Fb. In. Tw.

Puisi sebagai Medan Aksi

Oleh William Carlos Williams

Ceramah di University of Washington, 1948

 

Mari kita awali dengan mengutip Pak Auden—dari The Orators: “Perlukah kuingatkan padamu bahwa dirimu tidak lagi hidup di Mesir kuno?”

Aku akan mengatakan satu hal padamu—untuk seminggu! Dan pada Tuhan, aku berharap: setelah menyelesaikan semua ini, aku berhasil membuatmu memahamiku. Ini berfokus pada puisi sebagai medan aksi. Medan di mana pertarungan berlangsung saat ini dan apa-apa yang bisa muncul daripadanya.

Sebagaimana Freud menyatakan dengan getir dalam bagian pertama The Interpretation of Dreams ketika menyampaikan oposisi awal teorinya:

—kaum cendekiawan enggan mempelajari sesuatu yang baru

Kita semestinya mempelajari bahwa karakterisitik tersebut cukup kentara di literatur—di mana mereka akan menyalin “kebaruan”. Selama dua puluh tahun terakhir ini, perulangan yang melelahkan atas “kebaruan” itu menodai setiap jurnal. Aku katakan medan aksi. Aku bisa paham mengapa terlalu banyak harapan, alih-alih perenungan, untuk kembali pada bentuk penerimaan ortodoks yang klasik. Seperti ungkapan Antole France atas pemikiran Freud “Les savants ne sont pas curieux[1].”

Hampir mustahil untuk membawa teks kuantitatif Yunani dan Latin ke dalam bahasa kita. Tapi, pernahkah seseorang bertanya mengapa penerjemahan larik Latin acap kali terpecah ke dalam dua baris dalam bahasa kita? Mengapa [larik] itu tidak bisa mempertahankan karakternya; karakter kuantitatif itu seolah-olah bertentangan dengan aksentuasi larik kita? Sudahkah semua padanan dipertimbangkan atau bahkan dicoba? Aku ragu.

Aku menawarkan padamu sebuah undangan. Apa-apa yang tampak dan apa-apa yang sebenarnya barulah proposal setengah-matang karena aku tidak bisa melanjutkannya dengan pembuktian atau bahkan contoh final. Tapi, setidaknya, aku telah melakukannya dengan mata terbuka untuk apa-apa yang mungkin bisa mengeluarkanku dari bahasan ini dengan mempresentasikannya sebaik mungkin padamu.

Aku mengajukan perubahan sapu jagat atas struktur puisi. Aku katakan struktur. Jadi, kini kamu menuntut untuk terhanyut dalam temaku. Aku katakan kita sudah selesai dengan iambic pentameter seperti yang dipahami saat ini, setidaknya bagi larik dramatis dalam kuatren terukur, rentetan bunyi dalam stanza, soneta. Meskipun belum bernama, banyak lagi yang telah dilakukan dibanding yang kamu kira atas hal ini. Aku percaya sesuatu bisa dikatakan. Barangkali yang bisa kulakukan di sini adalah menarik perhatian untuknya: revolusi atas konsep kaki pes puisi—menunjukkan bukti atas sesuatu yang telah berumur.

Di titik ini, berpaling sejenak akan menguntungkan (sebab itu akan membawaku kembali kepada subjekku dengan sudut pandang baru). Berdiskusi singkat mengenai materiku—maksudku, pokok bahasan, tema, di puisi (sebab itu bukan bahasan utama essaiku ini). Di sini, biarkanlah aku memperoleh segala pertolongan yang bisa kudapat dari Freud; teori mimpi—pemenuhan harapan—yang kuterima holus-bolus. Puisi adalah mimpi, lamunan atas pemenuhan harapan tapi tidak sama sekali sebab medan aksi tersebut dan aksi yang bertujuan meraih keteraturan yang lebih luhung.

Di masa lalu, puisi memiliki tema yang berbeda-beda—hampir bisa dikatakan pilihan tema yang senantiasa bervariasi seperti yang akan kamu lihat nanti. Di sini, aku mesti tekankan bahwa kita hanya akan membicarakan yang-belakangan ini.

Dan biar kuingatkan kamu untuk terus menyadari bahwa realitas bertentangan dengan fantasi dan kuberitahu bahwa tema dalam puisi senantiasa fantasi—apa-apa yang diharapkan, kenyataan dalam alam “impian” puisi. Meskipun begitu, struktur puisi menghadapkan kita pada sesuatu hal yang lain.

