Fb. In. Tw.

Puisi sebagai Kekuatan Melangkah

Puisi-puisi Ratna Ayu Budhiarti dalam buku kumpulan puisi Magma: 72 Puisi (Penerbit Gambang, 2017) ini terdiri dari 72 puisi, seperti tertulis sebagai sub judul di sampul bukunya. Ratna membagi puisi-puisinya dalam empat bagian, yaitu Rasa, Perempuan, Refleksi, dan Peristiwa.

Jika membaca sepintas puisi-puisi Ratna dalam Magma, saya seolah diajak memahami masalah-masalah personal penulisnya. Betapa berbagai peristiwa di dalam dan di luar dirinya menjadi tema utama dalam buku yang juga dijadikan kado saat ia memasuki usia baru (9 Februari).

Kegelisahan, cinta, kenangan, mimpi, dan harapan, disajikan dalam bentuk puisi sebagai kekuatan untuk melangkah. Seperti dikatakan pada pengantar buku yang dibubuhi tajuk “Persembahan Magma” ini:

Dalam kumpulan puisi ini, seorang perempuan yang memang lebih banyak “merasa”, menjadikan berbagai peristiwa itu sebagai bagian dari kekuatannya untuk melangkah.

Namun, ketika menghadapi sebuah karya, terlebih-lebih puisi. Tentu saya tak sekadar melihat apa yang tampak di depan mata. Saya mencoba memahami kata demi kata, frasa demi frasa, kalimat demi kalimat, hingga bait demi bait, yang tertulis. Saya berusaha keras menemukan apa yang ingin diucapkan penulis dalam puisinya.

Dengan begitu, saya akan menemukan gaya ucap seorang penulis pada puisinya. Atau, mungkin saya akan menghayati makna yang tersembunyi di dalamnya. Jika saya tak menemukan keduanya, saya tak akan kecewa. Sebab tak semua puisi sesuai dengan harapan semua orang.

Betapa pentingnya gaya ucap bagi seorang penulis. Gaya ucap itu tak terlontar begitu saja. Ia lahir dari kemampuan dan kecermatan berbahasa penulisnya. Sejatinya, gaya ucap merupakan identitas seorang penulis yang berkarya dengan medium bahasa. Dalam hal ini, saya kira Ratna memiliki cara sendiri ketika mengolah bahasa sebagai gaya ucap puisi-puisinya.

Dengan kata lain, Ia tak hanya menyemburkan kata dari bergolaknya magma perasaan dalam inti dirinya. Setidak-tidaknya, bahasa itu ia gunakan untuk mewakili peristiwa, pengalaman, renungan, dan perayaan-perayaan yang dikhidmatinya.

Magma, lahir dari peristiwa yang saya lihat, alami, rasakan, dan renungkan. Selain untuk merayakan peristiwa-peristiwa yang mampir dalam kehidupan saya,…

Pada bagian pertama Magma, Rasa, Ratna menyajikan puisi-puisinya yang terasa sedikit sentimental. Saya kira Ratna sengaja mengumpulkan sejumlah “perasaannya” pada bagian pertama ini. Seperti dapat kita baca pada puisi “Kuabadikan” ini:

Aku mengabadikan namamu/Di bangku kayu, di tiang, dan nyala lampu/Berapa ratus tahun kata-kata dapat bertahan?/Sedang aku bersetia membukakan jendela//Setiap pagi, setiap udara kerap memaksa/Melesakkan ingatan dan kenangan/Ke dalam kepalaku yang berisi pasar/Juga daftar belanja dan mimpi buruk//Aku mengabadikan namamu/Pada debar dada, tarikan napas, dan luka/Berulang ditenggelampaksakan//Aku mengabadikan namamu/Seperti senyum yang kutanam/Dalam matamu.// (“Kuabadikan”, 2015; hlm. 13)

Pada puisi tersebut, Ratna tak sekadar menumpahkan sentimentalianya. Ia juga berusaha keluar dari belenggu perasaannya yang “menyiksa”. Apa yang kita baca dalam puisi “Keabadian” dapat kita rasakan juga dalam puisi “Di Antara Derai Gerimis” berikut ini:

Kau sesungguhnya tahu,/mengapa jendela itu tidak tertutup/Dari sana kau akan selalu melihatku,/aku akan selalu melihatmu.//Kau akan selalu melihat seseorang di tepi jendela,/Aku akan selalu melihatmu duduk di bangku kayu,/Menghunjamkan tatapan lewat derai gerimis//Aku cemburu pada daun, pada pohon,/pada segala yang jatuh dan berserakan di beranda.//Aku ingin jadi hujan, jadi angin,/jadi daun, jadi pohon, jadi apa saja/yang meneduhkan kegelisahan.// (“Di Antara Derai Gerimis”, 2015-2016; hlm. 29)

Jika dicermati, kedua puisi tersebut begitu alegoris. Kedua puisi tersebut mungkin memiliki maksud tertentu. Meski Ratna tak menawarkan gaya ucap yang luar biasa, tetapi ia tak kehilangan cara untuk mengungkapkan puisinya secara liris. Penggunaan alegori untuk menyembunyikan maksud dengan imaji-imaji yang disajikannya saya kira cukup.

Pada bagian kedua, Perempuan, kita seperti dijejali pernyataan-pernyataan Ratna tentang perempuan. Meski, saya tak melihat pernyataannya itu sebagai upaya revolusioner untuk menyuarakan perempuan lainnya. Tetapi, saya lebih melihat sebagai pernyataan personal Ratna, seorang penulis.

