti jadwal shalat, arah kiblat, bacaan Alquran, makanan halal, tempat mencari makanan halal terdekat, dan sebagainya yang berhubungan dengan Islam. Tentu saja, di Muslim Pro juga kita dapat mengetahui kapan kita melaksanakan Ramadan dan Idul Fitri. Kadang saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka yang menciptakan teknologi untuk mempermudah segala macam aktivitas.
Dering ponsel kadang selalu menjadi hal yang paling ditunggu. Jika di Indonesia suara adzan yang paling dinantikan, maka saya menantikan setiap dering dari ponsel saya untuk menandakan bahwa waktu Magrib telah datang. Menggelikan kadang, ketika suatu hari saya lupa jika saya sedang menjalani Ramadan. Hal yang menarik lainnya adalah tentang makanan.
Jika di Indonesia banyak muncul penjual takjil dadakan saat Ramadan, suasana seperti itu tidak akan dijumpai di Australia. Takjil di sini begitu sederhana, sebatas air putih, biskuit, permen, atau makanan lain semacamnya, sewaktu-waktu saya memang kadang menciptakan sajian berbuka puasa sendiri, tapi memang rasanya tak senikmat di Indonesia. Jika rindu terhadap makanan sudah tidak bisa dibendung, terpaksa saya harus pergi ke Melbourne untuk mencari makanan Indonesia, cukup banyak dan bervariatif.
Saya bisa menemukan makanan seperti kolak, gorengan, dan makanan besar untuk disantap, seperti ayam penyet, soto, ikan bakar, bakmi, atau bakso. Meski sama dalam tampilan tetap saja perihal rasa Indonesia masih menjadi juaranya. Memanfaatkan kesempatan saat di Melbourne saya juga menghadiri kegiatan buka bersama di KBRI Indonesia. Mereka mengadakan buka puasa bersama dan juga terawih bersama.
Saat tarawih dimulai, ada semacam kerinduan lagi yang menghadang, bagaimana tidak, selama saya menjalani bulan Ramadan, hanya pada saat itu saya bisa mendengar suara adzan dan lantunan ayat suci dikumandangkan oleh manusia secara langsung. Biasanya Muslim Pro-lah yang mengumandangkan. Rasanya itu lho, seperti mendengar panggilan dari seorang ibu yang menenangkan.
Keadaan yang begitu berbeda ini membuat saya selalu bersyukur tentang Mahabaik Tuhan yang memberikan kejutan-kejutan dalam hidup saya. Ramadan yang sepi dan dingin di sini semoga tetap memberikan keberkahan yang sama bahkan lebih. Walaupun tak pernah mendengar lantunan adzan dan tadarusan, tak pernah merasakan makanan khas Ramadan dan aktivitas yang kerap membuat orang-orang menjadi akrab sekali karena hampir setiap malam mereka ketemu di masjid untuk tarawih, kemudian setiap akhir minggu mengadakan berbuka puasa bersama-sama, dan saling mencicipi makanan masing-masing rupanya atmosfer Ramadan itu masih tetap terasa dari jarak yang tak terhingga yang sering disampaikan oleh keluarga melalui teknologi yang canggih saat ini.
Sebagai penutup saya ingin mengutip sebuah sajak dari Ibnu ‘Arabi yang diterjemahkan Abdul Hadi W.M.
Kupergi
Jika kupergi mencari Dia
Takkan putus ku mencari
Jika menjelang ke hadirat-Nya
Melejitlah Dia dariku
Walau tak jauh dari mataku
Tiada aku melihat-Nya
Semula dalam diriku Dia ada
Tapi tak bertemu sepanjang hayatku