Kita bisa menyinggung mimpi Poe di masyarakat perintis, mimpinya akan kelemah-lembutan dan kebahagiaan—lagipun ketertarikan profesionalnya pada metrum dan kesuksesan ekperimennya pada bentuk. Tema mistik Yeats. Shakespeare—anak jagal yang memimpikan Caesar dan Wolsey. Tidak perlu membahas Keats. Shelley hingga Tennyson. Semua tema tersebut adalah harapan dari pencapaian aristokrat—birokrasi “spiritual” dari “jiwa” atau apapun yang kamu ingin.

Di sana, pokok bahasan yang “puitik” tersebut berada dan hal tersebut masihlah puisi—yang ekskusif pula bagi banyak orang. Harapan atas “keindahan” ataupun kesalehan (yang indah pula) diungkap dalam bahasa yang indah—sebuah mimpi. Hal itu tetaplah puisi: mentok. Ya, begitulah dunia diimpikan. Penyair acap kali mengungkapkan harapan umum dan beberapanya berguna di hari-hari mereka.

Akan tetapi, dengan revolusi industri yang terus memapankan diri, spirit baru, zeigeist[2] baru, telah menguasai dunia. Konsekuensinya nilai baru menggantikan nilai lama; konsep aristokrat—yang memiliki sisi gelap jika kamu melihatnya sebagai Kristen. Tema baru mulai dimanifestasikan. Tema baru tersebut mulai mencuat dan sesungguhnya tidak semata pada puisi. Singkat waktu, uang berbicara kemudian, dan para penyair modern mulai menganggit tema baru tersebut ke dalam mimpinya. Di sini, para penyair serius benar-benar mendayagunakan keseluruhan armamentarium revolusi industri ke dalam puisinya.

Sebagai contoh, lihatlah puisi-puisi awal Pak Auden yang berlatarkan industri yang hancur-lebur. Meskipun, hal tersebut telah lalu dan kuno karena ilmu alam baru mengambil tempatnya. Semua itu merupakan satu pokok bahasan tersendiri dan sesuatu yang menarik. Mohon maaf, aku harus meninggakannya untuk topik yang lebih mendesak.

Ingatlah, kita masih berada di dunia impian. Jika itu tampak samar, setidaknya masih berada di dunia pemenuhan harapan. Penyair bukan pemilik, ia bukan seorang kaya—ia hanya seorang penyair, pemimpi, yang bersandar pada bahasa. Yang terbaik dari semua cara berpikirku! Tapi, apakah semua itu puisi? Tentu tidak—tidak lebih dari material mimpi yang merupakan fantasi bagi Dr. Sigmund Freud.

Di sana, ada sesuatu yang lain. Jika kamu mau mendengarkan banyak orang, sesuatu itu permanen lagi sakral. Satu hal yang tidak mau penyair ubah sebab telah merasuki mimpinya. Mereka tidak mau meninggalkannya. Suatu tempat di mana jeda-waktu masih bertahan. Sesuatu itu adalah struktur. Di sini, kita tidak mampu bergerak. Tapi, di sini kita berhadapan dengan realitas. Dengan enggan, kita terbangun dari mimpi kita. Dan apa itu realitas? Bagaimana kita mengetahui realitas? Satu-satunya realitas yang kita ketahui adalah UKURAN.

Kini, kembali ke bahasan kita—struktur puisi. Segala hal di kehidupan bermasyarakat, keterikatan dari kompleksitas ekonomi dari berbagai sektor dan waktu.

(Kutipan Wilson pada Proust—modern physics, etc)

Tapi, untuk saat ini ada baiknya membicarakan terlebih dahulu apa-apa yang disebut free verse[3].

Bagaimana kita bisa menerima teori relativitas Einstein yang memengaruhi konsep kita akan langit yang begitu sering dituliskan para penyair tanpa memperhitungkan fakta esensialnya—relavitas pengukuran—ke dalam kategori aktivitas kita sendiri: puisi. Apakah kita mengira bahwa kita berdiri di luar alam semesta? Ataukah seperti gereja Inggris? Relativitas, seperti cinta, berlaku untuk segala hal jika itu pun berlaku untuk setiap hal di dunia.

