Purwakarta, di Jantungmu Aku Mabuk Masa Lalu
Pukau Kota Pesona Kata
ada yang memang seharusnya hilang
sebagai kenang di ruang lengang
lama tak jumpa, kulihat kau berhias cahaya kota
nyaris tak kukenali jika saja tak tercium aroma lembab
yang ruap seluas kulit tubuhmu itu
Saya teringat bait-bait dari puisi Surat Cinta Untuk Purwakarta karya Rudi Ramdani. Kabupaten Purwakarta yang saya singgahi kala itu memang sedang bersolek habis-habisan dalam rangka menyambut ulang tahunnya yang ke-47.
Sepanjang jalan, janur-janur berjajar gagah, indah, dan megah. Belum lagi lampion-lampion dudukuy dan aseupan yang terpasang menaungi beberapa ruas jalan. Pohon-pohon dibelit kain kotak-kotak. Patung-patung menyambut di setiap perempatan dan pertigaan.
Namun, pesona itu ternyata belum seberapa. Ketika sampai dan menjejak di jantung kota Purwakarta, tepatnya di alun-alun. Saya benar-benar dibikin mabuk.
Ketika itu senja hampir habis. Nun di langit barat, seakan tertusuk ujung kubah mesjid agung, matahari bulat jingga mengucap perpisahan, sementara di langit timur bulat perak bulan mulai merangkak. Namun bukan itu yang bikin mabuk kepayang.
Sepasang air mancur yang menyiram patung kujang raksasa di Taman Maya Datar adalah yang pertama membuat saya bergetar. Air mancur itu berwarna-warni karena disorot dengan lampu-lampu. Sementara di antara kedua air mancur itu, orang-orang masih nampak sibuk menanam dan menata aneka macam kembang untuk menghias taman.
Saya membayangkan taman-taman yang sering saya dengar dalam kisah-kisah kerajaan tempo dulu. Barangkali seperti ini keindahan yang nyaris sempurna di atas keringat para pekerja yang berjatuhan tanpa mengenal waktu. Malam telah jatuh. Mereka begitu setia, mungkin karena mereka sangat sayang kepada kotanya, tanah kelahirannya.
telah bertanggalan tanggal, waktu laju, tak pernah tinggal
jangan katakan usia perpisahan kita melebihi
tahun-tahun kesetiaanku pada pintu, pada genting,
dan dinding rumah yang telah berganti warna itu
Lampu-lampu mulai dinyalakan. Lampion-lampion dalam beragam bentuk menambah kecantikan alun-alun. Takut limbung dan tersungkur, lekas saya berjalan dari dekap keindahan itu. Tapi sialnya, di hadapan saya nampak sebuah bangunan yang megah dari kayu. Ukiran-ukiran indah nan rumit memenuhi tubuh bangunan itu. Lagi-lagi, saya dibawa jauh ke masa lalu, barangkali ini yang disebut babancong, panggung kehormatan yang, konon, suka terdapat di alun-alun jaman dahulu.
Sebuah panggung nampak sedang disiapkan di depan gedung itu.Orang-orang nampak sibuk, hampir semuanya memakai iket. Saya teringat kain toraja hadiah seorang teman yang kebetulan saya bawa, lekas saya ikatkan ke kepala. Lumayan sedikit meringankan rasa melayang-layang di kepala.
Pesona air mancur, taman, dan bangunan antik ini benar-benar hampir membuat saya lepas dari kesadaran. Imajinasi melambung-lambung membawa saya ke ruang dan waktu yang lain. Namun saya harus lekas meloloskan diri dari perangkap kepayang masa silam.
Lepas dari dekap likat babancong itu, saya lama berdiri dekat patung harimau putih. Di depan sana, dalam temaram, tampak tulisan besar, “Taman Pancawarna”. Ah, barangkali harus menyeberang ke sana agar terbebas dari mabuk yang kian merasuk. Tapi ternyata, di sanalah puncak dari segala rasa mabuk itu. Sebuah pendopo berpagar air mancur, tiang-tiang penuh ukiran, di dalamnya nampak gamelan tertata dengan rapi.
Pendopo itu diapit oleh sepasang kolam berhias teratai dan sepasang jembatan yang melengkung. Air mancur seperti rumpun bunga yang terus mekar dan warna-warni mengepung pendopo yang harum dupa. Barangkali seperti inilah yang disebut keraton itu. Patung-patung menatap dari beberapa arah. Dan kereta, mungkin kereta kencana, nampak berjajar di depan gedung bupati. Barangkali di sana kelak akan berdiri istana kerajaan. Bukan tidak mungkin.
Masa lalu tercium begitu keras di jantung kota ini. Nama-nama yang selama ini ditemukan dalam sejarah Sunda, seperti sengaja diabadikan di kota ini. Taman Maya datar, Taman Pancawarna. Ini barangkali wujud cinta pada leluhur.
atas dasar semua itu, Pur
cukup kau sebut aku cinta terakhir
sebab tak ada pemakaman bagi jasadku ini
selain tanah air
Begitu Rudi Ramdani menutup puisinya yang berjudul Surat Cinta untuk Purwakarta. Puisi yang cukup menggambarkan kemabukan cinta tanah air sang penyair.
Dan, di jantung ini saya juga benar-benar mabuk dan tersungkur. Apalagi ketika jerit Tarawangsa terdengar seakan memanggil-manggil bulan purnama. Purnama di langit Purwakarta. Sesekali tercium wangi melati, sesekali terlihat gerak gemulai para penari. Pukau kota ini tak kalah dengan pesona kata penyairnya.***
Tentang penulis
Toni Lesmana. Tinggal di Ciamis Jawa Barat