Fb. In. Tw.

Pulung Gantung

Tubuhnya yang ringkih tampak menyedihkan di hadapan lelaki tua itu. Di antara raung dan isak tangis, Karman berkali-kali dihantam pukulan rotan oleh Mbah Karyo. Mulut kecilnya merintih kesakitan. Meskipun begitu, tak sekalipun ayah angkatnya itu menaruh belas kasihan.

“Sudah-sudah, Pak,” teriak Sutini. Biasanya ia tidak protes melihat suaminya memarahi Karman, tapi kali itu ia benar-benar tidak tega melihat hidung Karman berdarah disambit bilah rotan. Pasti sakit sekali, pikir perempuan gabuk tersebut. Rasa iba mendorongnya untuk membela bocah malang yang ketahuan mencuri sajen bersih desa itu.

Sebelumnya, Mbah Karyo tidak pernah murka sebesar ini kepada Karman. Tentu saja ada banyak bocah nakal di desa Karangpejek, tapi tak pernah ada bocah lain yang seberani Karman untuk melanggar pantang-larang. Tak diketahui alasan pastinya, mungkin didorong oleh keisengan anak kecil yang kurang kerjaan, Karman ketahuan mengendap-endap mencuri sajen bersih desa. Semahan itu kebetulan diletakkan di simpang jalan di dekat rumah mereka.

***

Seminggu sebelum diadakan bersih desa, ditemukan seorang janda muda meninggal gantung diri di pangkal pohon jati di depan rumah peninggalan suaminya. Lazimnya kejadian serupa, orang-orang desa Karangpejek mengaitkannya dengan kemunculan clorot yang mereka sebut pulung gantung. Malam sebelumnya, seseorang mengaku melihat bola api berekor, cahaya merah menyala yang jatuh, melesat di atas genting rumah penduduk. Orang-orang desa Karangpejek menyebutnya sebagai isyarat buruk, penanda bahwa akan ada musibah gantung diri pada warga sekitar situ. Isyarat petaka, ujar mereka.

Tidak salah. Dua hari kemudian, seorang janda muda yang baru ditinggal mati suaminya menyambut maut dalam belitan tali. Tubuhnya yang kaku telah mengeras ketika diturunkan. Lidahnya terjulur, sementara sepasang matanya melotot.

“Mayat ini harus lekas diperabukan,” gumam Kepala Adat yang segera diaminkan oleh warga-warga lain. Tidak hanya itu, pohon jati tempat janda muda gantung diri juga mesti ditebang. Dahan, ranting, batang, hingga daun-daunnya dikeringkan, kemudian dibakar dan dihanguskan. Gunanya untuk mengusir petaka pulung gantung, yakin Kepala Adat. Kalau tidak, bala celaka akan menghantui orang-orang sekitarnya. Bahkan dipercaya, ke mana arah mayat itu menghadap menunjukkan arah petaka selanjutnya akan hinggap.

Sehari setelah jenazah janda itu dikebumikan, Kepala Adat pun memimpin acara bersih desa. Warga-warga dikumpulkan di Balai Desa, kemudian bersama-sama berkeliling sembari mengarak kuda lumping. Di setiap pohon besar, sungai, dan simpang jalan diletakkan tinggalan berupa sajen daging kambing dan ayam yang dimasak matang-matang. Aromanya harum berbaur dengan asap menyan.

Itulah, setelah ikut berkeliling menyaksikan pemain kuda lumping kesurupan, Karman mendadak merasa lapar. Ia mengendap-endap pulang menuju rumah. Entah mendapat bisikan setan mana, ia tiba-tiba berhasrat mencomot makanan dari sajen yang diletakkan warga di simpang jalan dekat rumahnya.

Ia tidak tahu, bersamaan dengan itu, Mbah Karyo juga sakit perut ingin buang air besar. Betapa terkejutnya ia memergoki Karman sedang menyantap tinggalan sajen yang dimaksudkan sebagai pengusir petaka pulung gantung. Anak edan, pikir Mbah Karyo. Seketika itu juga, ia muntab, amarahnya meluap-luap seperti air bah. Sebagai orangtua yang merawat Karman, ia membayangkan bala celaka yang akan menghampirinya. Benar-benar celaka. Dialah yang pertama kali akan menerima akibat perbuatan buruk anak angkatnya itu.

Mbah Karyo lantas menyeret Karman ke halaman rumah. Tubuh ringkih bocah itu ia hantam dengan sabitan rotan. Karman merintih-rintih, meraung memohon ampun. Mbah Karyo benar-benar kalap. Ia baru berhenti ketika Sutini pulang dan mendapati bocah pungut mereka dipukuli oleh suaminya.

“Sudah-sudah, Pak,” teriaknya. Sutini pun lantas menarik tangan Karman dan menuntunnya menuju rumah. Karman masih terseguk-seguk, mengisak tertahan.

***

Lepas tengah malam ketika kokok ayam pertama terdengar, Mbah Karyo terbangun oleh mimpi dijatuhi clorot, cahaya merah menyala itu mengejarnya. Ia lantas menyumpahi Karman yang sudah melanggar pantangan sore tadi.

Dadanya masih sesak. Penglihatannya begitu nyata. Di mimpinya itu, ia berlari kesetanan, kabur dari bola api berekor yang terbang cepat, melesat mengincar tubuhnya. Napasnya tersengal seakan disumpal rasa takut yang begitu dalam. Di antara dengus napas tersebut, ia mendusin. Kokok ayam langsung membuatnya terkaget-kaget. Degup jantungnya berdentam seperti kentungan yang dipalu-palu kala meronda.

Kokok ayam di tengah malam adalah isyarat bala, pertanda buruk.

Mbah Karyo kemudian turun dari ranjang lapuk yang beralas kain. Ia bermaksud menuju dapur mengambil air minum. Itulah ketika ia membuka pintu kamar, terlihat sosok bayangan tergantung tampar. Seutas tali melingkupi batang lehernya. Bayangan itu begitu tenang, diayun-ayun siluet yang dibiaskan lentera malam

Karman?

Paperplane: Yogyakarta, 2019

*Ilustrasi karya Jaroslav Valečka

KOMENTAR

Lahir di Loa Deras, 13 Januari 1997. Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas dan Koran Tempo. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa psikologi Universitas Negeri Yogyakarta, ia aktif sebagai jurnalis di LPM Ekspresi. Cerpennya yang berjudul "Kucing Bunting dalam Luka Seorang Perempuan" dipilih Balai Bahasa Yogyakarta sebagai cerpen terbaik remaja kedua tahun 2017. Cerpennya yang berjudul "Perempuan dan Anjing" juga terpilih menjadi cerpen terbaik se-Asia Tenggara versi Pekan Bahasa UNS 2017.

You don't have permission to register