Dengan pendekatan ini, aku berusaha memberi gambaran bahwa kita tidak sekedar meninggalkan elemen-elemen pengukuran lama tetapi mencari ukuran baru atau cara pengukuran baru (yang kita percayai keberadaanya), yang akan sepadan dengan kehidupan bermasyarakat, dunia ekonomi yang kita tinggali telah jauh berbeda dengan masa lalu. Lewat banyak jalan, dunia yang telah meninggalkan masa lalu ini menghendaki ukuran baru.

Berdasarkan konsep ini, tidak ada free verse sama sekali. Tegas pernyataanku. Imajisme bukan struktur: itulah alasan sebenarnya atas raibnya gaya itu.

Aku memaparkan impresi tersebut supaya kita telaah lebih jauh. Efek dari gambaran tersebut bisa jauh berpengaruh. Itu bergantung pada banyak hal. Melalui kerja ini, tujuanku adalah segala hal yang membebaniku; bahwa kita menghendaki perubahan.

Apakah itu? Aku nyatakan dengan jelas dan tegas—bahwa itu berada dalam strukur larik. Aku mungkin tidak melihat yang ada di balik hal lain yang tidak kuacuhkan ataupun kusangkal—di sini, aku hanya mempertahankan satu hal dan itu adalah temaku.

Aku harap kamu menyimak pembahasanku yang kuharap dapat kupintas lewat. Ini bisa dikatakan, aku berharap menghancurkan masa lalu. Persisnya, persembahan untuk tradisi. Kritikku tidak merusak tetapi memulai juga menuntun rangsangan serta penghargaan yang menerima dan memperkaya penggunaanya.

Mempersiapkan keutuhan proposal untuk pengayaan teknis—dengan tujuan untuk membebaskan kemungkinan menggambarkan realitas dunia modern yang telah kita saksikan tidak lagi terasa seperti dahulu—dengan maksud untuk lebih mampu merasa (atas hal yang kita tahu kita kurang rasakan atau andaikan seperti itu. Khazanah kosa kata membuka pikiran kita terhadap perasaan). Tapi, karena kita telah belajar bahwa untuk lebih banyak merasakan apa-apa yang kita miliki, kita harus memiliki sarana untuk merasakan—token dan aparatus. Di masa kita, modern dalam psikologi dan segala ketergantungannya yang kita ketahui. Kita kekurangan akan sarana—perlengkapan tepat guna harus memiliki sarana yang tidak dimiliki masa lalu sebagaimana halnya penggunaan modern produk kimia untuk pemurnian. Puisi kita tidak dibuat cukup baik. Struktur, tata aturan, puisi kita tidak sanggup mengeluarkan perasaan kita.

(Catatan: kemudian tampak (sedetail yang kubisa) apa yang kita bisa peroleh di akhir sesi dengan mengkaji karya awal abad dua puluh. Kerja rampung.)

Kita mencari keberlimpahan. Produk massa, heterogen, beraneka ragam, penuh sesak—seolah-olah seperti Audubon yang sesungguhnya menembak seekor burung kecil hanya untuk melihatnya dari lebih dekat.

Jika karya siapa saja kekurangan perbedaan yang bisa diharapkan dari seniman jadi, kita mungkin bisa memikirkan keberlimpahan Rabelais—sebagai lawan dari hasil yang terbatas. Kita, bangsa Amerika, mesti berkelimpahan untuk saat ini. Kita perlu membangun massa, mungkin konglomerasi, yang mengandung sedikit permata, sebagian kecil, dari seorang Brasil yang brilian, yang mampu bersinar dengan sendirinya dan dibiarkan sebagaimana adanya.

Kini, ketika Pak Eliot datang, ia menghadapi pilihan: 1. Ikut kerumunan dengan menganggit suara burung hitamnya ke kawanan, berkontribusi kepada konglomerat (ataupun mengerjakan itu sebagai hasil seleksinya) atau 2. Pergi ke tempat di mana telah ada massa yang memiliki perbedaan jelas (memunggungi yang pertama), literatur yang mapan dalam bahasa yang ia gunakan; posisi yang mapan dalam khazanah literatur dunia; pintasan cepat.

