Puisi-puisi Radja Sinaga
Duka Sexagesima
kami kemas sonder dan pujapuji
pelupuk mata kami ialah kau:
tubuh berdaging
mata belum terkatup
sebelum Brastagi jiwamu tiba di tanah peranakan
sedang kami dan tubuhmu berselimut sirine
kabut, rimbun hutan, belokan jalan, dan kemacetan
kami tanya ke ingatan masing-masing
apakah jalan pulang menggulung dirinya
tapi takdir memaksakan kami
menyulang trioxane
sulangkan! silangkan!
kami kemas sonder dan pujapuji
sexagesima kami rayakan dengan segelas kesembuhan
sepotong nubuat kau akan sadar kembali dan mengajar
tapi doa yang dirapal—dan tangisan itu—kepompong kematian
menetas
membawamu
mendahului kami
2021
Kediaman
ketika aku berhasil dihapus
tak ada tempat kecuali mimpi
kemarin jadi seekor anjing
kehilangan lolongan sepertiga malam
dan esok diam depan mata pedagang
atau pelayan toko dua-puluh-empat-jam
di satu siang yang sebenarnya tak pernah ada
—sebab Kejadian 1: 3 adalah kebohongan dunia
dan Tuhan tak pernah rela menciptakannya—
gigimu bertanggal semua setelah ciuman
dan keyakinan tetap pulang
di luar ingatan dan masa depan
dalam hidup kau ingin selamanya tidur
memenjarakanku di kasur dan detak jam
sedang dapur dan piring kotor dikerubungi
kucing dan kecoa menetaskan anak-anaknya
dalam mimpi aku ingin selamanya hidup
melihat orang dikuduskan menghapus dirinya
dan tak pernah menemukanku
sebab kau merangkul erat bantal
yang kapasnya mengawang di langit,
mengawangkanmu ke mana
2021
Rumah Akhir Zaman
hiduplah di parauku
sekali lagi
pulang tak menunggumu
halaman rumah yang basah itu tanda
ketika kau injak tak memantul bayangan
kecuali langit tak berawan
seekor ular menunggu mati
di kaki elang lupa sarang
jalan yang kau sangka berujung
yang membawamu ke meja dan teh
teriakan ketika bak mandi penuh
terhapus oleh empat belas tahun:
ayahmu pulang membawa mabuk
kebengisan dan membunuh
diseretnya
rumah berduka
dedaunan jambu dan debu dari cor jalan
yang ditambal lima tahun sekali melayat
dan adikmu pulang mengemas kengerian
beberapa bulan kemudian di koran kota
ia ditulis jurnalis yang latah berbahasa
hiduplah di parauku sekali lagi
kau telah ditinggalkan jauh masa
dengan selangkangan berdarah
lidah merah-nafas moksa-pandangan mengawang
sebelum jahowa turun ke dunia
memikul janji Kerajaan Sorga
yang pernah kau tanyakan padaku
“adakah mukjizat
yang membuatku
mengatur hidupnya?”
2021
Boru
ia sudah 32 dan mungkin bapaknya 70
ia tak ingat pasti
sebab tumpukkan sastra dan psikologi
membaptisnya sebagai manusia pemimpi
pagi terlalu asing dan malam tak terjangkau
dari meja kerja yang sibuk mencatat gelisah cinta
ia tahu pascasarjana yang didongengkan
ketika menyandang mahasiswa akhir
peralihan bayang-bayang gondang
yang kerap dinantikan bapaknya
pulanglah ia ketika pascasarjana
kehabisan cara dan obat-obat
dan ibadah di liang mulut bapaknya
tapi ia tahu pulang adalah
menemukan kepergian yang lain
jalan tak bernama dan tempat tak terdaftar
yang makin meyakinkannya
tak ada boru Toba, Karo, Simalungun
bahkan Jawa sekalipun;
tak ada boru
yang mengikat hatinya.
Tanda
:Ca
dan jika pesan terakhirmu tak lagi biru
orangorang telah berhasil menghapusku
tapi mereka tak mampu
melenyapkan satu garis dari namaku
kau harus hidup lebih lama
menyaksikan bumi jatuh
di kedalaman galaksi tak bernama
atau hidup saat malam tak berbulan
tataplah tekun orangorang
menggapai ketiadaan:
menyerah, mengutuk diri,
menyalahkan orang lain
aku hidup di dalam diri mereka
dan berdoalah untuk kehancuran ini
tapi bagaimana caranya berdoa
untuk orang yang menghapus kau
yang kucintai, katamu
kau hanya ingin minggu
di dipan buritan—gereja
yang selalu tak mau menunggumu
ibadah di seberang cermin
yang bagiku selalu sama: seperti dirimu
lebih dari mukjizat—mendengarkan khotbah
dan sesekali membenarkan rambut
dan senin kau habiskan seperti sabtu
yang singkat, tanpa ada keluk dalam aku
2021