Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Titan Sadewo

Mengingat Pedusi

perempuan itu berjubah sepi
menyimpan kenang dalam dada
masa kelam–tentang seorang
lelaki yang menghapus air mata

matanya langit yang basah
di atasnya, dua pelangi memisah
angkasa raya adalah keningnya
bintang kejora bersinar di sana

setiap malam selalu ada bismika
yang datang dari arah tak terduga
seorang yang jauh mengirim itu
untuk melengkapi kantuknya

perempuan itu berbicara dengan
bahasa kesedihan dan tak pernah
mau untuk mengucapkan selamat

datang.

2019

Kepada Asha Yusi Sania

telah sampai aku di braga
membawa seluruh kata
yang termaktub dalam
kamus besar bahasa kita

lukisan-lukisan ini terus
memandangku seraya
bertanya: untuk siapa
kau memberi tunggu?

aftab menguning dan pulang
juga burung-burung ke sangkar
lampu-lampu membuka mata
pertanda malam segera tiba

tapi aku masih menunggu

sambil menatap gedung tua
yang menyimpan kenangan
juga kerinduan bagi kotamu

orang-orang datang pergi
menjinjing luka yang menetes
di trotoar penuh jejak sedih

kecemasan mulai menerkam
seperti pisau yang menusuk
dadaku; sungai darah yang
bermuara padamu.

2019

Kemudian Hari

dia mengetuk pintu dan kita
tak peduli siapa yang datang
kecuali tukang pos mengantar
surat kenangan dari anak-cucu

menjadi renta ialah menghitung
uban, usia yang memutih juga
memijat punggung–pegal encok
merajai tubuh kita: perihal tua

membungkuk tanda bahwa kita
telah melawan waktu dan keriput
bukti perjalanan panjang berdua
lewati hari-hari haru membiru

di kalender tak ada tanggal merah
‘tuk menyayangimu dan mengingat
masa muda seperti memutar film
yang tak pernah tayang di bioskop

gramofon melagukan suaramu
khusyuk kudengar sambil baca
kamus besar bahasa kita

dan mencoret kata ajal.

2019

Menukar Tangan

demi hujan turunkan
tanda dari langit, demi darah
mengucur dari lenganku, demi
kata-kata membohongi kita

biarkan sol sepatu ini menujumu
walau trotoar penuh sampah dan
angin menyusup ke paru-paru

barangkali kau di sana, sendirian
dan menangis. tetaplah menunggu sampai
matamu rabun dan kakimu patah

aku berjalan dengan tangan kiri buntung
dan tangan kanan membawa gergaji

biarkan sol sepatu ini menujumu.

2019

KOMENTAR

Lahir di Medan 2 Desember 1999. Mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU. Belajar menulis di FOKUS. Puisinya dimuat Riau Pos, Haluan Padang, Banjarmasin Post, Analisa, Obeliapublisher.com, Kibul.in, Buletin Lamun, Buletin Filokalia, Buletin Lintang.

You don't have permission to register