Berhenti sejenak untuk menegaskan posisi kita: ini bukan soal Pak Eliot. Kita menciptakan bolus modern: itulah beban kita yang bagaimanapun juga tidak berbeda; keberlimpahan itu mesti kita sertakan dengan adil, berlawanan dengan pembedanya. Ia ada sedikit puisi yang cantik terangkai—tiga puluh lima kutipan dari tujuh bahasa dalam karya terpanjangnya. Kita, katakanlah, merupakan khotbah Launcelot Andrewes dan beberapa pemilih akan menganggit suatu frasa dari sana. Atau katakanlah, Upanishad akan memberi satu kata! Di sana terhadap kegemilangan yang berpijar. Kita mesti menghargai mereka—para penyari pati kegeniusan—atas apa yang mereka lakukan: menyari pati. Tapi mereka di sana dan kita di sini. Mustahil untuk meniru mereka. Kita berada di fase yang berbeda—bahasa yang baru—kita menciptakan massa yang nantinya digali Eliot selanjutnya. Kita mesti melihat kesempatan kita dan menumpuk sisa-sisa dari yang kita temukan. Kita mesti menemukan rasa bangga diri kita di situ. Dalam usaha penciptaan ini, Kita mesti memiliki rasa bangga, kerendahan hati, dan debaran jiwa. (ceritakanlah kisah Bramante dan Kubah Duomo di Florence).

Mula-mula, kejelasan yang kita perlukan di sini adalah kita tahu apa yang kita lakukan—apa yang mungkin kita lakukan: mengulang lagi pemeriksaan sarana dengan dasar baru. Pada titik ini, bukan analisis melainkan akumulasi. Kamu tidak bisa berharap diri kita menjadi masyhur (sebagaimana terbaca dalam pencapaian istimewa—satu puisi yang menakjubkan. Kita tidak melakukan serupa itu. Kita tidak meletakkan setangkai mawar di vas kaca kecil di jendela. Kita menggali sebuah lubang untuk menanam pohon—di mana kita ikut tertanam di dalamnya.

(Catatan: cerita Pound akan ketertarikanku pada lempung sedangkan dia menginginkan barang jadinya).

(Catatan: bacalah Bridges—dua bagian pendek dalam antologi: 1. The Child 2. The Snow).

Kita mulai dengan mengambil apa-apa yang sejauh ini lebih dari sekedar perasaan (perasaan yang asing bagi Pak E. ataupun Pak P—meski tetap lebih dekat bagi mereka dibanding bagi orang lain). Sesuatu yang mendapat tempat atau semestinya mendapat tempat dalam prosodi yang diterima. (Kita, tentu saja, memiliki gaya prosodi Whitman. Tapi ia adalah bahasan yang sulit dan aku tidak mau membahasnya untuk saat ini). Ini seperti perasaan yang pertama kali menyeruak ketika Einstein menelusuri dalil Isaac Newton di fisika. Setelah lama ajek, kita mesti melihat nilai prosodi kita sebatas relatif benar. Einstein mendapati kecepatan cahaya itu konstan—satu-satunya yang konstan baginya. Apa yang kita miliki? Barang kali, konsep waktu musikal kita. Aku pikir begitu. Tapi, hal itu jangan kita terima begitu saja setidaknya sesaat ini.

Dalam banyak kasus, kita, penutur bahasa baru, yang los dol, kehilangan arah (secara linguistik), dan mudah melamun, (kukira) berprivilese untuk merasai dan juga menelaah kemungkinan yang mampu mengacaukan tabel ukuran metrum—sebagaimana elemen yang belum dikenali mampu mengacaukan tabel periodik massa atom Mendelyeev sebelum mengarahkannya ke penemuan-penemuan lanjutan.

Dan kita lebih baik menuntaskan kerjaan dan mendapati penemuan kita sendiri atau seseorang lain akan mengerjakannya untuk kita secara tertutup—dalam diam, tanpa pengakuan. Seseorang mencatat hutang budi di buku hariannya hanya untuk penulis yang sudah meninggal—semakin lama, makin disuka.

Kita berharap dapat menemukan cara objektif untuk menyimak larik dan mendefinisikan ulang setiap elemennya, yang aku katakan ini adalah tema (radium) yang mendasari eksperimen Bridge. Ragi yang menghidupkan Whitman dan semua penyair “modern”.

