Fb. In. Tw.

Puisi-puisi Radja Sinaga

Duka Sexagesima

kami kemas sonder dan pujapuji
pelupuk mata kami ialah kau:
tubuh berdaging
mata belum terkatup
sebelum Brastagi jiwamu tiba di tanah peranakan

sedang kami dan tubuhmu berselimut sirine
kabut, rimbun hutan, belokan jalan, dan kemacetan

kami tanya ke ingatan masing-masing
apakah jalan pulang menggulung dirinya

tapi takdir memaksakan kami
menyulang trioxane

sulangkan! silangkan! 

kami kemas sonder dan pujapuji
sexagesima kami rayakan dengan segelas kesembuhan
sepotong nubuat kau akan sadar kembali dan mengajar
tapi doa yang dirapal—dan tangisan itu—kepompong kematian

menetas
membawamu
mendahului kami

2021

  

Kediaman

ketika aku berhasil dihapus
tak ada tempat kecuali mimpi
kemarin jadi seekor anjing
kehilangan lolongan sepertiga malam
dan esok diam depan mata pedagang
atau pelayan toko dua-puluh-empat-jam

di satu siang yang sebenarnya tak pernah ada
—sebab Kejadian 1: 3 adalah kebohongan dunia
dan Tuhan tak pernah rela menciptakannya—
gigimu bertanggal semua setelah ciuman
dan keyakinan tetap pulang
di luar ingatan dan masa depan

dalam hidup kau ingin selamanya tidur
memenjarakanku di kasur dan detak jam
sedang dapur dan piring kotor dikerubungi
kucing dan kecoa menetaskan anak-anaknya

dalam mimpi aku ingin selamanya hidup
melihat orang dikuduskan menghapus dirinya
dan tak pernah menemukanku
sebab kau merangkul erat bantal
yang kapasnya mengawang di langit,
mengawangkanmu ke mana

2021

  

Rumah Akhir Zaman

hiduplah di parauku
sekali lagi
pulang tak menunggumu
halaman rumah yang basah itu tanda
ketika kau injak tak memantul bayangan
kecuali langit tak berawan
seekor ular menunggu mati
di kaki elang lupa sarang

jalan yang kau sangka berujung
yang membawamu ke meja dan teh
teriakan ketika bak mandi penuh
terhapus oleh empat belas tahun:
ayahmu pulang membawa mabuk
kebengisan dan membunuh
diseretnya

rumah berduka
dedaunan jambu dan debu dari cor jalan
yang ditambal lima tahun sekali melayat
dan adikmu pulang mengemas kengerian
beberapa bulan kemudian di koran kota
ia ditulis jurnalis yang latah berbahasa

hiduplah di parauku sekali lagi
kau telah ditinggalkan jauh masa
dengan selangkangan berdarah
lidah merah-nafas moksa-pandangan mengawang
sebelum jahowa turun ke dunia
memikul janji Kerajaan Sorga
yang pernah kau tanyakan padaku

“adakah mukjizat
yang membuatku
mengatur hidupnya?”

2021

 

Boru

ia sudah 32 dan mungkin bapaknya 70
ia tak ingat pasti
sebab tumpukkan sastra dan psikologi
membaptisnya sebagai manusia pemimpi
pagi terlalu asing dan malam tak terjangkau
dari meja kerja yang sibuk mencatat gelisah cinta

ia tahu pascasarjana yang didongengkan
ketika menyandang mahasiswa akhir
peralihan bayang-bayang gondang
yang kerap dinantikan bapaknya

pulanglah ia ketika pascasarjana
kehabisan cara dan obat-obat
dan ibadah di liang mulut bapaknya

tapi ia tahu pulang adalah
menemukan kepergian yang lain
jalan tak bernama dan tempat tak terdaftar
yang makin meyakinkannya

tak ada boru Toba, Karo, Simalungun
bahkan Jawa sekalipun;
tak ada boru
yang mengikat hatinya.

 

Tanda
  :Ca

dan jika pesan terakhirmu tak lagi biru
orangorang telah berhasil menghapusku
tapi mereka tak mampu
melenyapkan satu garis dari namaku

kau harus hidup lebih lama
menyaksikan bumi jatuh
di kedalaman galaksi tak bernama
atau hidup saat malam tak berbulan

tataplah tekun orangorang
menggapai ketiadaan:
menyerah, mengutuk diri,
menyalahkan orang lain

aku hidup di dalam diri mereka
dan berdoalah untuk kehancuran ini

tapi bagaimana caranya berdoa
untuk orang yang menghapus kau
yang kucintai, katamu

kau hanya ingin minggu
di dipan buritan—gereja
yang selalu tak mau menunggumu
ibadah di seberang cermin
yang bagiku selalu sama:  seperti dirimu
lebih dari mukjizat—mendengarkan khotbah
dan sesekali membenarkan rambut

dan senin kau habiskan seperti sabtu
yang singkat, tanpa ada keluk dalam aku

2021

KOMENTAR
Post tags:

Lahir 20 Januari 2000. Alumni Kelas Menulis Prosa Balai Bahasa Sumatera Utara 2019. Bergiat di Komunitas Lantai Dua (Koldu).

You don't have permission to register