Di bagian ini, saya sedikit mendapatkan kesan melodramatik. Pengucapan hiperbolis cukup dominan pada kedelapan puisi yang terhimpun di bagian Perempuan ini. Salah satunya adalah puisi “Perempuan Baja”:

Aku adalah perempuan dengan magma ratusan tahun siap/meledak/Aku adalah perempuan yang memanggul sekeranjang anak/panah kepedihan,/siap kubidik menuju jantungmu kapan saja/Aku perempuan angin, perempuan api, perempuan yang siap/menyerukan peperangan pada bala tentara berkuda/Aku perempuan dengan seggenggam doa dan jubah baja/Aku perempuan, anakku perempuan,//KAU APA?// (“Perempuan Baja”, 2014; 39)

Namun demikian, di bagian ini pula, Ratna menyuguhkan metafora-metafora, meski tak terdengar begitu baru. Seperti hati baja, perempuan baja, panah kepedihan, perempuan angin, perempuan api, dan lain-lain. Metafora-metafora tersebut bagai lava yang mengalir deras dari lereng renungnya yang paling berkecamuk kepada apa-apa saja yang “melukai” dirinya.

Tak mudah menikmati puisi-puisi Ratna yang hampir semuanya ditulis dengan narasi prosaik ini. Saya butuh upaya sungguh-sungguh untuk menemukan yang paling saya nikmati. Baik sebagai bacaan maupun renungan. Di antara yang saya sukai adalah puisi “Pohon Tua di Halaman”. Puisi ini terdapat pada bagian ketiga Magma, yaitu Refleksi. Berikut petikan lengkap puisi tersebut:

Bahkan aku lupa, kapan kali terakhir/Ia kupanjat, atau daun-daunnya luruh/Tersangkut benang gelasan/Waktu ngadu bandring bersama sepupu//Di halaman rumah ini, ribuan kabar/Silih berganti di antara denting piring/Dan decak mulut kepedasan/Mencicipi sambal terasi;/Nasi hangat, goreng ikan,/Teri jabrig pelengkap botram/Rutin digelar/Di tiap perjumpaan//Pohon itu juga menjadi saksi/Siapa yang datang dan pergi/Jadi keluarga, atau sekadar kerabat/Mengukir kisah selewat//Berapa tahun usia pohon itu/Memang tidak penting/Tapi ia masih tumbuh dan bertukar oksigen/Dan tetap menyaksikan keluarga kecil/Yang juga tumbuh dan semakin/Tak punya waktu banyak/Untuk sering bersama.// (“Pohon Tua di Halaman”, 2016; hlm. 59)

Saya menyukai puisi ini, bukan karena unsur-unsur puisi yang terdapat di dalamnya. Melainkan, karena saya merasakan kejujuran yang tulus dari puisi ini. Imaji-imaji yang tersaji seperti tak dapat dielakkan dari perasaaan, pencecapan, pendengaran, dan pandangan saya. Semuanya tersaji utuh. Dan, sajak ini ditutup dengan ilusrasi kesunyian yang begitu terang tapi selaras.

Puisi yang nadanya mirip “Pohon Tua di Halaman” dapat kita temukan juga di bagian terakhir dari Magma, Peristiwa. Adalah puisi berjudul “Kepada Oma”. Dalam kedua puisi tersebut, Ratna mengunggah kembali kenangan masa lampau dan perbandingannya dengan masa kini dengan sepenuh kepolosan.

Entah kenapa, saya suka dengan dua puisi itu. Meski terkesan sederhana, tapi keduanya memiliki kedalaman makna. Kedua puisi tersebut tak berupaya tampak gaya. Tak bersusah-susah menujah kegelisahan. Tapi, sudah cukup untuk mengajak saya merenungkan hal-hal yang tak mungkin kembali lagi di masa kini.

Berikut dapat kita baca puisi “Kepada Oma” secara lengkap:

Sebilah papan congklak menyimpan gelakmu/Kuhitung kewuk sekali lagi, memastikan nilai matematika/Tak pernah kurang dari angka delapan, demi pertaruhan/Siapa yang harus tidur siang atau menuntaskan bacaan//Aroma minyak goreng panas, dan perkedel kentang/mengadon di telapak tangan/Menciptakan kernyit di kening, dan tawa renyah sebotol/saus tomat/Juga bakwan udang di meja makan//Dua puluh tahun berlalu, tak ada lagi kado natal yang/diam-diam kubuka di bawah pohon cemara dengan lampu/kerlap-kerlip/Mengintip pintu kamarmu yang rapat menunggu pagi//Nyanyian Malam Kudus berdentang di kepala:/Ini menjelang Lebaran kedua puluh tanpa/Lontong dan opor sayur buatanmu.// (“Kepada Oma”, 2014; hlm. 72)

Penghayatan atas kenangan dan segala peristiwa itulah kemudian yang membuat Ratna tetap berpijak ke bumi. Kenangan dan peristiwa itu dikekalkan Ratna menjadi puisi. Dengan kesadarannya pula, puisi menjadi kekuatan baginya untuk terus melangkah menempuh dunia, sebagai perempuan dengan sejumlah persoalan personal. Persoalan-persoalan yang belum tentu dapat dimengerti oleh orang lain.[]

Catatan ini disampaikan pada peluncuran Magma: 72 Puisi di Padepokan Sobarnas Martawijaya, Garut, 16 Ferbruari 2017.

KOMENTAR
Post tags:

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register