Kekeliruan kita adalah tidak segera menyadari tujuan yang jelas, terlepas dari solusinya, dalam proyek itu sendiri. (Catatan: Mag Kecil: Variegasi). Tapi satu hal, kesetengahsadaran kita akan penemuan menjadi terang. satu hal yang hebat soal “bom” adalah gugahan yang memberitahukan kita bahwa perubahan katastropik (mengapa bisa?) dapat pula terjadi dalam pikiran manusia, di seni dan di kesenian… Kita tidak merealisasikan sepenuhnya sebab tertekan ketakutan kita sendiri. Meskipun itu mungkin. Itulah yang kita maksud. Ini bukan optimisme melainkan kimia atau jauh lebih baik lagi, fisika.

Timbul tenggelam, kilau itu muncul sebelum para gnome buru-buru menyembunyikan jejaknya sebab efeknya meluluhlantahkan kita semua tepat di hadapan kita.

Catatan: Untuk pertama kalinya di literatur, Proust (Wilson) menyediakan perbandingan yang sepadan bagi teori baru fisika modern di antara gaya dan ilmu alam. Aku menunjukkan ini untuk memperlihatkan bahwa keduanya bisa berhubungan. Intelek.

Kini, satu isu yang sepenuhnya baru: Pak Auden merupakan kasus yang menarik—faktanya, ia menghadapkanku pada isu yang menentukan. Puisi-puisinya betul-betul layak dipelajari untuk tema ini, sesuai konteks.

Tidak ada penyair modern yang cukup gemilang—impresif dalam penggunaan sarana puitik. Ia bisa melakukan apa saja kecuali satu hal. Ia datang ke Amerika dan menjadi warga negara. Mesti kukatakan, ia sungguh-sungguh belajar. Pak Auden tidak mungkin datang tanpa tujuan apapun atau, jika kamu mengenalnya, tanpa perenungan mendalam yang meyakinkan kedatangannya. Jangan merendahkannya dengan hal superfisial yang terlintas di benakmu—bahwa ia membenci Inggris, dsb. Ia datang ke sini sebab krisis dalam karir kepenulisannya. Pak Auden bisa tidak sepakat pada beberapa hal ini tapi ia tidak bisa tidak sepakat kalau aku mengatakan bahwa dirinya penulis yang menulis sebagai bagian dari hidupnya. Tulisan adalah nafasnya, yang seperti setiap orang lalui, sebelum pada akhirnya menghembuskan seluruhnya.

Auden bisa saja pergi ke Prancis atau Italia atau Amerika Selatan atau mengikuti Rimbaud ke Ceylon dan Timbuktu. Tidak! Ia datang ke Amerika Serikat dan menjadi warga negara. Kini, krisis yang sanggup menyetir seorang penyair hebat sehingga ia berpikir telah sampai ujung puitiknya—sesuatu yang tidak bisa lagi disediakan Inggris. Ia datang ke sini untuk mencari jawaban, secara implisit, di bahasa yang lain. Aku belum melihat bukti yang menunjukkan penemuannya. Aku bingung, mengapa bisa terjadi? Bayangkan, ia penyair masyhur, paling berbakat pada zamannya. Ia bisa melakukan apa saja.

Namun, ketika ia menulis ode untuk musim juara tim sepak bola sekolahnya, sebagaimana Pindar menulis untuk pahlawan olimpiade dari masanya—terlepas dari temanya yang tampak trivial, puisi itu berhasil dengan metrum klasik. Selalu menjadi pertanda buruk bagiku ketika problem agama ataupun sosial mulai menyelinap ke kerja-kerja penyair. Kamu bisa memahami ini sebagai aturan umum. Ketika penyair mulai menghambakan dirinya pada tema genre puisi, ia telah mendatangi akhir dari sarana puitikanya.

Apa artinya semua ini? Bahwa Auden datang ke sini untuk menemukan cara baru dalam menulis—di tempat ini, tampaknya wajar bila seseorang berharap menemukan ketidakstabilan di bahasa dan memeroleh inovasi di rumah. Pak Eliot bahkan sekali waktu mengatakan bahwa drama puitik tidak lagi bisa ditulis dalam iambic pentameter dan jazz barangkali bisa memberikan saran. Ia bahkan menulis sesuatu tentang “My Baby”, meskipun itu tidak cukup berhasil sebab hal serupa itu amat jarang kita dengarkan sekarang.

Aku berharap bisa menempatkan Auden sebagai serangan utama atas keseluruhan bidang struktur puisi. Aku telah mencobanya tapi belum menemui kesuksesan sejauh ini. Aku pikir ia gagal mendapat apa-apa yang ia cari di sini (dan itu mungkin sudah takdirnya).  Aku kira kita telah mengecewakannya. Ia, barangkali, mengecewakan dirinya. Aku yakin serangan ini semestinya terkonsentrasi pada keketatan pes kaki puisi.

Ini bermula dari kritik dasar puisi Auden—sebagai alasan kedatangannya ke Amerika yang juga menyediakan ilustrasi bagi teori-teoriku. Lihatlah puisinya dengan pandangan ini—keahliannya tampaknya mengalahkannya. Menurutku, hal itu tidak perlu dilakukan terus-menerus.

Sementara, Pak Eliot menulis Quartets. Ia adalah penulis lihai yang tahu cara menggencet keluar setiap daya yang tersisa dari materialnya. Ia bekerja dengan baik meskipun kukira ia tidak begitu mengerti atas apa-apa yang ia kerjakan; pengembangan cara baru dalam menulis yang mengikuti cara baru hanya digunakan segera setelah tulisan tertentu itu rampung. Aku tidak begitu yakin dia mengetahui apa-apa yang dia lakukan.

Akan tetapi, terlepas segalanya dan benar-benar mengabaikan tema, genre, puisinya, eksperimen Eliot dalam Quartets, meskipun terbatas, lebih memperlihatkan spirit Amerika yang kucari daripada semua yang bisa dihasilkan Auden dengan kepekaan bahasa Inggris beserta keinginan paling gigih di seantero dunia.

Ini menjadi tragedi atas situasi yang memerangkap kita semua ke dalam waktu di mana kita tidak dapat mengusutnya. Dengan pergi ke Inggris, orang Amerika mungkin akan memberi kontribusi atau membantu seorang Inggris yang datang ke Amerika dengan keinginan paling gigih di seantero dunia untuk menemukan sesuatu yang pada akhirnya tidak dapat ia temukan.

Karena itu, menurut Edmund Wilson dalam Axel’s Castle, orang Amerika-Prancis dengan iambic pentameter dalam benak mereka mampu meruntuhkan bahasa Prancis dari sajak enam-silabel dengan cara yang tidak terduga pada masa-masa awal gerakan simbolis di Paris. Ezra Pound pun layak dipertimbangkan atas problem serupa. Seiring waktu berjalan, aku menyadari bahwa aku sedang menguraikan perkuliahan selama setahun atau setidaknya sesemester.

Kini, kita sampai pada pertanyaan mengenai asal-muasal penemuan kita. Dari mana lagi kita bisa menemukan apa yang kita cari kalau bukan dari logat? Logat orang Amerika yang kiranya berbeda dari logat orang Inggris. Bagaimanapun juga, dari apa yang kita dengar di Amerika (karena kita tidak memiliki puisi yang sebanding dengan bahasa Inggris). Ini bukan studi tentang karya klasik, bukan pula karya klasik Amerika. Aku mesti mengingatkan bahwa karya klasik yang tersingkir tidak pernah kita dengar sebagai logat sehari-hari. Tidak ada lagi yang bisa mendengar karya itu sebagaimana tulisannya; sama halnya dengan kita mendengar bahasa Yunani.

Untuk mempertegas, aku ulangi lagi perkataan yang sering kukatakan. Kita mesti mengindahkan bahasa supaya kita menemukan apa yang kita harapkan. Ini tidak sama dengan model hierarkis atau cacing pita (model pengajaran sekolah) yang menambahkan sesuatu ke bidang puitika. Kita bakal membahas ini lain waktu.

Dengan begitu, asumsiku yang belum terbukti atas karya Auden tidak bisa mendapat banyak petunjuk pada komposisi literatur dalam bahasa orang Amerika dibanding dari orang Inggris—di mana mereka dibentuk klasisisme dan “selera tinggi”. (Catatan: kata “tete” dalam bahasa Prancis merupakan derivasi dari “pot”). Aku akan katakan lebih tegas lagi bahwa hal ini menarik tapi ada hal-hal yang jauh lebih mendesak untuk saat ini.

Di bahasan pertama, seperti H. L Mecken dalam The American Language, kita mesti tanyakan; di mana bahasa orang Amerika? H. L. Mecken telah menunjukkan bahwa siswa Amerika itu bilingual. Mereka bicara dalam bahasa Inggris di dalam kelas sementara di luar kelas mereka bicara dalam bahasa ibu mereka.

Kita memahami kemudian bahasa orang Amerika yang dibawa Eliot dan Pound ke Eropa di kuping mereka—willy-nilly—ketika mereka pergi dari sini untuk berpetualangan adalah yang dicari Auden dengan datang ke sini untuk menemukan itu—dan mungkin terlalu terlambat.  Bahasa yang dipenuhi petunjuk melalui kebaruan yang kini aku gunakan. Aku tidak tertarik dengan sejarah tapi hal itu memberikanku poin yang layak dipertimbangkan. Peluang emas untuk mengetahui perkembangan yang ada sebelum kita sampai ke titik ini.

Aku katakan “petunjuk dari komposisi”. Ini tidak berarti realisme dalam bahasa. Arti yang kumaksud adalah cara baru mengatur bahasa. Buatku, utamanya, ini berarti kesempatan untuk mengembangkan struktur fundamental dalam penulisan puisi.

Ini adalah kesempatan untuk menyerang bahasa puisi secara serius. Bagi kita, bahasa kita serius dalam arti yang berbeda dari bahasa Inggris. Bagi mereka, bahasa Inggris serius, terlalu serius, sampai tidak adanya dialek yang terbentuk. Dialek mereka ada pada fase yang bergerak, fase yang berubah, fase yang produktif—sebagaimana bahasa mereka ada pada Chaucer, Shakespeare, Dante, dan Rabelais di zamannya.

Di percakapan yang hidup, bahasa berubah dan menawarkan sarana baru untuk memperluas kemungkinan ekspresi literarur dan, yang terpenting, struktur fundamental.

Bagi orang Inggris, bahasa Inggris adalah Inggris itu sendiri: “Sejarah adalah Inggris” ujar Pak Eliot. Bagi kita, tidak bisa begitu. jika kita bisa membuktikannya dengan menuliskan puisi yang menentang klaim tersebut—bila sebaliknya, dia benar!! Akan tetapi, itu akan mengarahkan pada kontroversi lain. Bagi kita, pengulangan hash pengulangan bukanlah urusan.

Studi seluruh semester tersirat di sini. Mungkin seluruh program studi pascasarjana dengan tesis yang bisa meluas jadi pekerjaan seumur hidup!! Tetapi sebelum aku terlalu banyak memuji dan menganjurkan metode eksperimental, izinkan aku menekankan bahwa, seperti ciptaan Tuhan, tujuannya bukanlah eksperimen tetapi ciptaan. Dalam kasus kita, puisi! Dari apa yang ditunjukkan sejarah alam, tampaknya ada cukup banyak eksperimen tetapi itu bukanlah puncaknya. Puisi adalah yang kita inginkan.

Dan sekali lagi, izinkan saya menekankan bahwa ini adalah sesuatu yang telah terjadi dan tidak dikenal selama bertahun-tahun—di sini dan di Inggris. Apa yang kita lakukan adalah mencoba menemukan dan mengisolasi dan menggunakan elemen atau prinsip dasar yang memotivasi perubahan ini yang mencoba untuk berbicara langsung. Tidakkah kamu sekarang mengerti mengapa aku mencela soneta selama bertahun-tahun? Dan mengapa dibela dengan begitu keras? Karena soneta adalah bentuk yang tidak menerima perubahan struktural sekecil apa pun dalam komposisinya.

[1] Para cendekiawan tak lagi penasaran (Penerjemah)
[2] Semangat zaman
[3] Puisi/sajak bebas

Sumber
William Carlos Williams, “The Poem as a Field of Action” dari Selected Essays of William Carlos Williams, hak cipta © 1954 oleh William Carlos Williams. Diterbitkan ulang atas izin New Directions Publishing Corporation.

William Carlos Williams (17 September  1883 – 4 Maret 1963), penyair Puerto Rico-Amerika. Pelopor puisi imajis Amerika. Selain menulis puisi, Williams yang merupakan seorang dokter ini juga menulis esai, novel, dan naskah drama.

KOMENTAR

Mahasiswa fakultas filsafat. Menulis dan menerjemahkan puisi dan esai. Kontak via twitter @senorwenceslao

You don't have permission to register